Kiandra berdiri di belakang Naraya. Tubuhnya gemetar. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Wewe. Ih, gatal tidak hanya di leher. Tetapi juga tangan dan kakinya.
"Kian, telpon Panji sekarang," perintah Naraya.
Bukannya dia tidak sanggup melawan Wewe. Hanya saja dia tidak ingin Kiandra berada di tengah pertarungan dan terluka.
Wewe itu mengendus endus. Naraya melemparkan biji sesuatu. Dari biji itu muncul asap yang memberi jarak mereka dengan Wewe. Asap itu cukup lama bertahan di udara. Membuat Naraya dan Kiandra memiliki untuk berlari sejauh mungkin dari Wewe.
Kiandra mencengkram hape dengan tangan kiri. Sambil berlari, sangat sulit untuk menutup menu di ponsel layar sentuhnya. ketika akhirnya dia berhasil menghubungi Panji, para Wewe sudah terbebas dari asap dan melayang menyusul mereka.
Naraya berhenti berlari dan menghadang mereka. Dia mengibaskan tangannya, dan Wewe itu terlempar jauh. Jari Kiandra gemetar, dan untungnya terhubung juga.
"PANJI TOLONG. Wewe mengejar kami," Kaindra berkata setengah berteriak.
Ponsel itu terlempar menggelinding ke tanah Ketika Naraya kembali menggendong Kiandra.
"Ponselku jatuh. Raya!" Gumam Kiandra.
"Pegangan yang erat!" Teriak Naraya. Dia tidak peduli soal ponsel, yang dia pedulikan adalah keselamatan Kiandra. Kiandra tidak boleh berada di dekat Wewe terlalu lama.
"Cuma kau yang bisa memancing sebanyak ini," gumam Naraya.
Kiandra terkesiap. Dari dalam tanah muncul makhluk mahkluk yang menyeramkan.
"Ta.. taapi aku tidak hamil," kata Kiandra ketakutan.
Naraya merapatkan pelukannya ketika merasakan tubuh Kiandra gemetar.
"Tidak apa,Sayang. Mereka tidak bisa akan melukaimu. Selama aku di sini," kata Naraya. Dia mengecup kening Kiandra.
Kiandra tidak berdaya. Dia hanya diam saja. Tubuhnya lemas, tetapi kulitnya terasa gatal. Namun dia tidak punya energi bahkan untuk menggaruk. Dia sangat syok.
Naraya melompat sambil menggendong Kiandra ke beberapa tempat. Puluhan Wewe itu terus bermunculan dan mengejar mereka. Kiandra sudah pingsan. Jadi Naraya lebih mudah untuk bergerak ke sana kemari.
Lelah berlari. Sebab Wewe itu tidak ada habisnya. Naraya mengucap mantra batas. Sebuah mantra perlindungan. Para Wewe tidak bisa masuk. Mereka hanya mengais ngais dinding kasat mata itu.
Setengah jam kemudian, sebuah mobil berdecit di pinggir jalan. Meskipun pedal rem telah diinjak, namun mobil masih terus melaju beberapa meter. Setelah sebelnya dikemudikan dengan ugal-ugalan.
Panji tiba dengan Bayu. Panji mengambil biola dari jok belakang. Sedangkan Bayu sudah menerjang puluhan Wewe hanya dengan sapuan angin. Wewe itu lenyap seperti butiran pasir.
Panji menggesek biola dan muncul kilat kilatan merah dari alunan musiknya. Setiap kilat yang keluar langsung menusuk para Wewe yang berusaha menghancurkan dinding perlindungan yang dibuat Naraya.
Ketika Panji telah tiba, Naraya bisa mengeluarkan semua kekuatannya. Dia terbang ke arah Bayu dan menyerahkan Kiandra.
"Jaga dia," kata Naraya. Dia menoleh ke Panji dan berkata,"Ayo mulai berburu, bocah!"
Naraya terbang ke atas Panji. Setelan balzer dan celananya telah berganti dengan kimono putih. Dan sebuah pita melingkar di atasnya. Rambutnya yang cepat kini berubah panjang dengan warna hitam.
Panji memainkan biolanya dengan irama yang cepat. Kilat yang muncul kini berubah lebih besar. Setiap kilat yang jatuh ke tanah langsung menumpas wewe-wewe yang muncul dari tanah.
Wewe yang lebih kuat mulai menyerang Panji. Panji berkilat ke sisi kiri. Dan kilat dari musik biolanya terus bermunculan lebih banyak dan lebih kuat.
Naraya mengatakan sesuatu ke Panji. Panji menaikkan tempo musik. Dan Naraya terbang di arena. Dia berdiri di tengah Panji dan Wewe.
Sedangkan Bayu sudah membawa masuk Kiandra dan menidurkannya di jok belakang. Dia membuat batas perlindungan dalam mobil dan berjaga di luar mobil. Bila ada Wewe yang datang ke arahnya, dia bisa membasminya.
Panji memainkan musik dengan tempo yang cepat. Naraya bergerak meliuki tubuh. Dan sebuah sinar muncul darinya. Sinar besar itu semakin lama semakin besar dan membuat Wewe tertarik ke dalamnya.
Setelah semua Wewe berada di dalam kantong cahaya itu. Panji mengakhiri musiknya dengan lengkingan. Dan kantong itu meledak.
Para Wewe itu menjerit kesakitan dan kemudian menghilang.
"Cuma kelas teri, tetapi cukup merepotkan," desis Naraya. Penampilannya kembali berubah seperti pria milenial dengan blazer dan celana jeans. Dia berlari setengah terbang menuju mobil. Dia mengangkat kepala Kiandra dan mendudukkannya di pangkuannya.
Panji dan Bayu mengikuti Naraya masuk ke mobil.
"Kenapa bisa muncul Wewe, ini bahkan belum jam enam," kata Panji tidak percaya. Pelipisnya penuh keringat. Dia tidak menyangka melawan para Wewe sebanyak itu dengan cukup mudah dan tanpa luka. Dia yakin dirinya telah bertambah kuat.
Naraya diam saja. Dia enggan menjelaskan penyebab Kiandra menjadi magnet pemanggil Wewe.
Dia lebih peduli dengan keadaan Kiandra. Dia mengelus-elua rambut Kiandra, dan menyebut nama Kiandra berulang kali.
"Apakah Kiandra hamil?" Tanya Panji. Pertanyaan Panji yang konyol itu membuat Bayu memukul kepala Panji.
"Bukan bodoh. Kiandra itu sang bulan. Keberadaan dia bisa membuat Wewe berkumpul," kata Bayu. Dia berdeham berharap Naraya lebih sibuk mengurus Kiandra dra dibanding menghajar Panji karena omong kosongnya.
"Kau selalu menyebut Kiandra Sang Bulan. Sang bulan itu apa? Aku tidak pernah membaca dalam sejarah Wewe," desak Panji meminta penjelasan lebih.
Bayu ingin menyesap nikotin. Daripada harus meladeni Panji. Begitu banyak pertanyaan yang dia juga masih mencari jawabannya.
"Kita ke rumah Kiandra," perintah Naraya.
"Holly s**t. Kau ingin aku dicincang Airlangga?" Bentak Bayu. "Sebaiknya kita ke markas Apiabadi."
"Aku tidak mau dia jadi bahan percobaan para petinggi konyol macam kau," kata Naraya.
Bayu merasa percuma saja membujuk Naraya. Jadi sebaiknya dia mengemudikan mobil menuju kediaman Airlangga. Semoga saja pria tua itu tidak kena serangan jantung.
***
"Apa yang terjadi? Kenapa dengan Kiandra?" Pertanyaan yang diajukan dengan teriak itu memcah kesunyian begitu mereka tiba di depan pintu masuk rumah Airlangga.
Bayu keluar dan Airlangga langsung menonjoknya. "Kau bilang Kiandra akan aman bersama Danyang sialan itu," bentak Airlangga.
Bayu mengusap darah yang muncul di sudut bibirnya. Sial, keras juga pukulan pria tua ini. "Dia cuma pingsan," kata Bayu.
Airlangga tidak ada rasa menyesal telah memukul Bayu. Dia berbalik ke mobil dan hendak menggendong Kiandra masuk ke rumah. Tetapi terlambat.
Naraya lebih dulu membopong Kiandra masuk ke dalam rumah. Dia langsung bergerak menuju kamar Kiandra. Mengabaikan wajah bingung ibu dan para pelayan.
Dengan hati-hati Naraya meletakkan Kiandra dan menarik selimut sampai d**a. Di pintu telah ada Airlangga yang berlari mengejar. Di belakangnya sudah ada ibu dan pelayan.
"Kalau tidak bisa melindunginya, sebaiknya kau menjauh dari putriku," ancam Airlangga pada Naraya.
"Kalau bukan aku, siapa yang akan melindunginya. Kau?" Ejek Naraya.
Wajah Airlangga memerah. "Sampai sekarang akulah yang melindunginya. Tidak ada Wewe yang muncul di sekitarnya," kata Airlangga bangga dengan tindakannya.
"Iya kau hanya melindungi fisiknya. Tetapi tidak hatinya," kata Naraya.
Airlangga terdiam. Mira mendekat dan merangkul lengan suaminya.
"Tuan Danyang, apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh Kiandra memerah. Alerginya kambuh."
"Kami bertemu Wewe. Dengan jumlah yang sangat banyak. Kau tidak akan bisa membayangkannya." Naraya mengatakan dnegan nada kesal.
Airlangga mengeluarkan caci maki pada Danyang. Menyuruhnya menjauhi Kiandra. Dia juga mengusir mereka semua dari rumahnya.
Sedangkan Panji dan Bayu hanya menunggu di bawah, di ruang tamu. Mereka duduk dan merenggangkan badan dan ketegangan.
Panji tersenyum ganjil melihat bekas darah di bibir Bayu. Bisa-bisanya seorang petinggi di hajar oleh warga sipil. Seandainya pendekar lain tahu, Bayu pasti akan malu.
"Jangan berpikir untuk terlalu kuno," kata Bayu seolah membaca pikiran Panji. "Aku hanya memberikan kesempatan pada seorang ayah untuk melampiaskan emosinya. Terlebih melihat anaknya tidak sadar," kata Bayu nyengir.
"Sok pahlawan," gumam Panji.
Danyang turun dan langsung mengajak Panji dan Bayu pergi dari rumah itu. Sebelumnya dia telah memperkuat mantra perlindungan di rumah ini. Setelah yakin, Kiandra akan aman, dia meninggalkan rumah itu.
***
Bayu sedang menelpon seseorang. Dari jauh, Panji bisa mendengar seseorang berteriak dan memaki Bayu. Cuma ada satu orang yang bisa melakukannya. Airlangga.
Bayu terlihat menelpon beberapa orang. Menyuruh mereka datang ke rumah Kiandra untuk memeriksa ini dan itu. Dan yang terakhir Bayu menelpon Lukman menjelaskan dengan singkat apa yang telah mereka alami. Ketika dia meletakkan ponselnya di meja. Panji langsung mendekat.
"Hei paman, coba jelaskan. Kenapa Kiandra bisa menarik perhatian para Wewe," bisik Panji. Dia sudah memeriksa sekeliling. Danyang sedang pergi entah kemana. Jadi dia berharap mendapat penjelasan tentang Sang bulan dari Bayu.
Bayu menoleh ke Panji, mata Panji penuh dengan sorot penasaran. "Kau tahu kenapa Wewe hanya bisa muncul malam hari?"
"Bukannya sudah dari sananya?"
Bayu memukul kepala Panji. "Bocah bodoh, apa kau tidak membaca buku sejarah dengan baik? Itu karena Wewe mendapatkan kekuatan dari sinar bulan."
Panji hanya mendengungkan suara oooh.
Bayu mengusap lehernya berulang kali. Dia melanjutkan penjelasannya pada Panji. “Bagi pengguna ilmu sihir hitam, bulan meruoakan wujud kekuatan paling besar. Dan mereka akan memanfaatkan bukan untuk mencapai tujuannya.”
Bayu menatap Panji dengan serius. “Kiandra adalah titisan dari sang bulan. Jadi dia seperti magnet yang terus menarik perhatian Wewe."
Panji termenung. "Kenapa baru muncul sekarang?"
"Karena poros ideal kota Sabin sudah berubah. Lingkaran sihir mulai melemah. Dan muncul si Arunika entah dari mana," kata Bayu kesal.
Panji diam. Dia ingin mengatakan terkait bus cosmos yang dicari Arunika. Tetapi dia tidak bisa memberitahu Bayu sekarang. Dia harus mencari tahu sendiri, siapa Arunika.
"Memangnya Arunika bukan penduduk kota ini?" Tanya Panji. Dia harus menggali lebih dalam informasi tentang Arunika.
"Yah, ada. Tetapi sudah hilang. Ah… cukup cukup. Aku juga belum tahu semuanya. Lukman yang tahu," Bayu mengambil ponsel lagi dan menelpon seorang perempuan.
"Aku akan pergi. Kau bersiaplah akan latihan dengan Naraya. Jangan mengungkit soal Kiandra."
Panji memberikan jempolnya. "Oke."
***
Arunika tergeletak di tanah. Nafasnya terengah engah. Dia tidak menyangka latihan dengan Dewanti bisa seseram ini. Kakinya sudah gemetar tak kuat lagi kalau dipaksa berdiri. Pedang yang di pegangnya sudah terlempar entah kemana. Jemarinya terasa keram dan sakit. Untuk menggenggam saja butuh usaha lebih.
Dia berusaha mengatur nafasnya lebih banyak. Dia melirik keadaan Dewanti.
Danyang itu tetap berdiri tegak dengan rambut hitamnya ditiup angin. Bahkan rambutnya tidak awut-awutan. Masih lurus dan rapi. Arunika merasa kesal. Jurang perbedaan kekuatan mereka sangat jauh.
"Kalau kau ingin menyamakan kekuatanmu denganku. Butuh seribu tahun," ejek Dewanti.
Arunika mengabaikan cemohannya. "Air," katanya lemah.
Dewanti menjetikkan jarinya. Munculah sebotol air di dekat Arunika.
Arunika menyambar botol dan berusaha duduk dengan susah payah. Dia menenggak air itu dengan cepat hingga ada yang tumpah di baju dan celananya.
"Kau harus latihan lebih keras, Arunika. Kita dikejar waktu. Akan lebih banyak Wewe yang muncul," kata Dewanti lantang.
Kepala Arunika pusing. Persetan dengan Wewe. Nafasnya sudah putus nyambung begini. Dia ingin istirahat sebentar. Dia membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata. Suara Dewanti yang memekik tidak dipedulikan. Dia ingin tidur, sebentar saja.
Dewanti menghentak kaki kesal karena Arunika malah terlelap.