Musuh Sebenarnya

1692 Kata
Lukman menatap kedua rekannya lekat lekat. Perang ini memang terjadi beberapa waktu sekali. Namun kali ini lebih sulit, sebab ada variabel aneh yaitu Arunika. Kenapa pedang sang dewa harus memilihnya? Siapa sebenarnya gadis itu. Ada di pihak manakah dia, pihaknya atau pihak lawan? "Di mana Arunika?" Tanya Lukman. Matanya menatap Bayu penuh dengan keingintahuan. Bayu merasa atmosfer di sekitarnya berubah. Lebih berat dan sesak. "Kemungkinan juga ada di dimensi lain dengan Dewa," kata Bayu. Dia merogoh saku dan mengeluarkan rokok. Rokok diselipkan di bibirnya dan dia merogoh korek. Dinyalakan rokoknya di ruang AC itu. Betari pura-pura batuk. Tetapi tak ada reaksi apapun dari Bayu. Dia jadi kesal. "Hei, ini ruangan ber-AC. Kenapa kau merokok di sini?" Bayu hanya memandang Betari sekilas tetapi tidak mengatakan apapun. Dia malah menyemburkan asap tepat ke wajah Betari. "k*****t kau!" Betari menutup hidungnya. Tetapi asap yang sudah masuk ke paru-paru nya membuat dia terbatuk batuk lagi. Lukman sama sekali tidak terganggu dengan asap rokok. Dia lebih memikirkan bagaimana menangani Arunika. "Apakah ada cara menghubungi Arunika secepatnya?" Bayu menggeleng. "Coba kutanya Panji." Dengan sigap Bayu menelpon Panji dan menyuruhnya menghubungi Arunika. bahkan Bayu menegaskan Arunika untuk segera merapat di markas. Lukman mengetuk meja dengan pulpen. "Betari," panggilnya. "Kumpulkan semua pendekar yang kita punya. Dan bekali mereka dengan senjata yang ada." Perintah itu membuat Betari terkejut. "Maksudmu, semua senjata akan dikeluarkan dari gudang? Begitu?" Lukman mengangguk. "Tidak bisa. Aku tidak setuju. Bagi pendekar yang belum siap memegang senjata, mereka akan kesulitan menguasainya," bantah Betari. "Betari," kata Lukman tegas. "Aku hanya ingin para pendekar itu tetap hidup. Setidaknya dengan memegang senjata, peluang mereka hidup akan lebih lama." Betari tetap tidak setuju. Selama bertugas, baru kali ini perintah mengeluarkan senjata dilakukan. Sebelumnya, para pendekar diizinkan untuk masuk dan memilih. Hanya sepertiga pendekar yang berhasil menguasai senjata. Sedangkan perintah Lukman kali ini sangat berisiko. Melihat keraguan Betari, Lukman menbahkan. "Mereka bisa berlatih satu dua hari untuk memegang senjata-" Betari kesal. "Satu dua hari tidak akan cukup, Lukman. Dia bukan kau, atau Bayu yang bisa menguasai senjata begitu memegangnya. Mereka bisa mati konyol-" Bayu tidak tahan dengan argumen ini berusaha menyelipkan humor. "Bagaskara tentu tidak akan mati konyol." Betari menoleh ke arah Bayu dan melototinya. "Apa kau sedang bermain-main?" Bentak Betari Bayu hanya nyengir. "Tidak. Aku hanya berusaha menyairkan ketegangan. Sepertinya di sini terlalu panas." Seperti bensin disiram api, Betari muntab. Dia menyerang Bayu dengan kata-kata. "Sebaiknya kau urus lingkaran sihir. Jangan urusi Kiandra terus. Kota Sabin bukan hanya rumah Kiandra." Kata-katanya menggema di ruangan itu. Diserang seperti itu, Bayu tidak marah. Dia hanya menampilkan cengiran lebar di wajahnya. "Kau tahu, aku mendapat ide harus melakukan apa." Dia berjalan menuju pintu dan berbalik. Dia memberikan ciuman jauh untuk Betari. Betari yang melihatnya melakukan itu membalasnya dengan mengacungkan jari tengah. Begitu pintu ditutup, Betari mengulangi pendapatnya. "Lukman, aku masih belum setuju dengan rencana mu." Lukman masih mengetuk pulpen di meja. "Yah terserah. Ketika aku mengetok palu. Kau bisa apa!" Betari mulai memahami situasi panas yang dimaksud Bayu. Lukman dalam kondisi seperti bom akan meledak. "Bukan begitu, tolong jelaskan situasinya." "Kita tidak punya banyak waktu untuk bercakap cakap sambil minum teh. Lakukan perintahku. Dan lihat nanti perkembangannya," kata Lukman. Dia berdiri dari duduknya. Dan keluar dari ruang itu. Betari merasa hatinya berat melaksanakn perintah pimpinannya. Tetapi dia tidak punya alasan untuk melanggar. Maka dia pun berjalan menuju kantornya dan memberikan surat resmi kepada gudang untuk mengeluarkan senjata yang ada. *** Ada sekitar 500 senjata yang dikumpulkan di halaman pendopo. Senjata level B dan C itu ditumpuk begitu saja. Sedangkan senjata level A diletakkan dengan rapi dan berjejer. Para pendekar yang sedang apel penasaran apa yang akan dilakukan pada senjata senjata itu. Apakah sedang dibersihkan atau bagaimana? Mereka baru saja diangkat menjadi para pendekar. Wajah khawatir dan kepanasan tampak di semuanya. Lukman berjalan mendekati peserta apel dan memberikan petuah. "Terimakasih telah mejadi bagian dari Api abadi. Kalian semua adalah pahlawan bagi Kota Sabin. Jadi jangan merasa takut atau cemas. Kita menghadapi perang ini bersama-sama. Dan kuatkan hati kalian, kita akan melindungi masyarakat Kota ini dengan segenap jiwa," Para peserta merasa beban di hatinya sedikit terangkat. Mereka sangat kagum dengan petinggi utama ApiAbadi. Lukman. Kisahnya melawan Wewe bahkan jadi bab tersendiri di buku sekarang peperangan dengan Wewe. Dan Lukman masih hidup sampai sekarang. Generasi keempat yang ada di hadapannya ini menatap Lukman dengan kekaguman yang tak ditutupi. Lukman memberikan mereka semangat untuk berperang dan juga keberanian mengahadapi lawan meski nyawa menjadi taruhan. "Silahkan bagi kalian untuk mengambil senjata yang diperlukan. Tentu semampu kalian," kata Lukman. Para pendekar kelas menegah bersorak. Mereka sangat menantikan bisa memakai senjata khusus. Mereka langsung berlari menuju tumpukan senjata di tengah lapangan. Sedangkan pendekar kelas pemula, mereka malu-malu untuk berebut senjata. Mereka mengamati para seniornya dan meniru untuk memilih senjata. Para kelas menengah ada yang mampu memegang senjata level A. Tentu membuat lainnya iri. Tetapi tidak semua yang iri itu mampu memegang senjata. Senjata - senjata itu seolah menolak tangan mereka. Senjata menjadi berat atau mengeluarkan listrik statis. Ketika dirasa mereka semua sudah memegang senjata, mereka dikumpulkan kembali ke lapangan. Lukman dibisiki oleh salah satu pendekar. Dia menyebutkan jumlah peserta yang mampu mengangkat senjata level A dan B hanya 50 saja. Sedangkan level C dipegang oleh 200 pendekar. Sisanya masih menjadi tumpukan benda benda yang berserakan. . Lukman mengangguk. Meskipun dia sedikit kecewa. Masih ada ada 250 senjata lagi yang belum dimiliki. "Bagi yang sudah memiliki senjata bisa menyingkir untuk berlatih menggunakannya di bawah tanah atau di alun alun. Sedangkan yang belum tetap di sini, kalian akan mendapatkan arahan yang lain." Setelah itu Lukman mohon diri dari lapangan. Betari hanya berdiri di sudut gedung melihat yang terjadi di lapangan. Dia sudah menduga bahwa tidak semua pendekar mampu untuk memegang senjata. Dia ingin tahu apa rencana Lukman. Lukman berjalan cepat ke arahnya. Betari menampilkan senyum terbaiko, sikap untuk menyatakan bahwa pendapatnya benar. Tetapi Lukman tidak peduli. Dia masih tetap dengan pendiriannya. Lukman tahu Betari merasa senang dan ingin dipuji. Tetapi ini bukanlah waktunya. Betari bukan anak kecil yang haus pujian. Dia harus tahu ini bukanlah main-main. "Sisa dari senjata kirim ke sebuah gedung," kata Lukman singkat. Betari terperanjat bukan main. Kalau senjata untuk pendekar dia paham. Tetapi kalau dikirim ke sana untuk apa? Betari sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Lukman. "Untuk apa senjata itu dikirim ke sana? Mereka bahkan tidak mungkin bisa menggunakannya,"kata Betari memberikan penyangkalan. "Kita sudah memberikan perlindungan terbaik di tempat itu. Jadi tidak mungkin akan diserang," kata Betari. Lukman mengelus kepala Betari. "Kau benar-benar masih muda Betari. Tempat itu menjadi tempat yang paling mudah diserang sekarang, mereka harus juga ikut berperang." *** Naraya tersenyum miring melihat perkembangan Panji. Tidak salah dia memilih Panji sebagai sekutunya. Dia mampu menguasai berbagai jurus baru untuk melawan Wewe. Selain itu kemampuan fisik yang didapat dari darah Laksmana itu kemenag menurun padanya. Kuat dan tangguh. Sayangnya Panji menolak menjadi penebar benih. "Kalau kau jadi penebar benih, akan banyak gadis yang bersedia menempel padamu bahkan tanpa imbalan apapun," kata Naraya. "Terimakasih. Tapi kita sudah sepakat," kata Panji. Dia menebaskan pedang bownya. "Aku tidak pernah menyangka bahwa bow bisa menjadi pedang seperti ini," kata Panji dengan mata kagum. Naraya melebarkan bibirnya hanya sedikit. "Dia bisa jadi apapun," kata Naraya. Ponsel di tas Panji berdering. Naraya mendengarnya dan menyuruh Panji untuk istirahat. Panji menerima telepon itu dari Bayu. Bayu menyuruhnya menghubungi Arunika. Dan mereka diminta untuk segera kembali ke markas. Pesan singkat dan genting. Panji tahu markas pasti sedang sibuk. "Apa kata bocah k*****t itu?" Tanya Naraya. "Hanya memintaku untuk menghubungi Arunika. Tetapi aku sudah mencoba menelponnya berulang kali tidak diangkat," kata Panji tanpa menoleh ke Naraya, matanya dengan mata menatap layar ponselnya. "Aku saja," kata Naraya menawarkan diri. "Bagaimana caranya?" Gumam Panji. Dia seketika diam ketika Naraya menjentikkan jarinya dan muncul wajah seorang perempuan cantik berambut panjang. "Hai kau. Di mana bocahmu? Bocahku mencarinya,"kata Naraya pada gadis itu. Gadis itu tidak menjawab melainkan menunjukkan langsung. Arunika sedang molor di tempat tidurnya. Panji melirik sekilas. Arunika sepertinya lebih kurus dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. "Disuruh ke markas segera, kata si Bayu. Kau ke sana?" Tanya Naraya. "Malas. Aku juga mau tidur. Nanti kulitku cepat keriput kalau tidak tidur siang," jawabnya santai. "Ini hal penting," teriak Panji. Tetapi sambungan langsung ditutup. Panji tidak percaya ini. Teman sekamar Arunika sangat tidak sopan. "Dia memang begitu dari dulu. Tidak usah diambil hati," kata Naraya. "Dari dulu, maksudmu apa? Dia bukan teman sekamar Arunika?" Tanya Panji. Naraya tertawa. "Kau bodoh sekali. Dia itu Danyang. Sama sepertiku." "Danyang? Cantik sekali," gumam Panji heran. "Dia cantik, selain otakmu, matamu juga bermasalah. Di Dunia ini yang paling cantik adalah Kiandra," kata Naraya dengan nada tinggi. Panji hanya membeo malas menanggapi orang jatuh cinta. *** Di sudut gelap kota Sabin, Bayu di sana. Di sampingnya ada beberapa orang lain. Mereka saling merentangkan tangan dan munculah sinar lingkaran. Sinar itu terus meluas. Melewati gedung, markas Api Abadi, sawah, perumahan dan kota, dan terus meluas sampai batas kota. Peluh keringat membasahi pelipis juga badan Bayu. Hal yang sama juga dirasakan oleh rekannya. "Segini cukup kan?" Tanya rekan Bayu. "Kuharap cukup," jawab Bayu sambil mengatur nafas. "Kita kembali ke markas,"ajak Bayu. Mereka semua kelelahan. Membangun lingkaran sihir nyaris menguras tenaga mereka. Kini bahkan beberapa rekan Bayu berjalan sempoyongan sampai harus dipapah. Bayu merasakan hawa dingin di sekitarnya. Ketika dia akan memberikan peringatan pada rekannya. Kilat melewati leher rekan Bayu. Dan dari leher itu muncrat darah ke segala arah. Bayu memasang kuda-kuda. Meskipun lelah, dia masih bisa menghadapi lawan yang kuat. Tetapi berbeda dengan rekannya. Mereka bukan dari golongan bangsawan. Kekuatan fisik jelas kalah jauh dengan Bayu. Bayu menyuruh rekannya yang masih hidup untuk segera pergi dari tempat itu. Sedangkan dia menghadap lawan sendirian. Ketika Bayu berbalik menghadang, lawan muncul dari belakang dan menyerang semua rekan Bayu. Bayu hendak berbalik tetapi mendapat serangan dari depan. Dia berkelit ke samping dan mengeluarkan perlindungan diri. Jurus itu melindungi Bayu dan rekan yang masih selamat. Mereka menyatu dalam lingkaran sinar. Bayu menyerang dari dalam lingkaran. Kilatan keluar dari telapak tangan Bayi. Kilat itu langsung menyambar lawan. Seorang laki-laki memakai jubah hitam jatuh tersungkur. Dia adalah manusia. Bukan wewe. Bayu meludah. Tidak percaya ada manusia yang menyerang mereka. "Apa tujuan kalian?" Tanya Bayu tenang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN