Akhirnya Ku menemukanmu

1219 Kata
Aru mengerjap mata tidak siap ditanya seperti itu. Dia belum percaya sepenuhnya pada Panji tentang identitas aslinya. Bahwa dia bukan berasal dari kota Sabin. Daripada menjawab pertanyaan Panji, Aru mengingat hal yang penting.  "Bus Cosmos itu yang mengelola adalah keluargamu kan?" Selidik Aru.  "Kenapa dengan bus Cosmos?"  "Yah, aku perlu informasi terkait bus itu. Apa kau bisa membantu?" Melihat Panji tidak tertarik dengan perkataanya, Aru memilih strategi yang lain. "Aku akan katakan siapa aku, tapi nanti setelah informasi tentang bus itu. Deal?"  "Deal. Kamu mau tahu apa?" Todong Panji. Sebenarnya Panji tidak memiliki wewenang untuk menggali informasi tentang bus Cosmos. Wewenang itu ada pada saudara jauhnya. Tetapi dia lebih penasaran dengan Aru. Kalau Aru bisa mendapatkan senjata pusaka. Harusnya Panji juga bisa.  "Aku mau tahu bus yang beroperasi di tanggal 20 tiga bulan lalu. Yang melewati kampus Malawapati," d**a Aru berdegup kencang saat mengatakannya. Bila bus itu sudah ketemu, apa yang akan dilakukannya? Dia belum berpikir sampai sana.  "Hanya itu saja? Mudah." Panji mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang.  Aru menunggu dengan sabar. Sebentar lagi,satu misteri akan terpecahkan.  "Bus itu ada di gudang. Katanya rusak sejak lama."  "Rusak? Tidak mungkin! Jelas -jelas bus itu yang membawaku kemari dan si koki. Yah. Si koki sialan itu menendangku keluar dari bus," cecar Aru. Wajahnya memerah.  Panji terlihat tidak percaya dengan cerita Aru. Akan tetapi melihat  reaksi Aru, Panji tahu Aru tidak berbohong.  "Apakah kau mengenal keluarga Laksamana?" Panji memiliki kecurigaan, kedatangan Aru  pasti ada hubungannya dengan keluarganya. Tetapi apa? Panji hatus mencari tahu hal ini diam-diam  "Siapa saja yang mengetahui ceritamu ini?  "Tidak ada. Hanya kau." Panji tersenyum. "Wah, aku tersanjung."  "Sinetron itu sudah tamat," ucap Aru asal.  "Sinetron apa?"  "Hah?" Aru baru sadar dengan  ucapannya tadi. "Oh. Bukan apa-apa. Hem, kalau begitu dimana pedangku?" Aru sudah mencari pedang itu tapi tidak dimanapun.  "Lenyap. Setelah kau pingsan."  Mulut Aru menganga.  *** Betari berjalan mondar mandir di kantor pusat. Dia berulangkali menghubungi dua petinggi lainnya. Katanya mereka sedang dalam perjalanan. Betari tidak menyangka bahwa pedang itu bisa lenyap dari mantranya. Dan pagi kembali ke tempat asal seolah tidak ada yang terjadi.  "Ini sangat aneh," ucap Betari.  "Apa yang aneh?" Lukman datang dengan pakaian bersih dan penampilan lebih rapi.  Sesaat Betari lupa apa yang akan dibicarakan ketika melihat penampilan Lukman.  "Aku mau ketemu dengan Airlangga Kiandra. Jadi harus berpenampilan rapi. Kalau tidak, pasti diusir. Bangsawan kampret itu…" Lukman menjelaskan tanpa ditanya.  Betari menahan tawa. "Ah…" "Kau mengatakan ada hal yang gawat. Apalah itu berhubungan dengan senjata pusaka Dewa? Dia pergi ke tempat bocah nekat itu kan?" Mendengar pertanyaan Lukman, Betari kaget. Berarti Lukman sudah memperkirakannya? Dia bertanya untuk memastikan. "Apakah ini sesuai perkiraanmu?"  "Yah, aku hanya memperkirakan sifat Dewa. Senjata itu dari zaman dulu memang begitu. Seenaknya sendiri. Aku yakin, Dewa sudah menemui bocah itu jauh sebelum dia masuk ApiAbadi."  "Maksudmu senjata itu memiliki pikiran dan kemauannya sendiri?"  Lukman tertawa. "Sejenak aku lupa kalau kau adalah kepala persenjataan. Tetapi yah, senjata pusaka memang terutama Dewa memang berbeda. Sudah berapa puluh atau ratus tahun dia tidak mau bangun. Dan sekarang malah memilih gadis nekat itu."  Betari tersipu malu. "Aku baru dua puluh tahun di sini. Jadi jangan permainkan aku. Aku bukan kau yang bisa hidup ratusan tahun."  Mendengar sindiran Betari, Lukman menerawang jauh. Sebentar pikirannya beralih ke hal lain, hanya sebentar. "Suruh bocah nekat itu kemari. Kita akan kembalikan senjata itu padanya."  Betari tersenyum. "Secepat ini?"  Lukman mengangguk. "Mengenal sikap Dewa, dia akan berulah kalau kita masih terus menyimpannya."  Bayu masuk ke ruangan sambil menggerutu. "Aku berniat menyeret Panji kembali ke rumah."  Lukman berbicara dengan nada sinis. "Memangnya dia bayi? Laksmana sepertinya terlalu peduli pada bocah sombong itu."  Bayu menggoyangkan kepalanya. Membuat poni yang jatuh di depan mata kembali ke pinggir. "Sudah saatnya Naraya muncul. Dan tidak ada yang layak selain Panji. Itu keputusan Laksamana. Aku tidak ikut campur."  "Ah… kenapa bukan kau saja?" usul Betari. Lukman tertawa terbahak-bahak. "Mereka berdua tidak cocok. Mereka layaknya api dan air. Selain itu mereka pernah menyukai perempuan yang sama."  Betari terlihat bingung. "Naraya menyukai manusia?"  Lukman pura pura terkejut. "Kau tidak tahu? Naraya itu seperti tuan pertamanya. Penebar benih."  "Perempuan itu sudah mati. Dan dia sekarang seperti puber lagi. Entah menyukai siapa. Kadang kadang dia menghilang. Sama seperti Dewa."  Lukman menyetujuinya. "Mereka memiliki sikap yang mirip. Suka seenaknya sendiri."  *** Tidak ada pilihan lain, Bayu menyeret Panji ke hadapan Laksmana. Sekuat apapun Panji berontak, namun dia tetap tidak bisa melepaskan cengkraman dari lengannya.  Panji tidak menyangka sosok Flamboyan seperti Bayu, ternyata memang memiliki kekuatan besar. Pantas dia ditunjuk sebagai petinggi Apiabadi.  "Ini namanya pemaksaan. Dan kau seorang petinggi. Demi apa kau melakukan ini?"  Bayu tidak terpancing dengan pertanyaan Panji. "Demi perdamaian dunia," jawab Bayu singkat.  Mereka sampai di rumah Laksamana tanpa hambatan apapun. Panji akhirnya pasrah saja dibawa berlutut ke hadapan ayahnya.  "Kubawa Panji ke sini, sesuai permintaan mu. Setelah ini jangan ganggu aku," ucap Bayu dengan nada mengejek.  "Tentu. Terimakasih saudaraku," kata Laksamana.  Panji mencibir. Petinggi Flamboyan ini ternyata takut dengan Laksamana. Memalukan.  Panji menatap lelaki yang disebut ayahnya ini dengan dingin. Tidak ada perubahan yang berarti meski setelah lima tahun tidak bertemu.  Lelaki itu masih memancarkan aura menyeramkan. Namun saat ini Panji bukan anak kecil yang ketakutan dan bersembunyi di balik kaki ibunya. Dia sudah dewasa sekarang.  Meski Panji terus meyakinkan diri, badannya gemetar ketika lelaki itu berbicara padanya. "Biolamu rusak. Kau butuh penggantinya."  Panji mengumpulkan tenaga untuk menjawab. "Aaaku bisa mencarinya sendiri." Panji merutuki dalam hati karena bicara tergagap.  Mata lelaki itu berkilat mendengar jawaban kurang ajar Panji. Kali ini dia memilih membiarkan sikap Panji.  "Ambil Naraya. Dia bisa berguna untukmu." Karena yang mengucapkan adalah seorang Laksamana, hal itu bukanlah permintaan melainkan perintah.  "Aku belum pantas menerima Naraya." Panji tahu siapa Naraya. Danyang yang secara turun temurun ada di keluarga Laksamana. Danyang yang menjadikan keluarga Laksamana seperti saat ini. Namun Panji juga tahu, kekuatan besar juga diiringi dengan risikonya. Menerima Naraya berarti dirinya harus siap menjadi seorang penebar benih.  Laksamana memerintah salah satu pembantu untuk mengambil Naraya. Pembantu itu datang membawa sebuah kotak biola ke hadapan Panji.  "Ambilah." *** Aru senang sekali ketika diberitahu bahwa senjata pusaka akan diberikan padanya. Apakah karena senjata itu membantu Aru dalam pertarungan kemarin, maka mereka sudah menganggap Aru layak? Ah entahlah, Aru hanya ingin segera memegangi senjata itu.  "Katanya kau sudah bisa mengendalikan senjata itu, kemarin?" Cecar Lukman tanpa basa basi.  Aru cuma menyengir saja. Aru tidak mengatakan kalau dia hanya bermimpi saja.  "Perlu kau ketahui, senjata ini bukan senjata biasa. Dinamakan senjata pusaka karena ada Danyang di dalamnya."  "Apa itu Danyang?" Lukman mengerti. Dia mencari perumpamaan yang tepat. "Hem.. makhluk yang bersemayam di sana."  Aru mengatakan kata WOW tanpa suara. "Apakah dia perempuan?"  "Dia tidak berjenis kelamin. Namun kami memanggilnya Dewa sejak dulu."  "Dewa ya. Apakah dia benar-benar seorang dewa?" "Entahlah, coba kau tanyakan sendiri. Sekarang coba ambil senjata itu dari meja," perintah Lukman.  Betari berdiri di dinding hanya mengawasi. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya.  Aru merapal dalam hati supaya senjata itu tidak berat saat diangkatnya. Karena kalau Aru tidak bisa mengangkatnya, maka izin menggunakan pasti dibatalkan.  Aru maju pelan-pelan.  Tangannya gemetar saat menyentuh  senjata itu. Ketika tangannya menggerayangi pedang itu. Cahaya muncul dengan sangat menyilaukan dari pedang. Seorang muncul di dekat pedang itu dan tersenyum cerah.  Mata Aru membeliak melihat sosok itu. Sosok yang sangat dikenal dan dirindukannya. Matanya berkaca-kaca, Aru langsung menubruk sosok itu.  "Dewanti…"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN