Kisah salah satu senjata pusaka yang memecahkan kotak kaca tempat penyimpanan menjadi buah bibir di seantero ApiAbadi. Mulai dari para petugas kebersihan sampai para petinggi. Nama Arunika terdengar di sudut manapun. Kisah kisah heroik Aru berkembang menjadi super woman. Rumor yang beredar menjadi jauh dari kisah aslinya. Asal usul Aru mulai dipertanyakan. Bahkan ada yang menduga bahwa Aru sebenarnya anak dari Keluarga Laksmana yang belum diakui.
Para petinggi berdiskusi mengenai kejadian menghebohkan itu. Senjata itu kini di bawah tanggung jawab Betari langsung. Betari menyembunyikan guna menghindari keributan lebih lanjut.
Arunika sangat senang ketika tahu pedang itu memilihnya. Dia berjalan melompat lompat seperti kelinci. Dia tahu saat ini i semua orang membicarakan dirinya, lebih tepatnya senjata yang memilihnya. Semua orang ingin tahu siapa dirinya.
Sebenarnya Aru juga bertanya tanya, kenapa pedang itu memilihnya. Tetapi rasa penasaran terkubur oleh rasa senangnya. Dia sangat menantikannya memegang pedang melawan Wewe. Dia juga ingin sekali melihat reaksi Panji bila melihat pedang tersebut. Dia masuk ke kantor pusat bermaksud mengambil senjata. Namun senyumnya lenyap seketika.
"Maksudnya gimana?" Aru menaikkan kedua alisnya.
"Kau gak punya alis," kata salah satu petinggi sambil menahan senyum.
Aru merengut. Di saat seperti ini apa hubungannya dengan alis. "Anda juga tidak punya kumis," balas Aru.
Petinggi yang lain berdeham. "Siapa namamu, Hem Arunika. Kau belum boleh memegang pedang, sampai kami menilai kau pantas mendapatkannya."
Butuh beberapa detik Aru mencerna apa yang dikatakan lelaki tua berambut gondrong itu. "Tapi, pedang itu yang memilihku. Bukan kalian! Jadi seharusnya aku sudah bisa menggunakannya."
Lelaki gondrong itu menatap Aru tajam. "Secara teknis iya, tapi kami belum yakin sepenuhnya, apakah kau layak atau tidak."
Aru melongo tidak percaya, bahwa para petinggi Apiabadi ternyata bersikap kolot dan enggan bernegosiasi. "Kalian otoriter. Tidak semua pendapatan kalian benar. Dan dengarkan pendapat orang lain? Terutama menyangkut diriku."
"Bocah sombong." Lelaki berambut gondrong itu menggebrak meja. " Hanya kau kira dipilih Dewa. Bukan berarti bisa berlaku tidak sopan di sini."
Betari kini ikut bicara. "Ah… Arunika. Ini hanya sementara. Tunggulah dengan tenang."
"Tidak! Ini tidak adil. Senjata itu pasti akan kembali padaku. Bagaimanapun caranya." Arunika pergi dengan membanting pintu.
Dua petinggi murka dengan tindakan Aru. Betari tidak. Dia malah tersenyum. "Gadis itu memang pantas dipilih. Gadis yang kuat."
"Kuat apanya? Dia cuma modal nekat. Lihat saja semua bekas lukanya," ujar Lukman si rambut gondrong.
"Ah. Itu membuktikan dia tidak kabur dari pertempuran."
"Itu namanya bunuh diri," kata Lukman. "Seharusnya kalau dia terjepit. Langsung kabur. Kita sudah sediakan tempat."
Lelaki Flamboyan kini ikut menyela,"Gadis tanpa alis itu juga menyebabkan biola Panji hancur."
Betari tertawa mendengarnya. "Bukannya kau senang biola Panji hancur? Dia bisa kembali ke keluargamu."
Lelaki Flamboyan itu tersenyum sinis. "Bocah sombong itu masih ke sana kemari mencari biola yang cocok."
"Kalau aku jadi Panji, aku akan langsung merengek ke Laksmana. Kenapa dia tidak menyerah saja?" kata Lukman.
Lelaki Flamboyan itu menengok ke arah lelaki berambut gondrong. "Untunglah kau bukan bagian dari keluargaku."
"b*****h kau Bayu," umpat Lukman tertawa.
"Ah… tipe kesukaanku. Memiliki pendirian yang teguh." Betari memuji Panji.
"Omong kosong," bantah Lukman. "Dia cuma keras kepala. Kenapa mereka berdua mirip?"
"Karena itu mereka dipasangkan," celetuk Betari.
"Kau yang mengaturnya ya?" tebak Lukman.
Bayu memincingkan mata. "Apa yang tidak kami ketahui?"
"Ah. Entahlah," jawab Betari tersenyum penuh misteri.
Arunika kembali ke asrama. Kepalanya terasa mau meledak. Dia marah sekali dengan para petinggi. Saking kesalnya dia hampir menendang portal pintu.
"Hei!"
Bagaskara berteriak ketika melihat Aru mau menendang portal. Dia meraih bahu Aru hanya dengan beberapa langkah.
Bagaskara menarik Aru ke belakang, jauh dari portal.
"Aduh!" Aru memegangi bahunya. Rasanya seperti dicengkeram singa marah.
"Kau itu sedang apa? Mau merusak fasilitas? Jadi kriminal?" Bentak Bagaskara. Lelaki itu berkacak pinggang. Meskipun terlihat garang, dia seperti kakak yang sedang memarahi adiknya.
"Bilang saja pada para petinggi sial itu!" Aru balas berteriak dan berjalan pergi masuk ke kamar.
"Kenapa bocah itu?" gumam Bagaskara bingung.
***
Panji sudah sampai pada batasnya. Dia berkali-kali keluar masuk toko namun tidak ada yang sesuai dengan kemajuan. Sedangkan hari mulai gelap. Peringatan jam malam sudah mulai didengungkan.
"Kak, kita mau persiapan tutup," ujar penjaga toko musik.
Toko ini adalah toko terakhir yang dikunjungi Panji. Hanya ada biola - biola biasa. Tanpa mantra, hanyalah alat musik biasa. Hanya mampu membuat para Wewe menari. Tidak mampu menyerang apalagi membunuh Wewe.
"Aku beli satu," kata Panji.
Panji menenteng kotak biola menuju halte. Dan dia menaiki bus menuju ke sebuah desa di dekat sungai. Kemarin berita tentang perempuan tenggelam membuatnya termenung. Kejadian itu pasti bukan kecelakaan biasa.
Ketika turun dari bus, Panji masuk ke ruangan bawah tanah di halte itu. Dia mengutak-atik biola barunya. Sekaligus dia menunggu malam datang. Ketika dirasa langit sudah gelap, dia keluar dari sana dan berjalan menuju jembatan.
Tindakan kriminal manusia bukan wilayah hukum ApiAbadi. Panji tahu itu namun dia tetap pergi.
Ketika berada di atas jembatan, rasa sesak memenuhi dadanya. Panji merasa pandangannya kabur. Dia mengucek matanya, dan baru sadar bulir air matanya menetes.
Melihat sungai, dan tempat kejadian orang tenggelam itu mengingatkan Panji dengan kejadian beberapa tahun silam. Dia ingat bagaimana tubuh ibunya terombang ambing di sungai. Rambut hitam panjangnya tergerai mengambang. Kulitnya putih pucat.
Panji merasa dadanya nyeri. Dia berkali-kali mengambil nafas panjang. Kejadian itu memang sudah lama. Tetapi setiap mengingatnya Panji merasa sakit.
Cuaca dingin menyusui kulit membuat Panji tersadar dia berada di mana. Bahwa saat ini dia sedang bekerja. Sesaat dia terpengaruh suasana.
Panji mulai mengeluarkan biolanya. Dan memainkan musik. Cukup lama dia bermain namun tak satupun Wewe hadir di sana.
Panji berhenti menggesek biola. Dia mengambil nafas panjang. Dia mulai menyesal kenapa berada di sini. Dia berdiri bersandar di pagar jembatan. Kepalanya melongok ke bawah, cukup tinggi.
Panji membuka hapenya berniat menghubungi Aru. Tapi diurungkannya. Tiba-tiba tubuh Panji meremang. Sesuatu bergerak cepat ke arahnya.
Panji mengelak.
"Wewe," desis Panji.
Panji berlari menuju kotak biola, membuka cepat dan menggesek biola. Karena gegabah,satu senar biola itu putus.
"Sial!"
Hanya satu detik musik berhenti,Wewe menyerang Panji. Panji dengan refleks berlindung menggunakan biolanya.
Prang!
Biola itu dihantam cakar Wewe dan membentur dinding jembatan. Biola itu patah.
Panji berdecak. Kali ini dia bersiap menghadapi Wewe dengan tanpa senjata.
Sudah lama Panji tidak menggunakan kekuatan fisiknya. Panji dan Wewe bertarung sengit. Pukulan Panji beberapa kali mengenai Wewe.
Sayangnya Wewe itu belum mati. Dia terus menyerang Panji tanpa lelah. Menyerang tangan, kaki, wajah.
Panji terus bisa menahan serangan. Namun sampai kapan?
Panji sudah lama tidak bertarung dengan tangan kosong. Meskipun dia seorang Laksmana,tetap ada batasnya. Terlebih yang dihadapinya adalah manusia Wewe. Lebih sulit dan menghabiskan banyak energi.
Serangan Wewe berhasil mengenai tangan kiri Panji. Panji merasa terpojok, dia menelpon Aru sambil berlari. Sayangnya Aru sama sekali tidak menjawab teleponnya.
"Angkat donk cewek jadul." Panji bergumam.
Kini Panji berada di bawah jembatan sungai solo. Dia mencari celah dinding untuk bersembunyi. Dia berharap dapat sembunyi sampai beberapa matahari terbit.
Sayangnya dia Panji tidak terkabul. Wewe itu cukup pintar, sehingga dengan mudah menemukan Panji. Mau tidak mau Panji harus bertarung lagi.
Di antara menyerang dan bertahan,Panji suatu hal. Rupanya sangat sulit melawan wewe tanpa senjata. Dia sudah berusaha kali menendang leher Wewe. Tapi Wewe ini cukup gesit untuk menahan setiap tendangan Panji.
Dia ingat semua hinaannya kepada Aru. Dia menyesal telah memperlakukan Aru dengan buruk.
Di saat Panji memikirkan hal itu, Wewe menangkap Panji. Panji melihat suatu hal yang ganjil. Wewe itu tersenyum. Kuku kukunya membelai wajah Panji. Panji sudah pasrah, tenaganya sudah habis.
Panji mengira kuku itu akan segera menancap di lehernya. Namun sebuah pedang terbang secepat kilat menebas tangan Wewe itu. Wewe itu menjerit kesakitan dan Panji terlepas dari Wewe.
Panji bergerak mundur. Matanya mencari siapa yang telah menyelamatkannya.
Dari atas pagar jembatan, Panji melihat seorang gadis berdiri tegak di sana. Bajunya masih mengenakan piyama tidur. Pedang yang tadi menebas tangan Wewe, terbang kembali ke arah arah gadis itu. Gasia itu menangkap pedang dengan satu tangan. Panji belum bisa melihat wajah gadis itu karena dia menunduk. Ketika gadis itu melayang dan terbang rendah di dekatnya, Panji tahu siapa dia.
"Cewek jadul?"
Aru tidak menjawab. Dia melompat langsung ke arah Wewe dan memotong lehernya. Hanya dengan satu tebasan saja. Darah muncrat ke segala arah, mengenai piyama Aru. Tapi gadis itu hanya diam saja.
Wewe itu kemudian terbakar. Panji bersyukur dia masih hidup. Meskipun tidak suka, sekarang dia memiliki hutang budi pada Aru.
Aru masih memegang pedangnya saat Panji mendekati untuk mengucap terima kasih. Tapi Panji malah melihat Aru yang sedang tidur lelap sambil berdiri. Aru menutup mata dan mendengkur.
"Heh, bercanda ya," ujar Panji memegang pundak Aru. Aru kemudian terjatuh ke tanah tanpa sempat ditolong Panji. Basannya tersungkur di tas rerumputan. Sedangkan pedang yang dipegang Aru tadi menghilang.
Panji masih berusaha memahami kejadian barusan. Dia menatap Aru yang tidur di tanah dengan perasaan tidak percaya.
"Nih cewek bertarung dengan Wewe saat tidur?"
Aru bangun. Dia meregangkan tangannya. Tangannya meraba-raba kasur di sampingnya. Namun dia langsung membuka mata, ketika merasa yang disentuhnya adalah kulit manusia.
"Panji?" Aru berteriak.
Panji menutup telinganya. "Kau sudah bangun?"
"Aku ada di mana ini? Kau menculikku ya?"
Aru mendengar Panji berucap Cih.
"Heh, mau punya penyakit berjalan saat tidur ya?"
Aru menggeleng. "Enggaklah."
"Kalau enggak, kenapa lu bisa ada di sini dan membasmi Wewe semalam."
"Ngibul ya?"
"Lihat bajumu!"
Aru menundukkan kepala melihat bajunya penuh noda merah. "Apaan ini?"
"Darah Wewe, darah manusia wewe," jawab Panji singkat.
Aru melongo. "Tidak mungkin." Aru berusaha mengingat kejadian semalam. Doa marah kepada petinggi soal senjata, kemudian dia kembali ke kamarnya dan tidur.
Dia tidur sangat nyenyak dan bermimpi. Di mana dia sudah memegang pedang dan pergi membasmi Wewe. Ketika dia melihat Wewe, dia langsung melemparkan pedang itu.
"Itu kan cuma mimpi, mimpi membunuh Wewe," kata Aru pelan.
"Sepertinya bukan mimpi. Aku saksinya. Bajumu buktinya."
Panji tidak berniat menjelaskan ke organisasi apa yang terjadi sebelum memastikan kebenaran langsung dari Aru.
Gadis itu kekeh mengatakan bahwa dia bermimpi bermain pedang, kemudian dia membasmi wewe. Dikira itu hanyalah mimpinya. Ternyata itu beneran terjadi.
Panji tidak percaya hanya itu yang terjadi. Terlebih lagi, Panji yakin bahwa pedang itu pasti salah satu senjata pusaka. Bagaimana mungkin gadis ini mendapatkannya sedangkan dia tidak?
"Siapa kau sebenarnya, Arunika?" Tanya Panji langsung.
Aru terkesiap. Panji tidak pernah memanggil namanya. Mungkin Panji tahu bahwa dia bukan berasal dari kota ini?