Tabir Terbuka

1447 Kata
Betari ingin melihat seperti apa sosok pedang dewa, salah satu senjata pusaka ApiAbadi. Selama lebih dari dua puluh tahun dia bekerja, senjata pusaka tidak pernah keluar dari kotak penyimpanan. Betari bahkan berpikir bahwa Danyang sudah tidak mengisi senjata lagi. Mereka semua sudah pergi.  Tetapi apa yang dilihatnya saat ini membuat tubuhnya gemetar. Sebab dia juga mengenal sosok yang muncul dari pedang itu. Sosok yang dia percaya adalah peri keberuntungan, ternyata adalah Danyang pedang pusaka.  "Kau… adalah Danyang? bukan peri?" Tanya Betari. Ucapannya terbata-bata.  Lukman memandangi Betari. Dia menebak Betari pernah bertemu dengan Dewanti sebelumnya. Dan tebakannya itu tepat.  Dewanti sama sekali tidak terganggu. Dia hanya tersenyum saja. Arunika kali ini juga ikut bingung. Dewanti adalah Danyang. Dia membutuhkan beberapa waktu untuk mencerna informasi tersebut.  "Dan..yang?" Ujar Aru bingung. Dia menatap Betari dan Dewanti bergantian meminta jawaban.  Udara menjadi lebih panas, padahal AC masih menyala kencang. Lukman segera menyadari perubahan tersebut. Dia bersiap bila Dewanti akan melakukan sesuatu yang berbahaya.  Namun Dewanti hanya mengangkat bahu. Dia mengajak Aru keluar mencari udara segar. Betari hendak mengejar, dia butuh jawaban dari mulut Dewanti, tetapi dilarang oleh Lukman.  Lukman memegang lengan Betari, kepalanya menggeleng. Betari berdecak kesal.  "Biarkan saja. Sebelum dewa marah dan meledakkanmu sekejap."  Betari menatap Lukman dengan sorot mata tidak percaya. "Dia tidak punya kekuatan sebesar itu." Betari menggerutu. Dia kesal karena Dewanti mempermainkannya. Terlebih lagi Danyang sial itu ternyata juga memperalatnya untuk mempertemukan Aru dengan Panji. Betari ingin tahu apa alasannya.  "Tentu saja punya. Tapi tidak pernah digunakan," jelas Lukman.  Mendengar jawaban Lukman, Betari  tambah kesal. Dia tidak bisa  mengontrol emosinya  lagi. "Kalau dia punya, kenapa tidak pernah digunakan?"  Betari bahkan membayangkan kalau Dewanti ada di pihak ApiAbadi, mereka tidak perlu kehilangan satupun pendekar saat membasmi Wewe. Betari selalu merasa sedih saat ada pendekar yang pulang menjadi mayat. Dia merasa ikut bertanggungjawab atas kematian mereka.  Lukman mendesah. "Mereka tidak memiliki kewajiban untuk menyelamatkan manusia. Mereka hanya melakukan apa yang mereka suka. Sudahlah kau tidak perlu menangis, demi Tuhan."  Betari terisak. "Kau percaya Tuhan?"  Lukman mengangguk.  Betari tersenyum. "Dasar pembual."  Lukman meringis. "Kita berharap penuh pada Arunika, bocah nekat itu. Semoga bisa membujuk Dewanti agar sepenuhnya ada di pihak kita."  "Bukankah dia sudah memilih Arunika sebagai tuannya. Seharusnya dia menuruti permintaan dari tuannya." Lukman mencibir. "Mereka adalah makhluk yang bergerak semaunya. Tidak ada yang paham bagaimana jalan pikiran mereka." *** Aru ditarik paksa Dewanti keluar dari kantor. Mereka berjalan jalan di sekitar alun-alun depan pendopo. Aru diam saja. Banyak hal yang dipikirkannya. Kalau Dewanti adalah Danyang, lantas bagaimana bisa menjadi teman sekelasnya? Kalau dia Danyang, berarti yang membawanya ke kota Sabin adalah Dewanti. Atau pasti semua adalah campur tangannya. Kenapa Dewanti melakukan itu semua padanya?  "Aku tahu banyak pertanyaan untukku. Tetapi aku tidak berniat untuk menjelaskannya," kata Dewanti tenang. Rambut panjangnya tertiup angin dan berkibar.  Aru menarik -narik telinga. Semua pertanyaan itu sudah diujung bibirnya. Tapi tak ada satupun yang keluar dari mulutnya. Dia membisu.  "Kau akan memahami secara pelan-pelan. Bukan sekaligus. Kasihan otak jadulmu."  Aru melepaskan tangan Dewanti. "Aku tidak bodoh. Katakan padaku, apa tujuanmu membawaku ke kota penuh setan ini?"  Dewanti menghela nafas panjang. "Aku tidak membawamu kemanapun. Kau lahir di sini."  Aru murka. "Apa maksud perkataan mu? Aku mau pulang. Aku mau ketemu ibuku!" Dewanti mulai lelah menghadapi Aru yang sedang marah. "Kau tidak punya ibu. Ibumu sudah mati. Dibunuh Wewe. Ngerti? Kalau tidak percaya, tanya saja sama Naraya dan Laksmana." "Aku punya ibu. Ibuku suka menonton drama jadul. Siapa Naraya dan Laksamana? Dan di mana Junior?"  "Ini akan panjang sekali. Aku baru bangun dan harus menjelaskan banyak hal padamu. Hah… ini melelahkan. Aku lebih suka memburu Wewe."  "Jelaskan!"  Aru berteriak. Beberapa orang bahkan melirik mereka. Dewanti merasa risih ketika menjadi pusat perhatian.   "Oke. Dia bukan ibumu. Apa kau ingat wajahnya? Tidak kan? Apa kau pernah melihatnya bergerak seinci saja dari depan televisi? Atau hanya sekedar mengganti chanelnya? Tidak kan?  Kau tahu kenapa?  Karena dia tidak hidup. Dia patung yang kubuat."  Aru mencoba mengingat semua kenangan lamanya. Dia pamit setiap hari pada ibunya. Tapi ibunya tidak menjawab bahkan meliriknya pun tidak. Semua perkataan Dewanti benar. Dia bahkan tidak ingat bagaimana wajah ibunya. Atau orang yang dianggap ibu selama ini. Hatinya mencelos. Selama ini dia selalu berharap bangun dari mimpi buruk dan kembali ke kehidupan normalnya. Jauh dari Wewe dan Apiabadi.  Tetapi sekarang? Penjelasan Dewanti membuatnya takut. Perlahan air matanya jatuh. Dia bingung dan takut. Mana yang harus dia percayai.  Dewanti menyeret Aru masuk ke dalam taman. Aru disuruh duduk di bawah pohon rindang. Dia menangis dengan bebas di sana. Setelah dia merasa puas dengan menangis, Aru mendongak dan bertanya, "Junior bagaimana?"  Dewanti mengibaskan rambutnya. "Dia aman. Dia selalu menjagamu layaknya kakak laki-laki." Kakak laki -laki. Dia tidak punya orang seperti itu. Tunggu… ada satu orang yang selalu siap mendengarkan semua keluh kesahnya. Dia juga yang mengobati luka Aru. Dia…  "Bagaskara? Bagaimana mungkin."  "Itu saja dulu. Sebaiknya kita cari makan. Sudah berapa lama aku tidak makan. Aku ingin makan banyak hari ini!"  Aru mencengkram tangan Dewanti. "Katakan semuanya padaku. Jelaskan padaku. Aku hampir gila rasanya!"  "Baiklah. Aku jelaskan sambil kita makan."  Aru menurut bak kerbau yang dicucuk hidungnya. Dia bahkan tidak berpikir kenapa Danyang membutuhkan makan. Aru memakan apa yang ada di depannya. Tidak peduli bagaimana rasanya.  Kepalanya terasa penuh. Dia lebih ingin memahami semuanya dengan jelas.  Dewanti bercerita panjang sekali. Dimulai dari ibu Aru. Ibu Aru hamil dan bekerja di salah satu anggota keluarga Laksmana. Kehamilan itu membuat para Wewe berdatangan ke sana. Di sana, tinggal seorang selir  Laksmana. Begitu Wewe datang, selir langsung tahu, bahwa ada perempuan hamil di rumahnya. Selir itu menahan Wewe dan membiarkan ibu Aru kabur. Keluarga Laksmana saat itu tidak terlalu peduli. Sebab mereka sibuk dengan urusan masing masing.  Tak dinanya, seorang bayi yang masih dalam kandungan mampu memanggil para danyang.  "Saat itu dunia kami rasanya bergetar karena suaramu, dan tentu aku langsung merasa akan menarik kalau aku mengikutimu," jelas Dewanti.  Aru yang saat itu masih berupa bayi dalam perut mampu memanggil Danyang. Dan Dewantilah yang menjawab panggilan itu. Dia datang, melindungi Aru. Tetapi ibu Aru harus terbunuh agar Aru tetap hidup. Aru kemudian di adopsi dalam keluarga Kiandra. Namun terjadi musibah di sana. Kebakaran hebat yang belum jelas asal usulnya. Menyebabkan Aru hilang kesadaran. Dewanti membuat sebuah ingatan palsu untuk mempertahankan jiwa Aru yang masih hidup. Sampai tubuhnya pulih, dia baru bisa kembali sadar.   "Kau tahu, aku ini sudah seperti ibumu. Yang merawatmu sampai sekarang," cecar Dewanti. Mulutnya penuh dengan makanan.  "Kenapa menyerahkan aku ke keluarga Kiandra? Mereka ehem begitulah."  "Mereka sangat mandiri. Sekaligus kau akan aman di sana."  "Tidak juga. Buktinya ada kebakaran. Apakah sudah ketemu penyebabnya?"  Dewanti menggeleng. "Aku punya dugaan. Tetapi aku malas mencari tahu lebih lanjut. Yang penting kita melanjutkan hidup." "Kalau kau seroang dewa, Kenapa kau tidak mencegah kebakaran itu? Kenapa kau tidak bisa menyelamatkan ibuku?" Ujar Aru terisak.  Dewanti berkata pelan… pelan sekali. "Aku hanyalah dewa. Yang dianggap dewa. Bukan pencipta semesta."  ***   Panji membeku melihat biola itu ada di hadapannya. Biola legendaris bernama Naraya. Biola yang suaranya mampu melumpuhkan hati jutaan perempuan. Dan para perempuan itu akan melakukan apapun yang diminta.  Panji merasa jijik. Dia tidak ingin menjadi penebar benih. Tetapi bila dia tidak memiliki Danyang, maka dia akan kalah dengan Arunika, cewek jadul itu. Panji menimbang-nimbang apakah dia bisa bernegosiasi dengan Naraya terkait pertukaran yang akan diterimanya?  Laksmana meninggalkan Panji. Dia membiarkan Panji memilih. Memilij menjadi manusia gembel tak berguna, atau menempelkan nama Laksamana dan menerima Naraya.  Tentu dia berharap Panji menerima Naraya. Sudah saatnya Naraya bergerak. Kalau tidak, keseimbangan dunia akan goyah.  Mantra pelindung yang ditanamkan para petinggi terdahulu di lingkaran ApiAbadi mulai melemah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya manusia Wewe. Laksamana melirik Panji sebelum sosoknya menghilang di ujung lorong rumah itu.  Panji tidak tahu harus bagaimana memanggil Naraya untuk berbicara. Dia menyentuh pelan kotak biola itu. Seorang Danyang yang dikunci dalam sebuah biola, dan menjadi rekanan kuat memburu Wewe. Panji penasaran kenapa dia mau melakukannya.  Sleeesh! Sebuah cahaya keluar dari biola. Seperti jin yang keluar ketika lampu digosok.  Seorang lelaki berambut panjang dan bermata biru berdiri di depan Panji. Dia mengenakan jubah putih dengan d**a terbuka. Tulang hidungnya tinggi.  "Aku malas berbasa-basi. Aku tidak mau kau menyukai perempuan yang sama denganku," kata Lelaki itu.  Panji tidak menyangka kata kata semacam itu bakal keluar dari mulut Naraya. Dia berpikir dia akan menyerahkan tumbal manusia atau semacamnya.  "Aku bukan Wewe pemakan manusia. Imajinasimu terlalu liar." Naraya duduk di kursi yang ditinggalkan Laksmana tadi. Dia duduk dengan nyaman. Dan mengeluarkan ponsel. Panji sedikit terkejut, seorang Danyang memakai ponsel. Tetapi dia memilih diam dan tidak berkomentar apapun .  Panji berdeham. Tidak menyangka makhluk ini bisa membaca pikirannya.  "Kau tidak harus jadi penebar benih untuk bersepakat denganku." Naraya menatap lurus ke arah Panji. "Itu permintaan leluhurmu terdahulu. Bukan kemauanku." Panji mulai tertarik. Tapi dia harus tetap waspada. Dia tidak bisa menebak apa keinginan Danyang ini. "Lantas apa mau mu?" Naraya berpikir sejenak lalu mengatakan sesuatu dengan pelan. Panji menyimak dengan seksama.  "Hanya itu?"  Tanya Panji. Dia heran. Permintaan Naraya tidak sulit, namun bukan berarti mudah.  Naraya memainkan rambutnya. "Aku tidak pernah main-main. Itu saja cukup."  Panji puas dengan jawaban Naraya. Bila itu yang diinginkan Naraya, dia bisa memberikannya. "Baiklah. Aku akan bersepakat denganmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN