Naraya berteleportasi langsung ada di kamar Kiandra. Kiandra sedang tidur lelap di kasurnya. Kiandra layaknya putri yang terpenjara dalam istana. Lihat saja dekorasi kamarnya.
Warna tembok didominasi warna magenta dan fuschia. Naraya bergerak pelan pelan ke samping kasur. Dia mengamati wajah Kiandra lekat lekat.
"Kau ini m***m ya, ngelihatin orang tidur?" Kiandra membuka mata dan merapatkan selimutnya. Dia memiringkan tubuhnya sehingga bisa melihat wajah Naraya.
Bukannya malu atau merasa bersalah, Naraya malah menyunggingkan senyum yang lebar.
"Aku merindukanmu," Naraya berkata lirih.
"Kau itu sebenarnya siapa?" Kata Kiandra dingin.
"Calon pasangan hidupmu." Naraya sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap Kiandra yang cuek. Dia malah merasa tertantang untuk meruntuhkan sikap dingin gadis itu.
"Maaf, tapi aku sudah menyukai orang lain. Dan dia jauh lebih tampan daripadamu. Sebaiknya kau pergi. Aku tidak ingin membangunkan seisi rumah untuk mengusirmu," Kiandra berbalik dan membenamkan kepalanya di bantal dan melanjutkan tidurnya.
Naraya sedikit terkejut dengan penolakan itu. Dia ingin tahu siapa yang berani mengisi hati gadis itu. Naraya mendekati Kiandra dan membelai rambut gadis itu.
"Aku akan menunggu kau membuka hatimu. Aku selalu berada di dekatmu."
Naraya mencium sejumput rambut Kiandra dan menghilang.
Setelah Naraya pergi, Kiandra bertanya -tanya siapa dia. Namun hatinya merasa sangat dekat dengan lelaki itu. Apakah dia penyihir?
Kiandra tahu, rumahnya tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Berbagai penjaga dan mantra menyelubungi rumah ini. Lebih tepatnya istana Airlangga ini.
Jadi Kiandra yakin, yang selalu datang menemuinya bukanlah sembarang orang. Dia akan mencari tahu, tetapi ayahnya tidak boleh tahu tentang lelaki itu. Siapa yang kira-kira bisa membantunya tanpa membuatnya curiga.
Kiandra berpikir keras. Tiba tiba dia ingat dengan petinggi Api Abadi yang sering datang ke rumahnya. Sang Bayu.
Rasa kantuk Kiandra hilang. Dia menyibak selimut dan mengambil handphone di laci nakas. Dia mencari tahu tentang Bayu, dan bagaimana mengubunginya. Sayangnya nomer ponsel pribadi Bayu tidak tercantum di internet.
Kiandra ingat Bayu juga merupakan keluarga Panji. Lalu Kiandra mengirim pesan ke Panji, memita bertemu dengan Bayu. Siapa tahu dia juga bisa bertemu dengan Panji. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Ada perlu apa dengan Bayu?
Kiandra bersorak kecil. Dia tidak menyangka pesannya langsung dibalas dengan cepat. Padahal sudah tengah malam. Berarti Panji sedang tidak bertugas malam ini.
Aku ada bisnis kecil dengannya. Kalau kau ingin tahu, kau juga bisa ikut datang ke Cafe Century Besok pukul 08.00
Oke.
Hanya satu kata saja, tetapi Kiandra sudah berlonjak lonjak di kasurnya. Tidak menyangka dia akan bertemu dengan Panji di luar kampus.
***
Kiandra sudah bersiap dari subuh. Dia mandi dengan air bunga mawar. Dan juga memilih gaun spesial warna abu-abu. Dengan bagian bahu dan lengan yang transparan. Dan motif gaunnya bunga bunga.
Kiandra tidak butuh lama meyakinkan ayahnya ketika dia menyebutkan akan bertemu dengan Panji. Meskipun ayahnya tidak terlalu suka dengan Panji, tetapi Panji merupakan lelaki yang bisa dipercaya.
Meskipun dengan syarat beberapa pengawal mengikuti dengan jarak tidak jauh.
Kiandra duduk di pinggir jendela. Dia menikmati suasana kota pagi hari. Ada tempat wisata bermain yang baru dibuka beberapa waktu lalu. Kiandra ingin sekali pergi ke sana. Tetapi ayahnya pasti tidak akan mengizinkan kalau dia pergi sendiri.
Suara sepatu berderap dan berhenti di dekatnya. Kiandra tersenyum. Akhirnya yang ditunggu datang. Ketika wajahnya mendongak dan melihat siapa yang datang, senyumnya menghilang.
"Kau? Kenapa kau di sini? Mana Bayu, Panji?" kata Kiandra menoleh ke belakang Naraya. Apa mereka ada di pintu masuk.
"Mereka tidak akan datang. Aku yang menggantikannya," kata Naraya. Dia menarik kursi dan berhadapan dengan Kiandra.
"Kenapa malah kau yang datang?" Tanya Kiandra.
Kiandra mendengus kesal. Usahanya untuk tampil sempurna di hadapan Panji sia-sia.
Kiandra memperhatikan lelaki yang ada di hadapannya. Biasanya dia hanya memakai kimono putih setiap kali datang. Kali ini lelaki itu memakai blezer abu-abu dengan kaos hitam, celana denim.
"Hari ini kau cantik sekali," kata Naraya. Matanya tak lepas dari Kiandra. "Kau bahkan menata rambutmu."
Rona merah bersemu di pipi Kiandra. Untuk menyembunyikan rasa malunya, Kiandra mengaduk aduk minuman latte.
"Kau memotong rambutmu?"
Naraya tersenyum. Dia menyentuh rambut poninya dan menyisirnya ke belakang. "Tidak. Aku hanya berubah agar sesuai dengan kriteriamu."
"Ehh?" Kiandra membuang muka. Dan lebih memilih mengamati suasana di luar jendela. Semua orang sibuk berlalu lalang di depan cafe.
"Apa yang kau cari hingga mau bertemu dengan Bayu?" Suara Naraya terlihat tidak senang dengan gagasan Kiandra bertemu Bayu.
Kiandra berpikir tidak ada gunanya untuk berbohong pada orang itu dia pasti akan memanipulasi hal di sekitarnya untuk mendapatkan hal yang dia mau
"Aku ingin minta bantuan Bayu untuk mencari tahu tentangmu," kata Kiandra tetap memandang jendela. Matanya sedikit melirik reaksi lelaki itu
Lelaki tersenyum.
"Tanya saja langsung padaku."
"Seharusnya kau memperkenalkan dirimu sendiri sebelum menguntitku kemanapun," Kiandra kesal.
"Ah! Aku minta maaf," kata Naraya.
Seorang pelayan mengantarkan pesanan minuman kopi untuknya.
Lelaki itu menyusup kopinya pelan. Kiandra mengamati jari jari lelaki itu. Dia memiliki jari yang panjang. Kukunya terpotong rapi dan bersih.
"Orang-orang memanggilku Naraya.
"Raya…" kata Kiandra.
Naraya terkesiap ketika Kiandra mengucapkan namanya.
"Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya? entah kenapa aku merasa nama itu tidak asing." Kiandra memandang Naraya. Ada rasa asing yang hinggap di hatinya.
Kiandra melihat sinar mata Naraya berubah ketika dia mengucap namanya. Ada sorot sedih di sana.
"Iya, kita memang telah mengenal. Dulu sekali," kata Naraya pelan.
***
"Uggh… ughhb…"
Panji mendengar suara rintihan dan juga hentakan kaki dari kamar Bayu. Dia mengetuk kamar itu, dan benar suara itu makin keras. Panji membuka pintu dan
"Astaga. Apa yang terjadi?"
Panji kaget melihat Bayu terikat di tempat tidur. Dengan kaki dan tangan terikat tali. Dan juga mulut ditutup lakban. Bayu meronta ronta. Kakinya menghantantam kasur. Ketika melihat Panji, Bayu meraung menyuruh membuka ikatannya. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya rintihan saja. Tetapi Panji sepertinya memahami maksudnya.
Dia berlari dan membuka mulut Bayu yang dilakban.
Dia menahan tawa ketika bertanya, "siapa yang melakukan hal ini?"
Bayu mengumpat ketika lakban itu terlepas dari mulutnya. "Danyang sialan! Buka ikatan tanganku, Nji," perintah Bayu.
Panji membuka ikatan tali itu. Setelahnya dia tertawa terbahak-bahak dan berguling di tempat tidur.
"Sialan. Danyang sialan itu mengikatku saat aku tidur. Memangnya apa salahku?" Bentak Bayu.
"Itu karena dia… hfff," Panji kembali tertawa. Dia memegangi perutnya.
Bayu menendang Panji jatuh dari tempat tidur. "Mati kau!"
Butuh beberapa waktu untuk Panji bisa menguasai dirinya. Dia sudah puas tertawa dan berdiri.
Bayu sudah duduk di kursi malas dan menatap layar ponselnya. "Puas tertawanya?"
Panji nyengir. "Puas banget!"
"Katakan, apa alasannya mengikatku?"
"Dia tahu Kiandra mengirimiku pesan. Dan ingin bertemu denganmu," Panji memberi penjelasan. "Sebenarnya dia yang membalas pesannya. Aku sudah tidur."
"Apa?" Bayu geleng geleng kepala. Padahal dia sudah menegaskan bahwa dia tidak tertarik dengan Kiandra. Tetapi Danyang itu tidak mempercayainya. "Sebentar, untuk apa dia mencariku?"
Panji mengangkat bahu.
***
"Kita bisa jalan jalan di sekitar sini, untuk melanjutkan obrolan?" Naraya menawarkan.
Kiandra melirik ke belakang. Menunjukkan sesuatu. "Mereka semua ada di sana. Memangnya kita bisa bebas?"
"Itu perkara gampang. Asal kau percaya padaku," kata Naraya meyakinkan.
Kiandra menggeleng. Kalau dia kabur dengan lelaki ini, ayahnya akan khawatir. Dan Kiandra tidak berani mengambil risiko. Terlebih tidak ada yang benar benar tahu siapa sebenarnya lelaki penyihir di hadapannya ini
"Aku tidak akan menculikmu. Bagaimana kalau kita ke taman bermain di sekitar sini. Yah kencan denganku tidak terlalu buruk," Naraya menyengir.
Kiandra tertawa. "Kau bisa baca pikiranku ya?"
"Tidak. Hanya saja, kau melihat menara di taman bermain itu beberapa kali. Aku pikir kau ingin ke sana."
Kiandra mengangguk. "Aku ingin, tetapi tidak berani. Kalau bersama Panji mungkin aku bisa," kata Kiandra.
Naraya memberengut. "Aku sudah berdandan seperti ini dan kau masih ingin Panji? Keterlaluan."
Kiandra menanti reaksi marah Naraya. Apakah Naraya akan menyerangnya atau menggenggam tangannya. Eh Naraya menggenggam tangannya?
"Berarti aku perlu usaha lebih keras untuk membuatmu senang dan melupakan Panji," bisik Naraya. Dia mencium punggung tangan Kiandra.
Kiandra spontan menarik tangannya. "Apa yang kau lakukan?"
Naraya mengedipkan satu matanya. Dan Kiandra merasa sedikit pusing.
Kiandra melihat seorang gadis dengan pakaian kimono mewah. Sepertinya hari pernikahan gadis itu. Di sampingnya berdiri dengan seorang lelaki. Dari belakang sepertinya Kiandra mengenali lelaki itu.
Dan ketika lelaki itu menoleh ke arahnya. Kiandra tahu dia adalah Naraya.
Dan gadis itu memeluk leher Naraya dan tertawa.
Kiandra syok. Gadis itu adalah dirinya.
Kiandra membuka mata. Dan dia masih berada di cafe. Tangannya digenggam erat oleh Naraya. Wajahnya penuh dengan khawatir.
"Kau baik-baik saja? Kalau kau merasa pusing. Sebaiknya kita ke rumah sakit." Suara Naraya terdengar panik. Wajahnya berkerut. Meskipun demikian wajahnya tetap tampan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa pusing sedikit. Tetapi sekarang sudah hilang," kata Kiandra menenangkan. Dia ingin mengatakan apa yang dilihatnya tadi. Tetapi Kiandra ragu. Dia memilih diam saja.
"Bagaimana kalau kita kencan?" Kiandra menantang Naraya.
***
Arunika merasa tubuhnya tercerai berai. Sakit di sekujur badannya. Dia tidak mampu menggerakkan kakinya. Dia mengaduh terus mengayuh. Nafasnya tersengal-sengal. Pandangan matanya kabur.
Dia tidak bisa melihat apapun di sekitarnya.
"Dew…" kata Arunika lirih.
"Hei, jangan banyak bergerak. Kau masih belum pulih!" Suara Dewanti terdengar tenang.
"Dew, aku nggak bisa menggerakkan kakiku.." Arunika berharap keadaanya tidak seperti yang dia bayangkan. Kakinya pasti masih ada. Mungkin hanya mati rasa.
"Aru… aku minta maaf…" ketenangan Dewanti mulai menghilang. Dia seolah takut mengatakan sesuatu. Arunika bisa membayangkan Dewanti akan menggigit bibirnya untuk mengenyahkan gelisahnya.
"Katakan… kakiku kenapa?" Arunika sudah penasaran dengan jawaban Dewanti. Apapun hasilnya dia akan menghadapinya. Optimisnya memang selalu diuji.
"Kakimu terbakar oleh mantra. Aku berusaha menyelamatkan mu. Tapi kakimu.. kakimu… maafkan aku. Tapi kita akan cari cara untuk membuat kaki baru. Aku akan mengusahakannya." Suara Dewanti terdengar yakin.
Pandangan Arunika mulai membaik. Dia tidak bisa bangun. Dan dia melihat ke sekelilingnya. Dia tidak berada di rumah sakit ataupun di kamar asramanya. Di mana dia?
"Kita ada di dimensi yang berbeda," Dewanti memberi penjelasan setelah melihat tingkah Aru.
"Kita akan memperkuat fisikmu. Dan memulihkan kakimu," kata Dewanti.
Arunika melihat sekilas keadaan kakinya. Semuanya gosong. Tidak ada kulit. Hanya tulang kaki yang berwarna hitam pekat.
Arunika diam. Tak kuat melihatnya.
"Aru, aku janji kakimu akan pulih seperti sedia kala. Aku janji…"
Dewanti memeluk Arunika yang sudah terisak-isak.