Arunika membka pintu kamarnya. Dia merasa tubuhnya segar bugar. Dia sendiri heran, bagaimana bisa dia tidur senyenyak itu?
"Selamat pagi," sapa Arunika pada orang-orang yang ada di ruang makan.
"Hei, cewek jadul, kau itu tidur apa pingsan? Semalam heboh satu desa," kata Panji.
Arunika menarik kursi dan duduk. "Ada apa memangnya?"
Panji mencomot tahu goreng dan mengunyahnya. "Ada yang menggunakan bom," kata Panji.
Arunika mendelik. "Lagi? Apakah ada korban?"
Panji mengernyitkan mata. "Yah, seperti kejadian di gedung perlindungan. Sampai sekarang pelaku belum bisa ditangkap."
Arunika melototi Panji, kenapa dia membicarakan hal semacam itu di hadpan keluarga Oriza Sativa? Tetapi Panji sama sekali tidak menyadarinya. Jadi Arunika membiarkannya.
"Katanya bus cosmos juga pernah diledakkan. Aneh sekali," sahut Riza.
"Betul, Bus Cosmos adalah kendaraan paling kuat dan penuh dengan sihir. Bagaimana mungkin bisa hancur," imbuh Panji.
"Bukan cuma bus Cosmos, mobil Bayu juga pernah," kata Arunika.
Panji berhenti mengunyah. Arunika tidak sadar dengan kata-katanya. Dia menatap Panji, heran. "Kau kenapa?"
Panji merasa canggung. Suasana menjadi tidak nyaman buat semuaya. Riza dan Aditya memilih untuk melanjutkan makan. Mereka tidak ingin ikut campur urusan pribadi para pendekar galau itu. Tiba-tiba suara lembut dan riang terdengar dari kamar Arunika.
"Wah, baunya enak. Aku jadi lapar," seru Dewanti berjalan santai.
Aditya melihat Dewanti keluar dari kamar. Di matanya dia mel;ihat bunga-bunga berguguran mengiringi setiap langkah Dewanti. Ada semilir angin yang menerbangkan lembut rambut panjangnya. Dia juga mendengar alunan gesekan biola Panji semalam.
Seperti sebuah adegan film, bagi Aditya.
"Plok!" Riza menepuk tangan. Menyadarkan Aditya. Aditya hanya meringis ketika disadarkan oleh ayahnya.
"Hai ganteng, bisa ambilkan kursi nggak?" kata Dewanti pada Aditya.
Aditya termangu menatap wajah Dewanti beberapa detik. Tubuhnya terasa kaku dan mulutnya seperti terkunci rapat.
Arunika mencubir lengan Dewanti. "Aduh, sakit!" rintih Dewanti.
Aditya mengerjap sadar. Dia segera berdiri dan menggeret sebuah kursi untk Dewanti. "Silahkan," katanya dengan sopan.
"Apa rencana kalian hari ini?" tanya Riza.
"Aku ingin melihat keadaan sawah tempat kejadian ledakan kemarin," kata Dewanti.
Riza menginjak kaki Aditya. Aditya berhenti menatap wajah Dewanti. "Ehm, mari saya antar nanti."
"Tidak perlu," kata Arunika. Dia merasa Dewanti akan memanfaatkan Aditya.
"Perlu lah," bantah Dewanti.
Arunika melototi Dewanti. Danyang satu ini sama sekali tidak berperasaan. Bisa-bisanya memanfaatkan kepolosan seseorang.
"Tidak apa Nona Arunika. Aditya juga memang perlu ke sawah untuk memantau panen di daerah bawah bukit. Satu arah kok, tidak merepotkan," kata Riza menengahi perdebatan.
Dewanti memandang Riza. "Kau generasi Yunus ya?"
"Benar, aku anak Yunus. Namaku Wijoyo. Bukankah Danyang baru bangun, bagaimana bisa mengenal ayahku?" tanya Riza curiga.
Dewanti nampak bingung, hanya sedetik kemudian dia tersenyum manis. "Yah mungkin aku mengenalnya dulu."
"Kenal dari mana?" tanya Arunika.
"Hemmm rahasia negara," kata Dewanti mengisyaratkan mulutnya menutup.
Arunika tidak percaya. Dia menoleh ke riza. "Ngomong-ngomong sekarang sedang musim apa?"
"Musim panen padi. Beras yang dikonsumsi oleh seluruh warga kota ini, termasuk pendekar ApiAbadi dikirim dari sini," kata Riza.
"Berati wilayah Oriza Sativa luas sekali ya? Butuh berapa hektar it untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan warga Kota Sabin?" Arunika bertanya dengan takjub.
"Daripada wilayah, kami lebih mengutamakan bibit unggul. Sehingga hasil lebih bagus. Selain itu pupuknya juga kami kerjakan sendiri. Demi keberlangusungan tanah dan juga membuat lebih banyak lapangan kerja."
"Pupuknya dari kotoran hewan? Serius?" tanya Arunika heran.
"Iya serius. Mau lihat prosesnya?Kami menggunakan pupuk dari hewan ternak, seperti ayam, sapi, kambing, dan beberapa unggas lainnya. Kami bekerja sama dengan para peternak untuk suplai pupuknya. Selama ini kami masih mampu untuk mencukupi kebutuhan beras di kota ini. Asal tidak ada yang menimbun, distrubusi lancar maka stok akan aman."
"Wah asyik ya, pertanian berbasis lingkungan namanya. Kemudian untuk sayur dan lainnya apakah masih wilayah Oriza Sativa?"
Kali ini Aditya yang menjawab. "Keluarga kami bertanggung jawab penuh pada kebutuhan pangan termasuk sayur dan dagingnya. Kecuali ikan," kata Aditya.
"Kalian nggak pusing?"
Aditya mengernyit bingung, sedangkan Riza terkekeh geli. "Kami tidak melakukannya sendirian. Kami memiliki banyak orang yang bisa dipercaya untuk mengurus pekerjaannya. Oh iya, besok Aditya akan pergi menengok kebun binatang. Kebun binatang ini berada di dalam wilayah kami, ada bayi panda yang baru lahir."
Dewanti, Panji dan Arunika berteriak bersamaan. "Panda?"
"Aku ingin lihat. Kami ikut ya, Aditya?" pinta Arunika.
Aditya melirik Dewanti. Arunika yang menyadarinya langsung menyambar umpan itu. "Tentu saja, kami bertiga sepaket. Bagaimana?"
Aditya tersenyum. "Tentu saja boleh."
Terdengar banyak teriakan dari luar rumah Oriza Sativa. Mereka mengaumkan nama Panji berulang kali. Oriza Sativa wajahnya berubah keras.
"Kalian semua tunggu di sini, biar aku yang bicara dengan mereka," kata Riza.
Riza bangkit dari duduknya, berjalan keluar rumah.
Dewanti melipir mengikutinya diam-diam. Arunika dan Panji juga. Mereka tidak mengindahkan larangan Aditya. Aditya pun ditarik untuk menguping pembicaraan tersebut.
Oriza Sativa berdiri membelakngi rumah. Dia mengahadapi puluhan warga dengan tenang.
"Pak Riza, kami yakin sekali kalau ledakan semalam ada hubungannya dengan Panji Laksamana dan gadisnya itu. Pasti dewi padi marah karena mereka datang kemari!"
"Usir mereka dari sini!"
"Mereka penyebab masalah!"
"Usir! Usir! Usir!"
Mereka mendemo dengan teriak keras, berharap orang yang di dalam rumah jga mendengarnya. Mereka ingin Panji dan Arunika meninggalkan tempat ini.
"Panji bagaimana ini?" bisik Arunika.
"Lihat saja apa yang dilakukan oleh orangtua itu," kata Dewanti tenang.
"Aku setuju dengan Dewanti," kata Panji.
Aditya semakin kagum dengan Dewanti.
Oriza berdiri dengan sangat tenang mendengarkan semua ungkapan para warganya. Dia memberikan kesempatan mereka untuk bicara mengeluarkan unek-unek mereka sampai puas. Setelah mereka puas, barulah Riza bicara.
"Kalian semua dengarkan! Yang datang kemari, bukanlah sembarang orang. Melainkan pndekar ApiAbadi. Tentunya kalian semua tahu apa itu ApiAbadi. Orang-orang yang rela mengorbankan nyawanya untuk melindungi hidup kalian. Sampai saat ini," kata Riza.
Seorang lelaki paruh baya menyerobot maju dan membantah perkataan Riza. "Tetapi tanpa mereka pun, kita masih akan tetap aman selama tidak keluar malam. Kami merasa keberadaan mereka tidak diperlukan lagi. Sihir - sihir rumah sudah sangat kuat! Berbeda dengan keberadaan Oriza Sativa. Sebab kebutuhan pangan kami bergantung pada anda."
Dewanti mendesis. "Dasa penjilat!"
Riza tersenyum. "Buat kau memang tidak perlu. Tetapi buat semua perempuan tentu saja penting! Apakah kau yakin bisa melindungi ibu hamil di rumah saja?"
Lelaki itu mengkerut. Dia ingin menjawab, tetapi membatalkannya. Dia tahu kalau dia berani menjawab, maka Oriza akan ingat seterusnya. Dia memiliki anak perempuan. Suatu saat anaknya akan menikah dan hamil. Dia takut, Oriza Sativa tidak akan memberikan perlindungan pada anaknya.
"Selain itu," pandangan Riza menyapu seluruh warga yang ada di depannya, "para pendekar itu telah menyelamatkan warga kita dari serangan manusia wewe. Apakah kalian masih berkeinginan mengusir mereka? Di mana rasa terima kasih kalian?" sindir Riza.
Lelaki itu dan para warga saling berpandangan. Mereka tidak tahu ada kejadian itu.
"Tadi malam ada manusia wewe yang menyerang. Kalian juga tahu, adanya manusia wewe, berarti ada salah satu dari warga di dalam wilayahku yang bersekutu dengan wewe. Dan ledekan itu pasti disengaja." Riza memberikan penekanan dalam setiap katanya.
Mereka saling berbisik -bisik. Mereka takut untuk bicara secara langsung.
"Mumpung kalian ada di sini, aku akan memeriksa kalian sat per satu," kata Riza. "Siapa yang telah memanggil wewe kemari."
"Tidak bukan aku."
"Bukan aku juga."
Dewanti tersenyum. "Serangan telak buat mereka. Padahal dia tahu bukan warganya yang memanggil wewe," kata Dewanti.
Arunika menoleh. "Darimana kau tahu?"
"Mudah saja. Warga ini semua mengikat kehidupannya pada Oriza Sativa. Satu dari mereka berani memanggil wewe, dia pasti tahu."
"Apa maksudmu?"
Aditya diam kaku.
Dewanti menggerling pada Aditya. "Bisakah kau saja yang jelaskan, ganteng," goda Dewanti.
Aditya memandang Dewanti. Bagiamana danyang ini bisa mengetahuinya?