Alarm Berbunyi

1673 Kata
Bayu kembali ke markas dengan susah payah. Beberapa rekannya mati dengan sangat mengenaskan. Dia tidak bisa membawa mayat mereka. Sebab leher mereka nyaris putus. Batu kali ini Bayu mengahadapi lawan yang beringas. Dia tidak heran ada manusia yang membantu para Wewe. Namun dia tidak menyangka, dia dan rekannya akan diserang seperti ini. Dibabat sampai nyaris tak tersisa dan begitu keji. Bayu harus sampai ke markas dan menyampaikan pesan ini pada Lukman. Dia takut akan ada bencana yang lebih besar terjadi di kota Sabin. Dia menghubungi beberapa kawannya tetapi semuanya tidak ada yang merespon. Dia menduga mereka semua sedang rapat di dalam markas. Kenapa para musuh itu bisa tahu kapan waktu yang tepat untuk menyerangnya? Rasa bersalah menggerogoti Bayu, dia tidak bisa menolong para rekannya. Dia ternyata belum bisa menyelamatkan orang lain, dia hanya mampu menyelematkan dirinya sendiri. Sama saja seperti dulu. Mobil yang ditumpanginya habis bensin. Dan markas masih jauh. Bayu lelah. Energinya sudah habis untuk membuat batas perlindungan. Dia keluar mobil dan berjalan menuju trotoar. Di bawah sana terdapat kabin untuk berlindung para pendekar. Tentunya sangat berbahaya bila ada Wewe mendekat. Dan dia tidak dalam kondisi prima. Baru berjalan beberapa langkah. Dia mendengar mobilnya dilempar sesuatu. Dan ketika dia berbalik dan melihatnya. Itu bom molotov. Dia berlari kencang, dan mobil pun meledak. Bayu masih terkena ledakan. Dia terlempar dan tersungkur ke tanah. Bayi masih sadar. Namun badannya tidak bisa digerakkan. Lalu tubuhnya terasa dingin. Dia mengumpat, para musuh sepertinya tidak berhenti sampai dia mati. Bayu ingin tahu siapa lawannya sebenarnya. Namun dia merasakan lehernya dingin. Bayu mengumpat. Bahwa yang akan menghabisinya bukanlah manusia. Melainkan hama kota Sabin. Wewe. Bayu bisa mendengar suara angin yang mendekat. Dia sudah menyiapkan serangan di gengaman tangannya. Namun Wewe itu tidak kunjung menyerang. Dengan penuh perjuangan, dia membalik badannya. Dia tersenyum. Anak nekat itu ternyata di sini. *** Arunika sedang terlelap. Entah sudah berapa hari rasanya dia tidak merasakan empuknya kasur. Begitu dia mengintip jam. Sangat kaget dia sudah jam 10 malam. Arunika bangun dan menyadari bahwa Dewanti juga tidur di sampingnya. Dia membangunkan Dewanti dengan menggoyang-goyangkan badannya. Tetapi Dewanti hanya menguap. "Dew, ayo kita terlambat makan malam," bisik Arunika. Danyang yang suka makan ini tidak mungkin tidak tertarik. Dewanti membuka mata dan muncul cengiran lebar di wajahnya. "Ayo kita cari nasi goreng," katanya. Arunika mengangguk setuju. Sudah lama mereka tidak makan nasi goreng di pinggir jalan. Begitu keluar dari kamar, Arunika sadar. Mereka tidak berada di dunia mereka. Meraka ada di kota Sabin. Arunika pun mencubit lengan Dewanti. "Aduh, apaan sih?" Teriak Dewanti. "Kita ada di kota Sabin. Mana ada nasi goreng. Yang ada Wewe berkeliaran!" Arunika menghela nafas. Dia mengecek ponselnya. Ada beberapa pesan dari Panji. Begitu dia membacanya, raut kesal muncul di wajahnya. "Orang ini kalau kirim pesan selalu dengan nada perintah. Inilah itulah. Kirim pesan lain kek," gumam Arunika. Dewanti menguap," Tadi dia telepon. Katanya kau disuruh langsung ke markas. Ada hal penting." "Dan kau baru bilang sekarang?" "Apa yang lebih penting dari Wewe buat mereka, keselamatan mu? Nggak kan? Ya biar aja nunggu sebentar," kata Dewanti. Arunika tidak menjawab. Dia lebih memilih mengotak Atik ponselnya. Dan matanya berkerut ketika melihat ada panggilan tak terjawab dari nomer tak dikenal. Siapa ya? Dewanti melirik sekilas dan berkata,"Sudahlah, kalau penting nanti dia kirim pesan." "Iya juga ya. Ya sudah ayo ke markas," kata Arunika penuh semangat. Dia tidak menyangka tubuh lelahnya sudah bugar. Dan dia merasa lebih kuat. Sedikit sombong boleh lah. "Kita naik apa? Bus cosmos?" Tanya Arunika. Dewanti menggeleng. Mereka berjalan menuju pintu keluar asrama. Dan Dewanti melihat sesuatu yang menarik. "Naik itu aja!" Dia menunjuk sebuah sepeda gunung yang parkir di belakang pintu. "Kau yang boncengin aku ya?" Pinta Arunika. "Ogah. Aku berubah jadi pedang aja. Kau yang mengayuh." Begitu dia selesai mengatakannya. Tubuh manusianya langsung menghilang dan pedang di punggung Arunika menyala. "Dasar cari untung sendiri!" Arunika berteriak kesal. Namun dia tidak punya pilihan lain. Dia mengambil sepeda itu dan mulai mengayuhnya. "Kalau ada Wewe, kau harus bantu aku. Mengerti?" Bentak Arunika. Dia mengomel sepanjang jalan. Dan Dewanti sama sekali tidak menyaut. Arunika melewati beberapa blok perumahan. Ketika hendak berbelok ke arah markas, dia mendengar ledakan. Bom! Arunika menoleh. Dia penasaran dengan sumber ledakan itu. Dia membelokkan kemudi sepedanya dan menuju arah ledakan. Dia mengayuh sekuat tenaga, takut kalau ada korban berjatuhan. Mobil itu terbakar. Arunika berusaha mendekat sebisa mungkin. Dia melihat apakah ada manusia di dalamnya. Ternyata tidak ada. Berarti mereka sudah keluar dari mobil. Arunika melihat ke sekeliling dan dia kaget ada orang tersungkur di dekat tiang listrik. Di belaki seorang Wewe mendekat. Arunika langsung melempar pedang dan mengenai Wewe tersebut. Wewe itu berubah bentuk dan lenyap seketika. Arunika mendekat orang tersebut, apakah orang itu masih hidup atau tidak. "Hei, apakah kau baik-baik saja?" Ketika lelaki itu membalik badannya. Dia tersenyum sedikit. Arunika memasang muka heran. Sepertinya dia pernah melihat orang ini, tetapi di mana? Ingatannya tentang wajah orang memang harus diupdate. Sejak bertemu Dewanti, yang dia ingat hanyalah latihan, makan dan latihan terus. "Kau tidak apa-apa?" Ulang Arunika. Lelaki itu mengangguk dan mengulurkan tangan, memintanya untuk membantu berdiri. Arunika menarik lelaki itu untuk berdiri. Lelaki itu masih sempoyongan tetapi dia menolak untuk dipapah. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, aku merasa kita pernah bertemu," kata Arunika. "Kau serius tidak ingat aku? Aku merasa terhina. Wajah tampanku sepertinya tidak berguna," kata lelaki itu pura pura sedih. Arunika merasa tidak enak. "Maaf. Tapi aku benar-benar tidak ingat," Arunika menjadi canggung berjalan beriringan dengan lelaki itu. Arunika tidak bisa menaksir umurnya. Beberapa orang di kota ini sudah berumur ratusan tapi masih juga awet muda. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Kau salah satu petinggi Api Abadi!" seru Arunika. "Binggo. Akhirnya kau ingat. Kenapa kau masih ada di luar jam segini? Apakah hari ini jadwalnu bertugas?" Bayu bertanya karena penasaran. Biasanya tidak ada pendekar yang bertugas di sekitar markas ApiAbadi. Apalagi menggunakan sepeda. "Oh tidak. Aku hanya bersepeda menuju markas. Kemudian aku mendengar ledakan. Terus aku kemari deh," kata Arunika menjelaskan. Bayu hanya ber ooh saja. "Bagaimana kalau ku bonceng?" Arunika kasihan melihat Bayi berjalan sambil menahan rasa sakit. Dia tahu kalau kaki Bayu terluka, tetapi lelaki itu sama sekali tidak menunjukkanya. "Apa? Bukannya kebalik ya?" Bayu meringis. "Kau terluka. Apa kau mau malu kalau kuboncemg karena aku perempuan?" Arunika tidak menyangka bahwa petinggi ini memiliki harga diri yang tinggi. "Bukan begitu. Karena aku tidak pernah naik sepeda." Bayu takjub dengan kepribadian gadis ini. Dia merasa geli kalau harus dibonceng dengan anak bau kencur. "Aku kuat. Tenang saja. Kau enteng seperti bulu," kata Arunika berusaha membuat nyaman. Bayu terbahak bahak. "Baru kali ini ada orang yang menyebutku enteng seperti bulu." Arunika merasa wajahnya panas. Dia malu dengan kata-katanya. Ponsel Bayu berdering. Dari Lukman. Bayu menyebutkan dia harus menjemput Bayu di blok sekitar markas sebab dia terluka. "Kau bisa jalan duluan. Aku akan menunggu jemputan," kata Bayu sambil mendorong sepeda Arunika. "Tidak bisa. Aku akan menunggu sampai jemputanmu datang. Itu gentelman," kata Arunika. Dia khawatir kalau ada Wewe menyerang Bayu lagi. Sesaat dia lupa bahwa Bayu adalah seorang petinggi. Bayu tersenyum miring. Dia merasa aneh, dikhawatirkan oleh seseorang. Terlebih lagi, anak ini. "Baiklah." Mereka tidak bercakap-cakap lagi. Bayu sibuk dengan ponselnya. Dan Arunika bergumam sendiri sambil melihat bintang. Lukman tiba beberapa menit kemudian. Dia mengendarai sepeda motor. Setelah membuka helm, Lukman mengernyit melihat Bayu dengan lutut berdarah seperti habis kena serangan. Terlebih lagi dia bersama Arunika. "Wah, ada angin p****g beliung ini," kata Lukman. Arunika merasa tersindir dengan kata-kata Lukman. Dia memberengut. Bayu menyadarinya. Dia mengelus kepala Arunika dan tertawa kecil. "Anak ini menyelamatkanku," kata Bayu. Lukman mulai merasa tertarik. "Jelaskan." Bayu menceritakan kronologis dari dia memulihkan lingkaran sihir dan diserang. Juga tentang mobil yang meledak dan diselamatkan oleh Arunika. Lukman merasa takjub. Tetapi rasa itunhanya sebentar. Sebab penyerangan ini baru pertama kalinya terjadi. Dan dia mulai mencurigai Arunika. "Kenapa kau bisa ada di sini malam ini, apakah kau bukan termasuk komplotan yang menyerang Bayu?" Bayu dan Arunika tersentak kaget. "Maksudnya apa? Aku baru datang dari asrama, dan…" kata Arunika. "Lukman. Sepertinya kita harus berbicara terpisah. Aku yakin Arunika ada di pihak kita," kaya Bayu membela Arunika. Arunika merasa marah. "Ya sudah, aku pergi saja. Menyebalkan," kata Arunika. Dia langsung memancal sepedanya. Bayu berusaha mencegah, tetapi melihat Arunika marah maka dia membiarkannya pergi. Mereka bisa bicara lagi nanti. "Aku akan melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang Arunika. Kau sebaiknya tidak terlalu dekat dengannya. Dia masih anak-anak," ancam Lukman. Bayu terkekeh. "Dia cukup dewasa, aku rasa. Dibandingkan orang tua yang tidak tahu terimakasih." *** Begitu Arunika sampai di pintu gerbang markas Api Abadi, Dewanti muncul di sampingnya. "Sialan kau. Kenapa baru muncul?" Teriak Arunika. Suaranya sampai membuat beberapa orang melirik padanya. Arunika hanya melempar senyum sambil menunduk pada mereka. "Kau kan ketemu orang ganteng, harus ya aku muncul?" Goda Dewanti. "Ish. Aku malah dituduh musuh tahu!" Dia masih kesal ketika mengingat kejadian tadi. "Si Lukman emang tukang curiga. Kau tahu apa julukannya?" "Kau kenal mereka?" Sepertinya topik ini lebih diminati oleh Arunika. Dibanding mendengarkan aib orang lain. "Sedikit, faforitku adalah Bayu. Dia paling ganteng di antara para tetua itu. Yah gen Laksmana memang unggul." "Bayu itu keluarga Laksamana? Sama dengan Panji?" Arunika tidak heran, mereka memang memiliki gen tampan. "Kau tidak tahu? Yang kau pelajari cuma benda mati. Baca juga tentang bangsawan yang ada di sini," cela Dewanti. "Ish. Dia saudaranya Panji? Kakaknya?" Tanya Arunika mengulik. "Bukan. Tapi pamannya. Dulu dia itu calon penerus utama keluarga Laksmana. Calon penebar benih. Tetapi dia menolak. Yah terus yang jadi ayahnya Panji." "Bagus kan kalau dia menolak. Apakah dia sudah menikah?" "Kau tertarik padanya? Yang kudengar sih, dia sekarang punya banyak pacar." "Pantas auranya begitu. Aura yang membuat perempuan terpesona." "Aku akan bantu kalau kau suka dia. Aku akan menyingkirkan setiap pacarnya. Gimana?" Arunika bergidik. "Kau main sinetron sana. Cocok banget jadi peran antagonis." Dewanti terkekeh. Sebuah alarm berbunyi kencang di seluruh penjuru markas ApiAbadi. Dari berbagai arah orang orang berkumpul di lapangan. Semua memegang senjata. Arunika ditarik oleh Dewanti ikut menuju lapangan. Sepedanya dijatuhkan ke tanah begitu saja. "Ada apa?" Tanya Arunika sambil tertatih mengikuti Dewanti. "Ada bencana," jelas Dewanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN