Bayu meraba- raba ponsel yang bergetar di nakas samping tempat tidurnya. Dia sangat yakin bahwa yang menelpon adalah keponakan yang itu.
"Siapa yang menelpon, Sayang?" Tanya perempuan yang tidur di sebelahnya.
Tubuh mereka terbungkus selimut tebal. Sebab selain AC, hujan di luar membuat lebih nyaman bergulat di dalam selimut.
"Sepertinya aku harus pergi!" Kata Bayu singkat.
"Tanpa penjelasan lagi?" Perempuan itu berang.
Bayu hanya mengangkat bahu.
Perempuan itu terdiam sebentar kemudian dia menyingkirkan selimut dan turun dari kasur.
"Mau kemana?" Tanya Bayu. Seharusnya dia yang pergi, tetapi perempuan itu malah lebih buru-buru dibanding dirinya. Sebenarnya dia malas pergi, lebih nyaman berada di pelukan seseorang. Tetapi orang itu pasti akan marah besar. Dan Bayu tidak tahu apa yang akan dilakukan orang itu.
Tanpa menjawab Bayu, perempuan itu memakai baju dan membereskan barang-barangnya.
"Aku yang pergi meninggalkanmu. Kita putus!"
Dia pergi dengan membanting pintu.
Di balik pintu, Bayu menghela nafas panjang. Dan telepon terus berdering.
"Ya," kata Bayu. "Di mana kau? Oke. Aku akan ke sana."
***
Seharusnya hanya butuh waktu setengah jam, dari tempatnya menuju hutan ini. Tetapi sudah satu setengah jam, orang itu belum sampai di sini.
Panji lelah menunggu. Dengan hujan yang sangat deras, dia tidak bisa menerbos jalan kaki. Jadi dia bersembunyi di salah satu rumah penjaga hutan yang tidak dihuni. Sebenarnya tidak ada yang pernah menghuni rumah rumah yang ada di hutan ini. Rumah rumah itu hanya dipakai untuk istirahat sebentar. Sehingga tidak ada apapun di dalam rumah itu.
Jangan tanya perkakas dapur, kursi meja pun tidak ada. Kosong melompong. Pintu depan pun tidak pernah terkunci.
Sebauh mobil berhenti di depan rumah. Orang yang keluar dari mobil itu mengenakan kemeja kaus hitam dan celana jins.
Panji mengamati orang itu. "Ganggu kencan ya." Panji mengambil biola yang disenderkan jauh di dalam ruang. Agar tak kena air hujan yang menetes dari sela sela genting.
"Masuk!" Perintah orang itu.
Mobil melaju mulus menyusuri jalan pegunungan yang berkelok kelok.
"Ngapain kau di sana, hujan hujan begini?"
"Gegara Danyang sialan itu. Teleportasi tiba tiba dan di dalam hutan pula."
"Wah, kalian akrab ya?"
Panji menaikkan kedua alisnya.
"Bagaimana syarat menjadi penebar benihnya, kau menerimanya?"
"Bicara soal penebar benih, sepertinya kau yang lebih cocok. Tuan Bayu." Panji melirik onggokan gaun perempuan di jok belakang.
Bayu mengikuti pandangan Panji. "Ah!" Dia memaki dirinya lupa dengan gaun itu.
"Yah sekarang sih cocok, dulu enggak."
"Ooh. Apa kita tukar peran saja. Kau yang akan jadi penebar benihnya."
"Aku suka saja menanam benih di lubang manapun. Tapi aku nggak ingin satupun dari benih itu tumbuh."
"Pilih mandul aja."
Bayu terbahak-bahak.
"Si Danyang sial itu langsung menghilang begitu hujan turun," kata Panji menjelaskan.
"Dia masih begitu?"
"Masih?" Tanya Panji. "dari dulu begitu?"
"Iya seingatku sih begitu. Begitu hujan turun dia akan langsung pergi menemui seseorang."
Panji ingat, Bayu pernah menyukai seseorang yang sama dengan si Danyang.
"Dan seseorang itu pernah menjadi milikmu, begitu?"
"Iyaah begitulah. Tapi tenang, Arunija bukan tipenya. Anak itu terlalu nekad dan gila. "
"Apa hubungannya dengan Arunika?"
"Kukira kau naksir.."
"Asusmsi gila."
***
Cit!
Bayu menginjak rem sekuat tenaga ketika melihat sesuatu berkelebat di depan mobilnya.
Kepala Panji terbentur di kaca samping berulang kali. Dia terbangun.
"Woi!"
"Kayaknya aku nabrak sesuatu deh!" Suara Bayu terdengar panik.
Panji membuka matanya. Dia mengikuti Bayu yang telah keluar dari mobil
Mereka memeriksa bawah, belakang dan sekitar mobil. Namun tidak ada satupun yang mencurigakan. Di sekelilling mereka hanya ada hutan, jalan aspal, dan kabut.
"Kau yakin? Nggak ada satupun kucing atau makhluk di sekitar hutan ini.
Bulu kuduk Bayu merinding. "Sial! Cepat masuk mobil!"
Panji sangat heran dengan tingkah Bayu. Seorang yang memiliki sifat arogan dan dikenal bisa membunuh Wewe tanpa ampun kini ketakutan. Pasti ada yang tidak beres di hutan ini.
"Danyang itu pasti menyiapkan jebakan untukmu, Panji," gumam Bayu.
Bayu memukul setirnya. "Sial. Harusnya aku gak kesini!"
Panji gusar. "Jebakan tai kucing. Masa kau takut?"
"Tutup mulutmu Panji. Ini bukan masalah remeh." Bayu menyalajany mobil dan memacu cepat kendaraan.
Panji mencengkram pegangan atas pintu mobil begitu kaki Bayu menginjak gas.
"Kita harus segera keluar dari hutan ini."
"Tuan Bayu yang Agung. Kalau hanya masalah Wewe. Kita berdua bisa mengatasinya."
"Persetan kau Panji. Ini bukan tentang wewe. Kita bisa terlempar ke demensi lain," jelas Bayu.
Mobil mereka melaju kencang. Namun seberapa lamapun mereka memacu mobil. Mereka belum juga keluar dari hutan. Seolah mereka hanya berputar-putar di satu tempat.
Bayu berulang kali mengumpat. Dan Panji masih mencerna apa yang sedang terjadi.
"Apa kita nggak bisa keluar dari sini? Aku akan coba telepon siapapun," Panji mengeluarkan ponselnya dan menelpon satu per satu temannya.
Tetapi tidak ada yang menjawab. Ketika dia memencet sembarangan. Dia malah menelpon Arunika. Hanya ada bunyi Tut panjang di seberang sana. Tanpa jawaban.
"Kita harus hancurkan polanya. Aku belum pernah melakukannya. Jadi harus kau yang melakukannya," kata Bayu. Paniknya mulai hilang, dan dia bisa berpikir jernih.
"Bagaimana caranya?"
"Panggil dia. Panggil si Danyang." Bayu tidak punya ide lain selain itu. Kekuatannya seperti ditahan oleh sesuatu. Karena itu dia yakin, mereka berdua berada di dalam pengaruh Danyang. Tapi sejak kapan?
"Kau menyuruh hal yang sulit."
Bayu menggerakkan giginya. Panji adalah pemuda yang cerdas, namun kadang dia juga bisa t***l. Seperti sekarang.
"Hancurkan saja biolanya. Nanti dia datang!" Bentak Bayu.
Panji tidak setuju dengan saran itu. Biola ini tidak bisa hancur semudah itu. Dia adalah lambang perjanjian dengan Danyang. Tentu saja menjadi rumah Danyang.
"Bukan bentuknya yang dihancurkan. Tetapi suaranya!" Bayu menjelaskan ketika melihat wajah Panji yang tidak yakin dengan sarannya.
"Maksudnya aku harus memainkan nada sumbang?"
"Apakah berada di sini membuatmu otakmu mengalami gangguan?" Sindir Bayu pada Panji.
Panji tidak menjawab. Dia mengambil box biola di bawah kakinya.
"Pelankan mobilmu. Atau lebih baik berhenti saja. Menghabiskan bensin."
"Tidak boleh berhenti. Aku tidak tahu kita akan tersedot kemana kalau putaran mobil ini berhenti. Aku akan pelankan," kata Bayu.
Mobil mulai melaju lebih pelan. Panji bisa.mengambil biola dan memainkan nada sumbang.
Ketila nada itu mulai mengalun. Mobil seperti berjalan di jalan berbatu. Mobil bergoncang keras. Panji tidak terpengaruh.
Dia berhenti bukan atas kemauannya. Melainkan seseorang telah merebut bow dari tanganya.
"Begitukah caramu memuji dewa? Telingaku sampai sakit mendengarnya." Kata orang itu yang sudah duduk manis di jok belakang.
***