Persiapan

1605 Kata
Kiandra membuka matanya dengan ragu. Dia takut kalau masih ada Wewe yang mengincarnya. Dia mengintip dari satu matanya. Ternyata dia ada di kamarnya. Rasa lega memenuhi dadanya. Kiandra sendirian di kamar yang besar ini. Dia merasa sedikit kesepian. Biasanya orang itu akan muncul tiba tiba dari ketiadaan. Dia sedikit merindukan Naraya. Apakah benar Naraya tidak akan menemuinya karena ada sesuatu yang harus dikerjakannya? "Apakah kau merindukanku?" Sebuah suara berbisik di telinganya, Kiandra nyaris melompat karena kaget. Begitu tahu Naraya yang melakukannya, Kiandra melempar bantal tepat di muka Naraya. "Jangan… jangan mengangetkanku!" Pinta Kiandra memaksa. "Bagaiman perasaanmu? Apakah kau baik baik saja?" Tanya Naraya. Tangannya menyentuh sejumput rambut Kiandra. "Aku baik baik saja. Apakah Wewe itu semua sudah musnah?" Kiandra mengabaikan setiap sentuhan Naraya. Meskipun dia bisa menolaknya, tetapi Kiandra membiarkannya. Dia merasa sedikit menikmati perhatian dari Naraya. "Kiandra, ada hal yang harus kau ketahui segera," gumam Naraya. "Apakah hal ini yang selalu disembunyikan kedua orangtuaku?" Kiandra sudah menduganya. Pasti Naraya tahu tentang alergi anehnya. Selain itu, dia merasa alerginya ada hubungannya dengan Wewe. "Katakan, aku tidak mau dibodohi terus menerus." Naraya mendekat. "Bolehkah aku memelukmu?" Dia merentangkan kedua tangannya. Kiandra menepis kedua tangan Naraya. "Bicara saja. Tanpa sentuh sentuh!" Naraya menyengir. Dia memang sengaja selalu mencari kesempatan untuk lebih dekat dengan Kiandra. Termasuk saat Kiandra sedang lemah. Sebab waktu mereka untuk dekat ternyata tidak banyak. Kemunculan Wewe tempo hari membuktikan bahwa mereka telah mengetahui keberadaan sang bulan. Tidak butuh waktu lama mereka pasti akan menyerang ke rumah Airlangga. "Kian, kau adalah sang bulan. Yang artinya kau akan selalu dicari oleh Wewe. Meskipun kau tidak hamil," kata Naraya pendek. "Apa itu sang bulan?" Tanya Kiandra. "Sang bulan bisa dibilang dewa atau Dewi. Dia bisa meningkatkan kekuatan Wewe, sehingga para Wewe selalu mencarinya. Kau adalah titisan dari sang bulan itu?" "Maksudmu aku adalah makanan para Wewe begitu? Dan kau apa? Kau itu jenis Wewe yang lain?" Naraya menahan tawa, pertanyaan Kiandra sangat lucu. Bagaimana mungkin dia adalah Wewe. Kalau dia Wewe, Kiandra sudah akan habis dimakannya. "Menurutmu aku apa? Apakah Wewe?" Naraya berbalik bertanya. "Entahlah. Kalau Wewe, kau pasti Wewe yang pintar." Kiandra menatap Naraya dengan lekat. Mengamati betapa memesonanya lelaki yang ada di hadapannya. Sungguh sayang sekali kalau dia adalah Wewe. Naraya berdeham. "Aku bukan Wewe. Aku bisa dibilang sekutunya pendekar Api abadi. Aku partner dari Panji Laksamana," kata Naraya menejelaslan. Entah kenapa, Kiandra merasa lega bahwa Naraya bukanlah Wewe yang akan memakannya. "Terus apa aku akan selalu diincar oleh Wewe?" "Iyah. Aku tidak ingin berbohong. Aku ingin kamu waspada dan berhati-hati. Kapanpun, mereka bisa datang," kata Naraya. "Apakah aku hanya berdiam diri tanpa bisa melindungi diriku sendiri?" Tanya Kiandra. Sejujurnya dia tidak suka menunggu diserang. Apalagi dia hanya akan jadi beban bagi ayahnya, ibunya dan para pendekar. Sedang dia hanya duduk diam. Dia tidak suka itu. "Apa kau ingin bisa menggunakan kekuatan mu untuk melindungi diri?" Tanya Naraya. "Harusnya," kata Kiandra ragu. Apakah Naraya akan mengambil keuntungan darinya lagi seperti melakukan intercouse atau lainnya'? "Kekuatan itu ada di dalam dirimu. Kau hanya perlu menerimanya saja," bisik Naraya. "Atau kau perlu pelukanku? Aku dengan senang hati memberikannya." Kiandra tidak percaya. Lelaki ini benar benar tidak mengabaikan satu kesempatan pun. "Tidak. Pergi sana. Aku akan mencoba bermoderasii," kata Kiandra. Senyum singkat segera menghilang di wajah Naraya. Dia mengubah wajahnya seserius mungkin. "Meditasi yang benar," kata Naraya membetulkan istilahnya. Wajah Kiandra memerah. Ternyata istilah yang dia gunakan salah. "Yah, apapun itu. Moderasi, meditasi itulah pokoknya. Kau pergi sana, mengganggu saja. Katanya kan urusanmu banyak." Kata Kiandra dengan cepat. Dia menyesali kalimat yang terakhir keluar dari mulutnya. Itu berarti menunjukkan kalau Kiandra tidak ingin Naraya pergi dari sisinya. Uh, Kiandra merutuki mulutnya yang lepas kontrol. Naraya tersenyum singkat. Dan Kiandra melihat itu. Dia semakin merutuki mulutnya. Lelaki itu pasti sedang kegeeran karena dia mengatakan hal itu. Kiandra membuat wajah jutek. "Pergi sana. Aku bisa melakukannya," kata Kiandra. Dia mengatakannya dengan nada tegas. Meskipun jantungnya berdegup kencang sekali. Dia berharap Naraya tidak menyadari bahwa Kiandra malu. Tetapi Naraya menyadarinya. Sangat sadar. "Tentu, kekasihku," kata Naraya tersenyum lebar. Naraya tidak tahan kalau tidak menggoda gadis itu. "Aku akan menemuimu secepatnya." Begitu Naraya menghilang. Kiandra memukul pelan mulutnya berulang kali. Dia tidak boleh ada rasa suka dengan Naraya. Yang dia sukai adalah Panji. Bukan Naraya. Dia menatap ke jendela. Dia merenung, menyadari Panji tak pernah sekalipun memperhatikannya. Dia seperti manusia transparan bagi Panji. Tetapi dia merasa tidak sedih lagi. Mungkin kuncup di hatinya sudah berganti bunga. *** Dewanti memaksa Arunika untuk bangun dan melanjutkan latihan. Dia menepuk nepuk pipi Arunika sampai memerah. Mencubitnya dan mengambari wajahnya. Arunika enggan bangun. Dia yakin tubuhnya akan sakit di semua tempat. Namun perlakuan Dewanti makin lama makin tidak manusiawi. Akhirnya dia terpaksa membuka mata. Pertama yang diliriknya adalah kakinya. Dia takut kalau kakinya berubah jadi gosong. Dan kaki aslinya yang masih bagus hanyalah mimpi. Kemudian jarinya. Jarinya digerakkan membuka dan menutup. Dia tidak merasa keram atau sakit lagi. Badannya juga lebih enakkan setelah tidur. Dia bersyukur lebih memilih tidur dibanding melanjutkan latihan tadi. "Kenapa sih kita harus buru-buru?" Tanya Arunika. "Toh Wewe di situ situ aja. Selain aku ada banyak pendekar Api Abadi lain." Dia masih sebal dibangunkan dari tidur lelapnya. "Wewe sudah mengetahui sang bulan. Sangat gawat kalau mereka mendapatkannya," kata Dewanti. "Yah, walaupun sekarang sang bulan sudah dilindungi. Tetapi kita tetap tidak boleh lengah. Kau harus lebih kuat." "Terus kita akan latihan apa hari ini?" "Melanjutkan bermain pedang." Uh, Arunika meringis. Menggenggam pedang. Kegiatan yang tidak disukainya. Dewanti melihat ekspresi enggan di wajah Arunika. "Kalau kau berhasil menguasai permainan ini, aku akan kasih imbalan," rayu Dewanti. "Apa imbalannya?" Tanya Arunika. Dewanti berpikir sebentar. "Sejarah kemunculan Wewe di kawah. Dan dongeng sang bulan," kata Dewanti. Senyumnya lebar di wajahnya. Dewanti tahu Arunika lebih tertarik dengan benda atau cerita kuno dibanding uang. "Aku sudah tahu dongeng sang bulan. Di mana kucing dan anjing itu saling bertarung memperebutkan sang bulan, benar kan?" Arunika tidak pernah sekalipun melupakan cerita semacam itu. "Aku akan kenalkan kau pada si pemilik dongeng itu. Pelaku sebenarnya dan bagaimana akhirnya," Dewanti akan memberikan umpan yang menggoda Arunika. "Sebentar, maksudnya itu bukan hanya dongeng? Tetapi betulan terjadi?" Mata Arunika berbinar binar. Dia tidak menyangka bahwa masih ada saksi sejarah di Kota Sabin. "Hem, dongeng itu kan awalnya memang diciptakan dari kejadian nyata. Yah, dibumbui sedikit banyak demi hiburan," kata Dewanti. "Oke deal. Aku setujui syaratmu, aku akan kuasai permainan pedang ini," kata Arunika. Dewanti tersenyum. Dia selalu menang. *** Naraya muncul lagi di kamar Panji. Saat Panji sedang menggesek biolanya. Panji terlalu fokus untuk bermain biola dan tidak sadar Naraya memperhatikannya. Dia memainkan melodi yang menghentak hentak di awal, dan di tengah disisipi melodi yang lembut. Dan diakhiri oleh melodi yang sedih. Terdengar tepuk tangan dari belakangnya. Panji menoleh. Naraya sudah berdiri bersandar di dinding dengan nyaman. "Baju baru lagi?" Kata Panji menggoda Naraya. Panji tahu setiap kali akan menemui Kiandra, Naraya pasti memakai setelan baju kekinian. Dan meninggalkan entah di mana kostum kimono putihnya itu. Panji penasaran darimana dia bisa mendapatkan koleksi baju - baju yang bagus. Kali ini Panji mengamati Naraya memakai kaos merah dengan jaket Levis. Dan celana denim warna hitam. Naraya bahkan memakai jam tangan. Panji memuji Kiandra dalam hati. Dia bisa mengubah seorang Danyang menjadi manusia. Mirip manusia ralatnya. Naraya mengangkat bahu. "Ayo berangkat!" Panji menaikkan alisnya. "Sekarang? Tengah malam begini?" "Iya. Sekarang. Tengah malam begini," ulang Naraya. Dia tidak bisa menunda lebih lama. Dia juga berlomba dengan waktu. Semakin cepat latihan Panji, semakin cepat dia kembali ke sisi Kiandra. Meskipun Kiandra sudah diberikan perlindungan berlapis. Dia tetap khawatir. Terdengar ketukan dari pintu. "Masuk," kata Panji. Bayu masuk ke kamar Panji. Dia sudah menduga kalau Naraya kembali. "Bagaimana keadaan sang bulan?" Tanya Bayu. "Baik. Dia cukup kuat," gumam Naraya. "Yah, baguslah. Dia bukan gadis yang akan melolong lolong karena tahu diincar Wewe," kata Bayu nyengir. Naraya sedikit tidak suka dengan perkataan Bayu. Meskipun Kiandra akan merengek atau melolong itu tidak akan mengubah perasaannya pada Kiandra. Tetapi dia memilih mengabaikan Bayu kali ini. Akan ada lain kali untuk menghajarnya. "Oke. Kami berangkat," kata Naraya. Bayu melambaikan tangan. Sampai jumpa. Begitu mereka menghilang. Bayu berjalan kembali ke kamarnya. Ponselnya berdering. Dia merogoh saku celananya. Di layar ponsel, nama Lukman tertera. "Ya, aku ke sana," katanya. *** Mobil Bayu masuk ke markas Api Abadi. Di halaman sudah penuh dengan para pendekar yang sedang melakukan apel. Wajah mereka semua tegang. Bayu tahu, mereka sedang digodok untuk siap mati "Apel yang membosankan," gumamnya. Dia memarkir mobil dan langsung naik ke kantor petinggi. Dia mengira Lukman akan mengumpulkan semua petinggi. Ternyata di dalam kantor hanya ada Lukman dan Betari. Bayu merasa tidak nyaman bertemu dengan Betari dalam suasana ini. Sedikit "Ah, akhirnya kau muncul," kata Betari. "Urusan rumah memang selalu jadi prioritas ya?" Dia tidak akan melewatkan untuk menghina Bayu di depan Lukman. Setelah beberapa kali teleponnya ditolak oleh Bayu. Bayu mengabaikan Betari. Dia langsung menghadap Lukman. "Kita dikejar waktu. Sang bulan sudah diketahui oleh Wewe. Panji sedang berlatih bersama Naraya di dimensi lain," kata Bayu tanpa basa basi. "Ah, kau pasti sibuk sekali ke sana kemari," kata Betari. "Tentu, dibanding kau. Hanya mengurus benda benda," balas Bayu. Betari berang. Dia mengumpat. "Bertemu cinta pertama eh? Tetapi sudah jadi milik orang lain," sindir Betari. Wajah Bayu memerah. Lukman melipat tangan di dadanya. Kepalanya pusing memikirkan beragam masalah yang muncul setelah Arunika masuk menjadi bagian Api Abadi. apakah ini kebetulan atau takdir? "Aku memiliki rencana," kata Lukman. Dua petinggi yang sedang adu mulut itu kini menutup mulutnya. Mereka tahu, Lukman bisa sangat marah bila tidak didengarkan. Betari dan Bayu mendengarkan dengan seksama. Mereka sesekali menginterupsi rencana itu dan menambahkan detail-detailnya. Kini mereka bersiap untuk berperang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN