Kucing dan Anjing

1426 Kata
Panji merasa kepalanya berputar-putar. Dia membuka mata. Tubuhnya terjengkang ke bawah kursi. Dia merayap untuk bangun. Untung saja mobil tidak dalam posisi terbalik. Dengan perlahan dia membuka pintu mobil dan melmpar tubuhnya ke tanah. Indra pendengaran menangkap suara bas ditabuh. Dengan irama tak beraturan. Seolah olah saling suara bogem mentah saling bergantian. Begitu rasa pusingnya mulai hilang, dia memincingkan mata dan menyadari sumber suara bas itu. Dua monster sedang bertarung. Petinggi Api Abadi vs Danyang Naraya. Mobil yang dia tumpangi terlempar cukup jauh dari arena pertarungan. Sehingga tidak terkena imbas dari dua kekuatan. Tetapi masih cukup jelas untuk melihat dua sinar kekuatan saling bertumbukan. Setiap dua cahaya itu bertemu, suara keras terdengar. Seperti petir. Blarr! Belum lagi angin kencang menyapu pohon pohon di sekitar arena. Dia ingin sekali melihat duel itu dari dekat. Kesempatan yang jarang terjadimelihat para petinggi bertarung. Panji menggerutu. Niatnya untuk mendekati arena pertarungan tidak didukung tubuhnya. Kakinya gemetar. Kelelahan fisik latihan, kehujanan, dan dikocok dalam dalam mobil membuat staminanya terkuras habis. Bayu benar, tubuhnya butuh istirahat. Dia melirik bangku mobil dan merasa tidak nyaman tidur di sana. Dia ingin tidur di kasur yang luas dan empuk. Panji membuka pintu belakang mobil dan mengambil biola di tersembunyi di pojokan. Biola ini pun pasti ikut terlempar ke sana kemari saat mobil terguling. Lalu Panji menutup pintu mobil, dia bersadar di samping mobil. Dia tidak mungkin berlari ke arah mereka untuk melerai. Dia belum ingin jadi daging cincang. Jadi dia menggunakan cara ini. Panji mengeluarkan biola itu. Panji merasa kagum kondisi biola yang tetep mulus. Tanpa goresan apapun. Panji menutup mata sebentar dan mulai menggesek biolanya. Berbeda dengan nada sumbang yang dia mainkan tadi, kali ini dia memainkan musik yang lembut. Setiap senar digesek muncul sinar sinar pink dari sana. Setiap butiran cahaya yang jatuh ke tanah akan tumbuh bunga. Suara musik yang lembut itu juga yang menghentikan duel antara Naraya dan Bayu. Kedua merasa lebih rileks setelah mendengar alunan musik itu. Terlebih Naraya. "Hmm…" kata Naraya. Matanya menutup menikmati alunan biola Panji. "Kau tidak akan menyesal memilih Panji sebagai sekutu. Dia memang berbakat." Bayu memuji Panji. Bayu tahu betul, Panji sudah berlatih bermain biola sejak kecil. Bagaimana jari-jari mungilnya sering terluka karena keseringan berlatih. Naraya mengangguk angguk setuju. "Baiklah. Kita ke rumahmu saja." "Oh baguslah. Aku ingin sekali mandi." Mereka menghentikan pertarungan, dan bergegas menuju mobil. Panji masih menggesek biolanya ketika mereka berdua mencapai mobil. Bayu menepuk pundak Panji. "Kerja bagus," Bayu menyeringai. Mereka sampai di rumah Bayu dalam hitungan menit. Bayu menyuruh Panji dan Naraya beristirahat di kamar tamu yang telah disiapkan. Naraya menolak. Dia memiliki urusan lain. Ketika Panji di ambang pintu, Naraya memanggilnya. "Panji, besok kau akan berlatih lebih keras." Panji mengangguk. "Apakah kita akan masuk ke dimensi lain lagi?" "Tentu saja. Bisa hancur kalau kita berlatih di sini. Dan akan membahayakan banyak manusia. Arunika pun pasti juga akan di bawa ke dimensi lain." Panji mengeryit. "Apakah kita akan bertemu Arunika?" Naraya menyeringai. "Apakah kau ingin bertemu dengannya?" "Sama sekali tidak. Aku malas berurusan dengannya." Panji menjawab dengan nada tidak sabar. "Benci bisa berubah jadi cinta," kata Naraya meninggalkan Panji dengan raut tidak sukanya. *** Dewanti asyik memakan keripik singkong di kamar Arunika. Mereka kembali segera ke asrama, karena malam ini Arunika bertugas. Dewanti duduk bersila dengan nyaman dan menonton televisi kecil. Acaranya tentang variety show komedi. Dia tertawa terbahak bahak di sela sela mengunyah keripik. Arunika melihatnya dengan geli sikap Dewanti. Sama sekali tidak mencerminkan sikap dewa yang anggun. Wajah cantik itu seperti hanya hiasan saja. Eman-eman kalo kata orang. "Makan dulu baru tertawa. Nanti tersedak…" "Uhuk uhuk!" "Aduh belum juga selesai ngomong," Aru dengan cepat mengambil gelas dan memutar kran galon minum. Dia bahkan belum menutup kran karena segera berlari ke Dewanti untuk menyerahkan air. Dewanti menepuk-nepuk dadanya berharap makanan yang nyangkut di kerongkongan itu masuk ke lambung. Dia segera menyambar gelas yang disodorkan Arunika. Dan menenggak habis air tersebut. "Ah.. aku hidup lagi." Aru terkikik. "Memangnya dewa bisa mati?" "Bisalah." "Karena tersedak?" Tanya Arunika. "Oh sial! Kau menggodaku. Awas saja nanti dapat karma." Arunika mengambil gelas dan hendak mengembalikan ke tempatnya. Tetapi kakinya terpeleset kare air yang tumpah dari galon yang belum ditutup. Bukannya menolong, Dewanti malah tertawa. Melihat Dewanti tertawa, Arunina juga ikut tertawa. "Sial bener deh. Karma langsung." Mereka berdua kembali tertawa. “Keripiknya enak. Kau beli di mana?" Tanya Dewanti. Dia menghabiskan dua bungkus besar keripik singkong tanpa merk itu "Itu kiriman dari Ibu di desa. Kau menghabiskan semuanya?" Arunika memegang dua bungkus plastik dengan tidak percaya. Baru beberapa jam Dewanti berada di kamarnya. "Ibu siapa?" "Yah, sebelum aku masuk di Api abadi aku tinggal bersama mereka di desa. Mereka orang baik." Arunika tersenyum ketika menceritakan mereka. "Baguslah. Ngomong ngomong, kenapa nggak tinggal di kediaman Airlangga?" "Ah keluarga sombong itu, malas banget," kata Arunika bergidik ngeri. "Berarti kau tidak kenal dengan Kiandra?" "Dia sangat membenciku. Dia cemburu karena aku dekat dengan Panji." "Panji yang menjadi partner mu?" Dewanti bertepuk tangan. Arunika menggaruk - garuk kepalanya. "Kau itu kenapa?" Dewanti tertawa, "Oh aku ingat kisah anjing dan kucing berkelahi gegara bulan.” "Ada hubungannya dengan Panji?" Tanya Arunika. "Bisa saja terjadi. Kau dan Kiandra berebut Panji." Dewanti tersenyum senang. Seolah olah menmukan drama yang menarik untuk disimak. "Sinting. Nggak Sudi gue!" Arunika berdecak dan menyangkal. "Siapa tahu, Aku bisa melihat kelanjutan anjing dan kucing lagi." Senyum tidak hilang dari wajah Dewanti. "Aku penasaran, bagaimana kisah kucing dan anjing ini?" Dewanti bersendekap. "Ini kisah dongeng. Tetapi berdasarkan kisah nyata yah kebenarannya sampai mana aku nggak yakin tahu. Bagaimana tetap tertarik?" Arunika mengangguk cepat. "Jadi dulu ada kucing dan anjing yang bersekutu. Mereka disebut pahlawan membasmi kejahatan. Mereka bertarung dari arena satu ke arena lain untuk membuat kedamaian. Mereka bersama sejak lama. Mereka tumbuh bersama. Saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan. Tetapi persahabatan mereka hancur gegara bulan. Saat itu ada satu musuh yang saat kuat. Dan untuk mengalahkannya mereka harus meminta bantuan sang bulan. Tetapi ternyata sang bulan hanya mau memilih satu ksatria." Dewanti menghentikan ceritanya begitu melihat wajah Arunika sedih. Mata Arunika berkaca-kaca dan berkata,"Dan akhirnya mereka bertarung satu sama lain untuk mendapat kekuatan sang bulan?" Dewanti mengangguk. "Cerita yang menyedihkan ya? Kalau kau jadi salah satu ksatria. Apa yang akan kau lakukan?" Arunika tersenyum miring. "Aku akan mengajak kerja sama temanku untuk membunuh sang bulan terlebih dulu." Dewanti berdecak. "Cewek jadul kejam." Arunika menyampirkan handuk di pundak. "Ayo siap siap berangkat ke arena perburuan." Dewanti menguap. "Aku sudah siap. Kita akan kemana?" "Hem, arena yang bernama Kawah. Kau pernah dengar?" Dewanti mengingat-ingat. "Sepertinya enggak. Mungkin daerah baru. Aku udah lama tertidur kan?" "Katanya itu tempat pertama Wewe muncul. Masa sih nggak tahu?" "Aku gak hapal dan gak mau tahu soal sejarah kota ini. Aku bukan kau yang suka sejarah dan benda benda jadul." Arunika menyeringai. "Yah, sejarah kota ini menarik. Melibatkan para bangsawan. Dan bangsawan itu sekarang kaya raya dengan semua lini bisnis mereka." Dewanti mengibasi tangannya. "Informasi tidak penting. Ayo berangkat." Arunika menolak. "Aku mandi dulu." Dewanti tidak percaya ini. "Memangnya mau kencan? Kita mau berburu Wewe." Arunika memberengut. "Baiklah dewa…" *** Arunika menutup hidung dengan syal yang terlilit di lehernya. Bau belerang tercium dari segala arah. "Baunya nggak enak banget!" Dewanti setuju. "Berikan tanganmu." Arunika mengulurkan tangannya. Begitu tangan digenggam Dewanti, tubuhnya serasa diselubungi cahaya. Dan bau belerang tidak tercium lagi. "Begini lebih baik," kata Dewanti bangga dengan tindakannya. "Wah, aku tidak menyangka kau bisa melakukan ini. Aku seperti punya kantong Doraemon," kata Arunika senang. "Beruntunglah kau memiliki aku," kata Dewanti tersenyum. Mereka menyusuri sekitar kawah, namun tidak muncul Wewe satupun. Kawah ini seperti dataran pasir yang tidak ada tumbuhan sama sekali. Matahari sudah tenggelam. Pencahayaan hanya dari sinar bulan. Dewanti membuat lampu di sekitar mereka. Sehingga mempermudah pencarian. Namun sejauh mereka berjalan, tidak ada kemunculan Wewe satupun. "Apa sebaiknya kita lebih turun ke bawah kawah sana ya?" Tanya Arunika. "Jangan. Terlalu berbahaya. Dilihat gimanapun. Ini bekas ledakan gunung berapi," Dewanti mencegah. "Ya tetapi kita enggak menemukan apapun di sini. Percuma dong kita ke sini!" Dewanti menghela nafas. "Baiknya aku akan terbang di sekitar sini. Kau tunggu saja. Jangan ke bawah. Aku merasa ada mantra di sana." Arunika sebenarnya enggan. Dia mulai terbiasa bergerak sendiri. Dan ketika Dewanti datang, dia merasa diperlakukan seperti saat remaja dulu. Selalu dilindungi Dewanti. Namun Angin berhembus kencang. Angin itu juga menerbangkan syal yang dipakai Arunika. Arunika mengejar syal itu, dan tanah yang dipijaknya ternyata pasir hisap. Pasir itu menggelincir ke bawah kawah. Arunika berusaha menyimbangkan tubuhnya. Dia terjatuh, dan pasir terus menyeretnya ke bawah kawah. Tangannya menggapai apapun, namun dia tidak menemukan pegangan. "Dewanti,tolong.." Arunika berteriak-teriak memanggil Dewanti. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN