Keberkahan hidup dalam setiap bangsawan memiliki kelemahan yang tersembunyi. Setiap keluarga memiliki kutukannya sendiri. Airlangga jarang diberi kuturunan, dengan kecerdasan dan kekayaannya. Sekali dia memiliki anak, anak itu adalah titisan Sang bulan.
Laksamana dengan kekuatan fisik dan sihirnya. Layaknya panglima perang tak terkalahkan. Tidak bisa setia dengan satu perempuan saja.
Haya dengan kutukan cincin itu, tidak bisa menikah. Sebab pasangannya kan selalu mati.
Sedangkan Oriza Sativa, sebagai keberlangusngan energi alamnya, dia menyedot energi warganya. Para warga terkita secara hidup dan kebutuhan hidup pada Oriza Sativa.Sejak Yunus, leluhur Aditya menjabat sebagai kepala keluarga, dia menolak dengan keras menyedot energi hidup orang lain.
Sebagai gantinya usianya tidak bisa panjang, dan juga dia harus mengandalkan kemajuan teknologi untuk memajukan pertaniannya. Dia juga memperingatkan anak-anaknya, untuk menghindari mengambil energi hidup warga. Dia tidak rela keturunannya, mengambil hidup orang lain hanya untk memperpanjang umur mereka.
Aditya sendiri sudah tahu kutukan itu. Kutukan itu tidak bisa hilang meski mereka menolak meneydor hidup orang lain. Para anggota Oriza Sativa bisa melihat benang hidup mereka, apakah mereka masih murni atau tidak. Aditya bisa menghukum warganya, tanpa memukul secara fisik atau memotong gaji, dia bisa menyakiti mereka tanpa perlu menyentuhnya.
Tetapi Aditya tidak pernah menggunakannya. Sebab hal itu seperti narkoba yang akan membuatnya candu. Dan itu membuatnya bergidik ngeri.
Selama bertahun-tahun, keluarganya berusaha menjaga petuah itu. Tidak menyedot energi siapapun. Sampai para warga sudah lupa semengerikan apa keluarga Oriza Sativa itu. Mereka memandang Aditya dan keluarganya sebagai pebisnis biasa.
Sampai hari ini. Sampai danyang ini menyebutkannya.
Dewanti menggerling kan mata pada Aditya, dan senyum licik terkembang di wajahnya.
Aditya menelan ludah. "Aa..apa yang kau bicarakan?"
Dewanti akan membuka mulutnya, tetapi Panji mengambil sepotong tahu dan menyumpal mulut Dewanti dengan tahu itu.
"Sudahlah! Itu bukan urusan kita. Setiap bangsawan memiliki bobroknya masing-masing. Nggak perlu dikorek lagi," tegas Panji.
Dewanti mengunyah tahu. "Twiidak..seyyu."
"Makan yang benar," kata Arunika. Dia menepuk pundak Aditya. "Bagaimana kalau kita pergi ke kebun binatang? Urusan di sini sudah dipegang oleh ayahmu kan? Apa kita tetap boleh di sini?"
"Tentu, kalau kalian mau pergi sekarang. Aku akan siap-siap," kata Aditya.
Aditya masuk ke dalam kamar.
Arunika mengintip dari jendela. "Memangnya kita bisa pergi? Para warga masih berkumpul di depan."
Panji ikut mengintip. "Sepertinya sebentar lagi mereka akan pergi. Mereka takut diperiksa," kata Panji tersenyum geli.
"Memangnya kau dengar mereka bisik-bisik apa?" tanya Arunika.
"Tentu saja, aku kan punya pendengaran super," kata Panji bangga.
"Hiiih."
Dewanti berjalan menuju ruang makan dan mengambil tahu lagi.
"Hei tukang makan," panggil Panji. Dewanti menoleh, "aphaa?"
"Sisakan buat kami!" Seru Panji ikut menghambur ke meja makan. Arunika melihatnya dnengan geli.
***
Seperti yang dikatakan Panji, para warga kembali ke rumah masing-masing. Mereka memang lebih takut pada Oriza ketimbang dengan wewe. Tetapi mereka juga tidak bisa menampik kenyataan bahwa mereka memerlukan Apiabadi. Bagaimanapun mereka memiliki keluarga, siklus hamil ada di setiapnya. Mereka tidak berani mengambil risiko bila diblacklist oleh Apiabadi dalam program perlindungan ibu hamil.
Riza tidak kembali ke rumah, melainkan menuju sawah. Dia harus mengecek proses panen yang berada di balik bukit. Selain itu memeriksa tempat kejadian ledakan semalam untuk dilaporkan secara resmi pada Apiabadi. Oriza tahu, kedatangan Panji dan Arunika tidak melalui prosedur resmi. Jadi mereka tidak akan melaporkan apapun yang ada di sini.
Aditya selesai bersiap-siap. Dia mengenakan kostum panda raksasa. "Ayo teman-teman,kita berangkat!" panggilnya.
Arunika, Panji menahan tawa mereka. Sedangkan Dewanti tertawa terbahak-bahak. "Totalitas sekali kau!" puji Dewanti melihat kostum panda Aditya.
Aditya tersipu malu. "Sebab aku akan mengambil salah satu bayi pada yang lahir di hutan, jadi lebih aman menyamar sebagai panda."
Dewanti tak tahan untuk menggodanya. "Apakah ada panda betina yang naksir padamu? Secara kau kan ganteng."
Aditya tersenyum. "Sayangnya tidak. Karena aromaku tidak macho."
"Masa sih?" tanya Dewanti. Dia bergerak maju akan mengendus Aditya. Arunika mencekal lengannya. "Jangan macam-macam," ancam Arunika.
"Aduh, bayiku yang manis, kau cemburu ya?" Dewanti memeluk Arunika. Dia menggesek-gesekan wajahnya pada rambut Arunika.
"Aduh lepaskan, panas!" kata Arunika menyingkirkan Dewanti.
"Ayo, aku sudah tidak sabar melihat bayi panda," rengek Panji.
Mereka pun berangkat naik mobil menuju kebun binatang yang dimaksud. Aditya menyetir, Panji duduk di sebalahnya, sedangkan Dewanti dan Arunika duduk di belakang. Mobil tersebut memang hanya muat untuk empat sampai lima orang saja.
"Memangnya panda bisa hidup di daerah panas ya?" tanya Arunika.
"Bisa saja, asal ada bambu kan?" terka Panji.
"Bukannya panda makan daging? Bambu buat mainan ya?" tanya Dewanti.
Panji dan Arunika memandang Dewanti. "Panda itu makan bambu. Masa gitu aka nggak tahu?"
Dewanti membantah. "Mana mungkin. Benar kan ganteng?"
Aditya berdeham. "Dulu memang panda memakan daging, dia karnovora. Namun entah sejak kapan, dia mulai memakan bambu. Tubuhnya pun beradaptasi dengan kebiasannya makan bambu, seperti pada gigi geraham dan tonjolan pada tangannya. Tonjolan itu memudahkan mereka memegang bambu," terang Aditya.
"Waw, kau memang benar pakar panda," puji Dewanti.
"Tidak, aku juga dapat informasi itu dari pawangnya. Nanti kalau lihat bayi panda yang baru lahir jangan kaget ya, mereka tidak memiliki bulu sama sekali."
Arunika memekik. "Mirip kucing?"
"Lebih mirip bayi tikus," kata Aditya.
Mereka berseru bersamaan. "Euuh!"
"Tetapi panda itu hewan yang pertumbuhannya sangat cepat. Dalam sebulan, berat badan mereka bisa bertambah sepuluh kali lipat atau lebih dari pertama kali lahir," imbuh Aditya.
"Apakah panda bisa bertahan lama di kebun binatang?"
"Sepertinya ada kesalahpahaman, kita tidak menuju kebun binatangnya. Tetapi penangkaran panda," kata Aditya.
"Berarti letaknya di dekat hutan bambu?" tanya Arunika.
"Bukan di dekat, tetapi memang di hutan. Kira-kira melewati dua gunung itu, kita akan sampai."
"Maish jauh ya? Aku tidur saja ah," kata Dewanti.
Aditya melirik Dewanti dari kaca atas mobil. "Cantik sekali," gumamnya pelan.
Panji mencibir. "Cantik dari mana sih? Si tukang makan itu," gumam Panji heran dengan selera Aditya.
Suara dengkur halus Dewanti sudah terdengar. Arunika tidak merasa mengantuk. Panji menyumpal telinganya dengan headset. Arunika menempelkan dahinya ke kaca. Memandang hamparan sawah yang luas dan dikelilingi bukit dan pegunungan. Dia senang melihat semua itu.
Ada rasa tentram dan menyenangkan membaui aroma alam.
"Di hutan pasti lebih terasa sejuknya ya?" tanya Arunika.
"Benar! Di sana tenang sekali. Meskipun tidak aman ditinggali," kata Aditya.
"Kenapa?"
"Karena selain panda, ada juga hewan lain yang menghuni. Ular misalnya," kata Aditya.
Arunika merinding. Dia tidak suka hewan melata satu itu. "Aku tidak mau melihatnya," gumam Arunika.
"Eh jangan bicara seperti itu," tegur Aditya.
"Kenapa?"
"Karena mereka justru datang!"
"Tahayul. Kau orang modern kok percaya. Argggh!"
Sebuah ular terjatuh di kaca mobil. Tubuhnya meliuk-liuk pelan di kaca licin tersebut.