Lukman memutar kemudi mobilnya menuju rumah Airlangga Kiandra. Kegiatan rutin bulanan ini lama kelamaan membuat dia bosan. Kenapa bukan Airlangga saja yang datang ke kantor ApiAbadi? Kenapa justru petinggi seperti dia yang harus datang ke rumah Airlangga? Lukman harus membicarakannya nanti.
Ketika mobil mlewati gerbang rumah tersebut. Nafas Lukman menjadi berat, sepertinya mantra di rumah ini dipertebal. Mungkin telah terjadi sesuatu. Lukman dipersilakan masuk. Di sana, Airlangga sudah duduk santai sendirian. Di meja sudah tersaji teh melati kesukaannya.
Lukman menyapa Airlangga. "Kau tidak berubah." Dia mengibaskan tangannya ke udara. "Cuma ya, udara di sini agak sesak ya… untuk menarik nafas rasanya berat." Lukman mengatakan hal itu untuk melihat reaksi Airlangga. Mantra berat ini pasti ada hubungannya dengan Kiandra, putri semata wayangnya.
"Bagaimana perkembangan Arunika?" Tanya Airlangga langsung ke intinya.
Lukman mendesah. Kenapa semua orang tertarik dengan bocah nekat itu. "Ya, dia berhasil mendapatkan pedang dewa."
Lukman bisa melihat mata Airlangga berkilat kilat. Dia pasti tertarik dengan topik ini.
"Naraya juga sudah lepas segel. Apakah waktunya semakin dekat?" Tanya Airlangga.
Lukman sedikit terkejut mendengarnya. Rupanya Bayu berhasil menculik Panji. "Seperti yang kita tahu. Bagaimana Kiandra, apakah…"
Kata kata Lukman terhenti. Topik mengenai Kiandra selalu menjadi hal sensitif bagi Airlangga. Dia memiliki sifat yang overprotektif terhadap putrinya itu. Dan baru saja Lukman menyebut nama Kiandra, wajah Airlangga langsung berkerut. Lukman memilih tidak melanjutkan pembicaraan tentang Kiandra.
"Akhir-akhir ini ada yang mengikuti Kiandra. Penjagaan sudah diperketat, tetapi selalu saja bisa lolos." nada bicaranya tampak kesal. "Aku minta tolong kau menyelidikinya."
Lukman mengangkat tangan. "Urusanmu sangat banyak. Aku tidak bisa menambah dengan urusan putrimu. Yah, hal itu berbeda kalau kau menuruti saran ku."
Airlangga menggebrak meja. "Lukman! Kau suruh putriku menjadi pendekar Api Abadi. Setiap hari dia akan bertarung dengan Wewe. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi."
Lukman mulai kesal. Dia mulai balas berteriak. "Terus apa yang kau lakukan? Mengurung dia dalam kastil istana yang megah ini? Seperti mengurung burung dalam sangkar emas!"
Suara ayahnya bertengkar membuat Kiandra berlari tergopoh-gopoh. Dia melihat ibunya memegangi tangan ayahnya. Ayahnya berteriak kepada orang itu. Kiandra mendekat untuk melihat, siapa orang yang membuat ayahnya marah.
"Hai bocah manja," kata orang itu tenang.
Airlangga berbalik melihat putrinya memasang wajah bingung. Amarahnya mereda seketika. Airlangga menyuruh putrimu kembali ke kamar.
Kiandra tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia mematung menatap Lukman. "Bukankah Anda petinggi Apiabadi?"
Lukman membusungkan d**a. Dia tidak menyangka bocah itu akan mengenalinya. "Kau tahu aku ya," Lukamn manggut-manggut.
"Tentu saja. Wajah anda ada di halaman buku. Dan benar tidak berubah dari sepuluh tahun yang lalu."
Lukman meralat. "Lebih tepatnya seratus tahun."
Kiandra melongo. "Bercanda ya?"
Airlangga mengulangi perintahnya agar Kiandra kembali ke kamar.
"Lehermu sudah sembuh ya…" kaya Lukman sambil mengamati Kiandra.
Kiandra reflek menyentuh lehernya. Airlangga membisiki sesuatu pada istrinya. Mira menghampiri Kiandra dan mengajaknya kembali ke kamar.
"Mau sampai kapan kau perlakukan anakmu seperti orang bodoh?"
"Diam kau," umpat Airlangga.
"Dia bukan bayi yang harus selalu kau jaga. Dia sudah dewasa. Sudah sepantasnya dia tahu tentang siapa dirinya sesungguhnya."
"Pergi kau. Laporan hutan aku kirim lewat kurir!"
"Airlangga Kiandra." Suara Lukman berubah berat dan mengancam. "Kau hanya menyimpan bom waktu." Setelah mengatakan hal itu Lukman angkat kaki dari rumah Kiandra.
***
Nafas Panji terengah-engah. Dia tahu latihan menggunakan Naraya akan cukup sulit. Tetapi dia tidak tahu ternyata juga butuh stamina yang kuat. Dia sudah nyaris limbung.
Sedangkan lelaki Danyang itu sama sekali tidak keluar keringat satu butir pun. Panji mengumpat. "Sial!"
Naraya berdiri di atas sebuah kayu yang tumbang. Ada banyak hal pernah terjadi di hutan ini. Entah sudah berapa lama dia berada di Kota Sabin. Dia tidak pernah menghitungnya.
Hutan yang lebat dan ditakuti dulu, kini hanyalah hutan produksi kayu jati. Kayu kayu yang dianggap sudah layak panen, ditebang dan diganti dengan bibit baru. Para blandong kayu ilegal sudah tidak ada. Pekerjaan mereka digantikan oleh mesin. Yang mana kuantitas dan kualitasnya melebihi kemampuan manusia.
Naraya tidak pernah bosan memperhatikan bagaimana kehidupan manusia di sini. Bagaimana semua alat-alat canggih itu dibuat. Bagaimana mereka bertahan menghadapi perubahan musim. Dan tentunya menghadapi teror Wewe.
Naraya tersenyum. Dia mengingat sesuatu yang penting. Kepalanya mendongak merasakan bulir bulir air menimpa wajahnya. Dia berbicara pada Panji. "Hei, hujan turun. Aku harus pergi."
Naraya langsung menghilang begitu saja.
Tubuh Panji masih menelungkup di atas tanah. Energinya benar benar terkuras. "Danyang sialan!" Panji ingin tahu kemana dia pergi. Begitu ingat syarat yang diajukan Naraya, Panji kembali mengumpat. "Memangnya dia puber apa?"
Panji merayap mencari tasnya. Dia belum sanggup untuk berdiri. Danyang sialan itu bahkan tidak membantunya untuk kembali ke kota. Begitu tasnya didalat, Panji merogoh saku tas dan mengeluarkan ponselnya. Dia menelpon seseorang.
"Jemput aku sekarang…"
***
Kiandra duduk di pintu jendela. Hujan mulai mengetuk jendela kamarnya. Dia menyentuh bulir hujan itu dengan jemarinya dari balik kaca. Kiandra paling suka dengan musim hujan. Sebab selama musim hujan, penyakit gatalnya tidak pernah kambuh. Jadi dia berasumsi gatalnya ada hubungannya dengan panas. Mungkin kulitnya memang sensitif terhadap panas.
Kiandra keluar kamar, mengatakan pada ibunya akan keluar sebentar. Dia membawa payung pelangi dan menuju toko sekitar rumahnya. Kiandra tidak sendiri. Ada beberapa pengawal yang berjalan di belakangnya. Kiandra tahu itu. Dia sudah memaklumi keberuntungan mereka. Mereka cukup cerdas untuk tidak terlalu dekat dengan Kiandra.
Kiandra membeli es krim di sana. Sebenarnya Kiandra tahu semua ada di dalam kulkasnya. Tetapi dia butuh alasan untuk keluar rumah. Orangtuaku jarang sekali mengizinkannya keluar. Kecuali untuk pergi ke kampus.
Mereka lebih protektif setelah penyakit Kiandra kemarin kambuh lagi. Kiandra menggoyang lehernya. Dia berharap penyakit itu segera hilang dari tubuhnya.
Ponselnya berbunyi. Mira sudah memintanya pulang. Kiandra mendesah. Belum ada sepuluh menit dia keluar dari rumah, dan sekarang dia harus kembali ke sana.
Ketika Kiandra sedang memilih es krim, tiba tiba tubuhnya meremang. Kiandra merasakannya. Dia datang. Sudah beberapa lama orang itu datang mendekat. Anehnya Kiandra tidak merasa terancam.
"Kau datang?" Ucap Kiandra lirih.
Kiandra bisa melihat lelaki itu tersenyum dari balik bahunya.
"Apakah kau merindukanku?" Tanya lelaki itu.
Kiandra menganggap orang ini sinting. "Apa kau gila. Buat apa?"
Lelaki itu memiringkan kepalanya. "Aku bisa membuatmu kabur dari mereka."
Kiandra mendeguk. Siapa orang ini. Kenapa dia tahu bahwa Kiandra dalam pengawalan? Kiandra merasakan bahaya. Orang ini bukanlah orang biasa. Dia pasti sudah mengawasi Kiandra sejak lama. Kiandra bergerak mundur. Tangannya yang memegang kotak es krim gemetar.
Lelaki itu sepertinya menyadari tingkah aneh Kiandra dan dia ikut panik. "Tenanglah. Aku tidak akan menculikmu."
Kecuali kau yang minta, batin lelaki itu.
"Aku harus pergi," kata Kiandra. Dia menuju kasir dan membayar es krimnya kemudian pulang ke rumahnya.
Lelaki itu menatap punggung Kiandra dengan sorot mata sedih.