Kencan Pertama

1776 Kata
Dewanti pergi sebentar dari hadapan Arunika. Dan kini Arunika baru memperhatikan sekitarnya. Hanya ada ruang kosong tanpa benda, tanpa suara. Ketika dia berkedip, Dewanti sudah berada di depannya lagi.  "Perginya sebentar banget?"  Dewanti cuma nyengir. "Sekarang kakimu sudah siap."  "Kaki apaaan?" Ketika mengatakannya Arunika menunduk dan melihat sepasang kaki utuh. Tidak ada tulang gosong yang mengerikan. "Kok bisa? Tiwas aku nangis nangis tadi."  Dewanti semakin nyengir. "Kena kau!"  Arunika bangkit dan memukul kepala Dewanti. "Bercandamu tidak lucu! Aku pikir aku akan cacat."  Dewanti mengelus elus kepala yang dipukul Arunika tadi. Dia menampilkan ekspresi murung.  "Mana mungkin aku membiarkanmu cacat. Kau itu temanku," Dewanti mengatakannya dengan ekspresi sedih. Begitu Arunika ingin meminta maaf, Dewanti mengatakan," Tapi yah menggodamu sesekali boleh lah!"  Arunika menyesal berniat minta maaf. Dia pun cemberut.  Melihat Arunika begitu, Dewanti malah tersenyum lebar. Kemudian dia menjentikkan jari. Flup! Ruang kosong itu berubah menjadi lapangan luas.  Arunika menganga. Menyaksikan perubahan yang sagat cepat terjadi di sekelilingnya. Kok bisa? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya. Dia menunduk melihat tanah yang dipijaknya kini telah tumbuh rumput rumput kecil. Kemudian dia berputar, memandang jauh. Mereka dikelilingi pohon pohon yang tinggi. Ketika Arunuka berjalan mendekati pohon, seolah pohon itu berjalan menjauh. Keningnya berkerut. Dia memandang Dewanti dengan tatapan bertanya.  "Kita ada di dalam dimensiku. Apapun keinginanku bisa terwujud. Seperti…"  "Lucid dream," potong Arunika.  "Kau benar,"  "Soal kakiku gimana? Prank juga?"  "Oh my… yah memang luka sih. Tapi bisa diobati. Untung aku cepat datang. Kalau tidak? Kau bisa terseret arus pasir," Dewanti berbicara dalam satu tarikan nafas.  Arunika perlu beberapa waktu untuk mencerna. Di telinganya suara Dewanti seperti kaset yang harus diputar ulang dengan tempo lambat.  "Sebenarnya pasir apa itu?" "Aku menduga itu pasir hisap. Lagian untuk apa sih kau ke sana? Tidak ada Wewe, berarti tidak ada manusia di sana." "Sebentar," kata Arunika. Dia seperti mendapat informasi yang menarik dari ucapan Dewanti. "Maksudmu Wewe hanya muncul di tempat ada manusianya?"  Dewanti menepuk jidatnya. "Tentu saja. Mereka kan makan manusia."  "Bukannya janin?"  "Sama saja. Janin juga manusia."  "Apakah ada Wewe yang makan laki laki dewasa?"  Dewanti mengangkat bahunya. "Mungkin saja. Kalau mereka terlalu lapar. "  Arunika mengucek telinganya. Dia berpikir sesuatu yang buruk. Dia memilih daerah kawah selain karena di sana tempat Wewe muncul pertama kali. Tempat itu juga tidak pernah dipilih oleh pendekar lain.  Dia menganggap bahwa Wewe pasti bersembunyi di tempat yang jauh dari manusia. Ternyata dugaannya salah. Justru sebaliknya. Wewe ada karena manusia itu tinggal di sana. Holly s**t! Kenapa dia baru memikirkan itu sekarang. Kepalanya berdenyut denyut menemukan kemungkinan yang buruk.  "Ayo kita latihan. Kita tidak boleh buang buang waktu," tukas Dewanti menarik tangan Arunika untuk berdiri.  Dewanti menginstruksikan beberapa latihan fisik untuk memperkuat kaki dan tangannya. Dia menyuruh lari, sit up, push up dan lainnya selama beberapa hari. Kemudian baru dilanjutkan dengan latihan mengunakan pedang.  "Butuh berapa lama untuk bisa sekuat Panji?" Tanya Arunika.  Dewanti berdeham. Dia memikirkan jawaban yang akan membuat Arunika lebih semangat dalam latihan. "Mungkin sekitar satu bulan, itu kalau tubuhmu kuat." "Berarti aku bolos satu bulan? Bisa bisa dipecat." Arunika menolak untuk dipecat.  "Tenanglah. Waktu di sini dengan di kota Sabin berbeda. Satu bulan di sini, sama dengan setengah hari di sana," saat mengatakan hal ini. Telunjuk Dewanti mengacung pada ruang kosong yang jauh.  "Ayo kita mulai," perintah Dewanti.  *** Bayu sedang mengerjakan tugasnya di rumah. Dia belum merasa tenang, kalau Kiandra belum pulang ke rumah. Menghadapi Naraya sudah membuatnya kesal, ditambah dengan rengekan Airlangga kalau tahu anaknya bersama Naraya. Kepala Bayu serasa berat. Dia yakin Naraya telah melakukan sesuatu terhadap pengawal Kiandra sehingga Airlangga belum tahu keadaan anaknya.  Ponsel Panji berdering. Panji mengambil ponsel di saku jasnya. Dia hanya menjawab 'oh' dan 'iya baiklah'. Lalu dia menyodorkan ponselnya pada Bayu.  Bayu menerima dan mengerti ketika dia melihat nama yang tertera di sana. Kiandra. Ternyata yang bicara di seberang sana bukanlah Kiandra melainkan Naraya.  "Apa maksudmu? Hei Danyang!"  Telepon ditutup.  "Danyang sialan! Aku disuruh Telpon arilangga. Anaknya akan dipulangkan nanti sore," cerocos Bayu tanpa ditanya.  Panji nampak terkejut. Dia sekarang merasa kasihan terhadap pamannya itu. Dia mendapat tugas yang berat. Mengatakan bahwa Kiandra bersama lelaki yang tidak dikenal oleh Airlangga saja sudah berat. Apalagi ini bersama Danyang. Sebagai bentuk simpati, Panji menepuk pundak Bayu.  Bayu mengambil jaket dan kunci mobilnya. "Sebaiknya aku langsung menemuinya. Sebelum dia menggulingkan satu kota untuk menemukan anaknya," kata Bayu. Kemudian dia berjalan setengah berlari ke garasi mobil dan memacu mobilnya  kediaman Airlangga.  Hanya perlu menyetir selama setengah jam bagi Bayu untuk sampai di rumah Airlangga. Dia lebih suka menahan Airlangga di rumahnya daripada membuat kekacauan di tengah kota. Setidaknya dia bisa memperkecil masalah.  Airlangga sudah berdiri di ruang tamu dengan wajah ditekuk. Dia memakai kaos hitam dan celana jeans biru. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku. Di meja ruang tamu sudah ada tumpukan berkas dan laptop yang menyala.  Mungkin Bayu datang di saat yang tidak tepat. Tetapi dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.  "Sorry aku mengganggu. Ada yang ingin kubicarakan terkait putrimu, Kiandra," kata Bayu langsung duduk tanpa disuruh.  Topik terkait Kiandra tidak pernah tidak menarik perhatian Airlangga. Sebagai putri semata wayangnya, Airlangga terlalu protektif terhadapnya.  "Apa yang terjadi, apakah Panji melakukan sesuatu padanya? Aku akan membunuhnya kalau itu terjadi," desis Airlangga. Dia bahkan tidak mau duduk karena terlalu tegang.  "Tidak. Tidak. Panji sedang ada di rumahku. Dia…" perkataan Bayu terpotong. Ketika bajunya ditarik oleh Airlangga.  "Apa maksudmu Panji di rumahmu? Kiandra sedang bersama dia seharusnya," kata Airlangga dengan nada penuh tekanan.  "Tenang. Kau tenang dulu. Aku butuh minum," kata Bayu sambil melepaskan tangan Airlangga di bajunya.  "Kalau ada sesuatu yang membahayakan putriku. Kau juga harus mati," ancam Airlangga.  "Uhuk.. uhuk, bisakah kau minta pelayanmu ambilkan aku minum?" Bayu berusaha mengulur waktu. Dia menyiapkan diri untuk mengatakan tentang Naraya pada Airlangga. Kalau Airlangga tidak bisa tenang, dia terpaksa menggunakan kekuatannya.  Airlangga memanggil pelanayany dan menyuruhnya membawa minuman dan kue.  "Langsung ke intinya,di mana putriku dan dia sedang bersama siapa?" Kata Airlangga tidak sabar.  "Dia sedang ada di taman bermain bersama Naraya," kata Bayu.  "Apa katamu? Danyang Naraya? Bagaimana bisa?" Airlangga merasa kepalanya akan meledak. Dia sudah menyembunyikan putrinya dengan baik sejak kecil. Menggunakan mantra dan para pendekar yang terbaik. Bagaimana bisa Naraya bisa dengan mudah menemukan Kiandra?  "Harusnya kau bersyukur. Naraya menemukan Kiandra segera. Tidak ada yang bisa melindunginya selain dia," kata Bayu. Dia segera mengambil minum yang telah disuguhkan oleh pelayan.  Airlangga merasa tubuhnya lemas. Dia tahu Naraya memang bisa melindungi Kiandra. Dia tahu betul itu. Tetapi dia tidak ingin tragedi itu terulang lagi pada Kiandra.  "Sejak kapan Naraya bisa mengetahui soal Kiandra?" Airlangga sudah kehilangan tenaga untuk marah. Kali ini dia memilih untuk memikirkan jalan lain.  "Entahlah. Semuanya serba tidak terduga sejak kedatangan Arunika," kata Bayu.  "Siapa sebenarnya bocah itu?"  "Entahlah," kata Bayu. Bukan hanya itu, Bayu dan para petinggi lainnya tidak tahu bagaimana Arunika bisa datang ke kota Sabin dan apa tujuannya. Dan bagaimana bisa pedang dewa yang sudah nyaris dirongsokan bisa hidup lagi.  Tetapi dia tidak menceritakan lebih lanjut. Bisa - bisa Airlangga kena serangan jantung.  *** "Apa kau mau berpegangan tangan?" Tanya Naraya.  Kiandra menolak dengan tegas. "Gila apa, enggak ah." Kiandra merasa aneh sejak kemunculan lelaki ini pertama kali. Kemudian kehadiran lelaki ini terus saja mengusik hidupnya. Biasanya dia muncul di area bayangan. Tidak bisa dilihat orang lain. Awalnya Kiandra pikir dia sedang berhalusinasi melihat malaikat tampak turun dari langit karena frustasi terhadap penyakit kulitnya.  Tetapi lihat! Saat ini lelaki itu muncul di tengah kota dengan tampilan normal. Dan beberapa gadis yang berpapasan selalu terpesona dengan wajahnya.  Mereka sedang menyusuri taman bunga. Di sana banyak  arena permainan seperti bianglala, komedia putar, kolam renang. Kiandra merasa senang dia ada di sana. Bersama dengan orang orang yang ada di sana. Biasanya ayahnya akan menyewa satu hari tempat wisata. Dan dia akan dipersilahkan main di sana. Tetapi sendirian. Tidak ada anak-anak yang lari, tidak ada pasangan, tidak ada pengunjung selain dia dan pengawal.  Dan ketika dia berada di sini bersama Naraya dia merasa hidupnya normal.  "Ayo kita naik itu," ajak Naraya menunjuk bianglala. Dia senang, melihat senyum terpancar di wajah Kiandra. Wajahnya sudah lebih rileks dibanding berada di cafe tadi.  Kiandra bergeming.  "Apa kau takut ketinggian?"  "Tidak. Enak saja!" Sejujurnya Kiandra sedikit takut. Tetapi dia ingin sekali naik bianglala sekarang. Dia bisa melihat kerumunan orang-orang di bawahnya.  Kiandra tidak bertanya bagaimana Naraya bisa mendapatkan tiket dengan mudah padahal antriannya sangat panjang.  Naraya cukup menjetikkan jarinya ketika Kiandra pergi ke toilet. Tiket itu langsung muncul di tangannya. Sulapan. Naraya juga sudah meletakkan uang di kotak penjual tiketnya. Dia tidak ingin mencuri kerja keras orang lain. Dia masih punya harga diri untuk itu.  Kiandra dan Naraya langsung mendapatkan kan gerbong dan langsung duduk berhadapan.  Kiandra duduk membelakangi cahaya. Dan Naraya memincingkan matanya pada leher Kiandra. Bekas luka itu masih terlihat samar.  "Bagaimana luka di lehermu? Apakah sudah membaik?" Tanya Naraya tiba-tiba.  Kiandra spontan menutupi lehernya. Sudah beberapa lama sejak luka itu mulai hilang dengan krim yang dia terima dari dokter. Dan sebelum berangkat ke cafe dia menaruh fondation di bekas lukanya supaya tidak terlihat. Tetapi sepertinya karena dia berkeringat, fondation itu mulai luntur. Tunggu, bagaimana dia bisa tahu itu luka?  "Raya, darimana kau tahu soal luka di leherku?" Tanya Kiandra. Tangannya masih menutupi lehernya. Naraya merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah syal. Dia mencodongkan tubuhnya ke arah Kiandra.  "Apa yang kau?" Pertanyaan Kiandra terpotong ketika mengetahui Naraya mengikatkan syal itu untuk menutupi lukanya.  "Aku tidak tahu bagaimana luka itu muncul. Ayah bilang itu karena aku alergi. Tetapi alergi terhadap apa." Kiandra tidak tahu kenapa dia menjelaskan soal luka itu.  Naraya mengenggam tangan Kiandra. "Tidak apa, kau tetap cantik," kata Naraya menenangkan.  Bianglala berputar beberapa kali. Dan keduanya terdiam. Kiandra menyibukkan diri melihat pemandangan. Dia masih merasa canggung berada di dekat lelaki itu. Apalagi dia beberapa kali memergoki Naraya terus menatapnya.  Kiandra bersyukur lelaki itu tidak bicara lagi.  *** "Raya," panggil Kiandra.  Naraya yang sedari tadi berjalan di belakang Kiandra mendekat.  "Ya?"  "Terima kasih untuk hari ini," kata Kiandra tulus.  "Tentu." Naraya terdiam sebentar. Dia hendak mengatakan sesuatu. "Setelah ini aku akan sedikit sibuk. Aku tidak bisa menemuimu," kata Naraya.  "Oh ya? Kau pendekar Api Abadi ya? Aku yakin begitu."  "Hemm bisa dibilang aku sekutunya pendekar ApiAbadi," kata Naraya.  "Kok sudah mulai gelap ya, perasaan batu jam empat," kata Kiandra. Dia memandang langit dan menyadari mereka sudah berjalan jauh dari pusat taman menuju pintu keluar.  Naraya langsung bersiap. Dia merangkul Kiandra dan melompat.  "Hei lepaskan aku!" Kiandra meronta-ronta.  "Diam sebentar," desis Naraya.  Hawa dingin merebak ke tubuh Kiandra. Lehernya terasa gatal. Matanya menangkap sebuah sosok di tempat di mana dia berdiri tadi.  Sosoknya tidak terlalu jelas karena langit mulai gelap.  Saat sosok itu berbalik menghadapnya. Kiandra tahu siapa dia.  Wewe. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN