Nada Sumbang

1007 Kata
Naraya menatap punggung gadis itu. Hatinya terasa hangat meski hanya bercakap-cakap sebentar saja. Gadis itu masih sama seperti yang dia ingat. Senyumnya, matanya saat marah, dan juga gerak tubuhnya.   Selain wajah, hal lain yang berbeda adalah kepribadiannya. Dia pernah menjadi gadis polos, manis, dan hangat. Pernah juga menjadi gadis pendendam. Dan kali ini gadis itu sifatnya lebih jutek. Meskipun demikian, Naraya tahu gadis itu adalah dia. Sang bulan.  Hanya dia. Entah kenapa.  Naraya  tidak akan pernah bisa melupakannya. Meski sudah beratus tahun berlalu. gadis itu dan reinkarnasinya selalu memikat hatinya.  Naraya ingin memilikinya lagi dan lagi. Setiap perempuan itu hadir di dunia ini. Dia selalu ingin menjadi pasangan gadis itu. Gejolak itu tak pernah padam sekalipun. "Butuh banyak waktu untuk kali ini. Tidak apa, aku juga tidak buru-buru." Naraya tersenyum tidak sabar untuk bertemu lagi dengan gadis itu.  Dia bersyukur, sekarang kehadirannya yang tiba-tiba, sudah tidak membuat gadis itu ketakutan. Seperti pertemuan pertama mereka.  Naraya ingat, dia hampir membekukan gadis. Gadis melompat kaget dan terpeleset nyaris jatuh dari balkon.  Kini, Naraya memilih tempat kemunculannya yang tidak membahayakan gadis itu.  Telinganya berdenging. Seperti ada jarum yang mengoyak- koyak gendang telinga. "Bocah sialan!"  Dia tidak bermaksud meninggalkan Panji di hutan itu. Hanya saja, ketika hujan turun. Pikirannya teralihkan pada gadis itu. Setiap hujan turun, apapun yang dia lakukan dan di manapun dia berada. Tubuhnya seperti diprogram untuk mengingat gadis itu dan mencarinya meski di ujung dunia.  Baginya kehadiran itu gadis itu seperti nafas di tengah terpenjaranya dia di dunia ini.  Ngiiing! Suara sumbang itu terdengar lebih parah. Telinganya tidak hanya sakit, tetapi tubuhnya juga. Naraya bergumam. Kali ini dia memilih sekutu yang cerdik. Panji telah melakukan hal yang membuatnya kesal. Naraya tidak akan memberikan cangkangnya pada sembarang orang, meskipun dia kuat. Dia harus memiliki talenta pemusik yang di atas rata rata. Dan Naraya tahu bahwa Panji sengaja menciptakan nada sumbang itu.  Dia pun berteleportasi ke tempat Panji.  "Begitukah caramu memuji dewa?" kata Naraya dengan sinis. Panji dan Bayu menengok ke belakang.  Naraya duduk dengan menyilangkan kaki. Aura di sekitar tubuhnya dingin. Panji bisa merasakannya.   "Bagaimana kabarnya, sang bulan?" Tanya Bayu tanpa takut. Naray mengamati lebih jelas kepada lelaki di belakang kemudi. Lelaki itu adalah Bayu. Dia tersenyum miring."Hei, bocah k*****t ada di sini!"  Bayu mengibaskan tangannya. "Untuk yang ini dia bukan tipeku."  Naraya menghilangkan bola udara di tangannya. Hampir saja, dia menyerang Bayu. Naraya tidak akan membiarkan Bayu hidup. Tidak untuk kedua kalinya.  "Tolong ya, kita berada di zaman berbeda. Lupakan masa lalu." Panji merasa sangat tidak nyaman dengan dua orang yang pernah rebutan perempuan. Apalagi satunya Danyang. Panji merasa Bayu sangat berani melawan Danyang.  "Paman, kau sungguh gila ya berani berebut perempuan dengan dia," bisik Panji. Matanya menunjuk ke arah Danyang.  Danyang seperti tak peduli dengan percakapan Panji dan Bayu. Pikirannya sibuk menerobos hujan, hutan, kabut dan persawahan. Terus sampai ke istana Airlangga. Apa yang sedang dilakukan gadis itu? Termenung di dalam kamar, atau bermain piano? Padahal baru saja bertemu, tetapi dia sudah rindu dengan gadis itu.  “Kenapa kau selalu menemui sang bulan setiap hujan?” tanya Bayu.  Naraya tidak menjawab.  Pertemuannya dengan sang bulan, menjadi hal yang berharga untuk dibicarakan dengan orang lain. Terlebih dengan Bayu. Orang yang pernah merebut sang bulan darinya.  Mobil terus melaju menyusuri jalan. Di sepajang kanan dan kiri hanya ada hutan. Pondok penjaga hutan yang biasanya ada di setiap beberapa kilometer, ternyata tidak ditemukan satupun.  Bayu melirik dasboard mobilnya. Bensinya sudah mulai menipis. Mereka tidak akan bisa melanjutkan perjalanan konyol terus menerus di sini. Di demensi hutan yang tak ada habisnya ini. "Sampai kapan kita akan berada di sini?" tanya Bayu.  Sadar kalau pertanyaan itu ditujukan pada Naraya. Dia hanya menjawab singkat.  "Aku masih harus menguji Panji." Bayu tidak suka sikap Naraya. Selalu bossi. Dan Bayu juga kasihan dengan Panji. Dia memandang Panji yang sudah terlelap dengan baju dan celana yang basah. Bayu menghela nafas. "Anak itu dalam kondisi basah kuyup. Setidaknya berilah dia kesempatan beristirahat," bela Bayu. Dia harus menyelamatkan Panji. Bisa bisa Panji mati konyol kalau terus mengikuti Naraya.  Naraya berang. Dia tidak suka dibantah. "Kalau hanya segini dia sudah tidak mampu. Dia tidak akan bisa melampaui Arunika!"  "Arunika bahkan belum bisa menggerakkan pedangnya!" Bayu membantah ucapan Naraya. Dia yakin, Naraya tidak akan mengalah, terlebih ada dirinya. Dia tidak ingin Panji menjadi korban kemarahan Naraya. Bayu membanting kemudi ke pinggir jalan.  Naraya dan Panji tubuh mereka terdorong ke sisi kiri. Mobil bergerak seperti melompat karena berbelok terlalu cepat. Kepala Panji terbentur kaca mobil.   "Bocah k*****t!" Umpat Naraya. Setelah mobil berhenti, Bayu bergegas keluar mobil. Dia butuh nikotin. Menghadapi Danyang keras kepala itu benar benar membuatnya kehilangan kesabaran.  Panji terbangun dari tidurnya. Dia hanya diam melihat Naraya keluar dari mobil mengikuti Bayu. Panji tidak berniat menghentikannya apalagi setelah melihat raut wajah Naraya. Bisa - bisa dia bukan hanya babak belur, tetapi tewas.  Naraya berjalan pelan di belakang Bayu.  "Bocah k*****t. Berhenti kau!"  Bayu tidak mengindahkan peringatan Naraya. Dia malah mengacungkan jari tengahnya.  Naraya berang. Dia menjetikkan jarinya dan sebuah batu besar muncul dari langit langsung menghantam Bayu.  Blarr!  Suaranya bergemuruh ke segala arah. Mobil yang ditumpangi Panji pun terkena imbasnya. Mobil itu terpelanting menjauh dari arena. Mobil itu terus berguling guling. Panji merasa tubuhnya yang lelah kini bergambar parah. Dengan kepala yang berkunang kunang. Tubuhnya berulang kali menubruk sisi dalam mobil.  Iya. Panji belum sempat keluar dari mobil. dia ingin sejenak memejamkan mata lagi. Namun apa daya, malah dia menjadi adonan risol yang digulung dalam tepung panir.  Bayu kaget dengan serangan itu. Dia tidak sempat mengelak. Namun tubuhnya cukup kuat kalau hanya melawan batu raksasa. Dia sebut raksasa, karena ukuran batu itu lebih besar dari truck tronton yang menimpa tubuhnya. Pohon-pohon kecil tercabut dari akarnya. Terdapat lubang yang sangat besar seperti meteor jatuh ke bumi. Bayu mengangkat batu dengan satu tangannya. Dia membuang batu itu ke samping dengan mudah. Ledakan kedua terdengar. Di mana batu itu jatuh terdapat lubang yang sangat besar. “Kalau kau ingin berduel denganku, akan kuladeni. Meskipun kau danyang!” Kata Bayu membuang rokoknya. Naraya tersenyum. Darahnya mendidih. Tidak menyangka dia memiliki kesampatan untuk menghabisi Bayu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN