Sepulang dari rumah Rio, dapat Via lihat kalau Ify tampak gelisah. Sahabatnya itu seperti orang yang tidak nyaman. Bahkan saat berada di dalam taksi, Ify beberapa kali mengganti posisi duduknya. Via menyadari kalau ada yang aneh dengan Ify. Tetapi setiap kali Via bertanya, Ify selalu menjawab bahwa dia tidak kenapa-napa. Jadilah, mau tak mau, Via harus mempercayai jawaban Ify daripada dia membuat gadis iblis itu marah-marah padanya.
Tatapan Ify kini terlihat kosong ke arah jendela. Padahal di luar sana tidak ada yang menarik selain lampu jalan dan kendaraan berlalu lalang. Ify kembali mengembuskan napas kasar dan langsung memejamkan mata.
"Fy, udah sampai kompleks perumahan lo." Via menggoyangkan bahu Ify saat dia tahu bahwa Ify memejamkan matanya.
Ify membuka mata seketika, dia menghela napas sebelum membenahi tasnya. Taksi sudah berhenti dan Ify langsung turun tanpa pamit terlebih dulu pada Via. Hal itu membuat Via mengumpat pelan, meski itu tidak keluar dari hatinya.
Baru juga Ify berjalan sampai gerbang, sebuah mobil datang dari kejauhan. Ternyata itu adalah mobil Alvin yang tampaknya juga baru pulang seperti dirinya. Mereka kini sama-sama menunggu gerbang dibuka. Hanya bedanya, Ify berdiri di depan gerbang sementara Alvin berada di dalam mobilnya. Tak sampai dua menit, gerbang sudah terbuka. Ify berjalan gontai lalu menepi ke pos satpam untuk memberi jalan bagi mobil Alvin. Barulah Ify melanjutkan ke rumah setelah Alvin berhasil memarkirkan mobilnya di garasi yang sudah dibukakan oleh satpam.
Belum sampai Ify membuka pintu, dia sudah lebih dulu merasakan bahunya dirangkul oleh kakaknya. Ify tidak merasa keberatan, dia membiarkannya saja dan mereka berjalan beriringan memasuki rumah megah yang sudah menyimpan memori mereka bertahun-tahun lamanya.
Seperti biasa, Alvin akan langsung menuju ke dapur. Begitu pula kali ini, dia dan Ify sama-sama ke dapur untuk mengambil minum. Di meja makan sudah ada makanan yang pastinya juga sudah dingin. Alvin segera melihat menu yang dibuat oleh asisten rumah tangga. Sedangkan Ify, dia masih berdiri di depan lemari pendingin untuk menyelesaikan acara minumnya.
Alvin mengambil selembar notes berwarna biru yang tertempel di meja. Dia membacanya dalam hati, dan barulah Alvin membuka tudung saji. Di atas meja makan, sekarang ada makanan rumahan yang tentu saja menunya berbeda dengan menu kemarin. Lelaki itu membalikkan badan, dia menatap Ify seakan-akan sedang mengajak adiknya buat makan malam bersama.
"Lo makan sendiri aja, gue tadi udah makan bareng Via." sahut Ify tanpa perasaan sembari meletakkan gelas bekasnya ke atas meja pantry di belakangnya.
Kita makan lagi!
Ify mendengar suara dari ponsel pintar milik Alvin. Kakaknya itu memang memakai aplikasi yang bisa mengubah teks ke suara. Jadi, Ify sudah tidak heran kalau kadang-kadang dia akan mengobrol dengan ponselnya Alvin seperti sekarang ini.
"Ish, udah gue bilang kalau gue kenyang. Lo sendiri aja yang makan." sahut Ify sambil menahan kekesalannya pada Alvin.
Kali ini, Ify tidak lagi mendapat jawaban dari ponselnya Alvin, melainkan dari jari Alvin yang membentuk OK. Lelaki itu langsung duduk di kursi tempat biasa dia duduk dan langsung memakannya tanpa menghangatkannya terlebih dulu.
"Gue ke atas duluan." pamit Ify tanpa mau mengganggu Alvin yang sedang asik menikmati makan malamnya.
Rutinitas Ify masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sepulang sekolah, Ify akan langsung masuk kamar lalu dia akan membasuh tubuhnya di bawah guyuran air shower. Selesai mandi, Ify akan mengerjakan tugas sekolah atau mendengarkan musik atau melakukan aktivitas yang dia sukai. Tetapi untuk malam ini, Ify langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang setelah dia berhasil mengeringkan rambut panjangnya.
Pikiran Ify sedang kacau karena memikirkan syarat dari Rio. Ify tidak yakin apakah dirinya mampu melewatinya atau tidak. Hanya membayangkan dirinya berjalan di sekeliling bunga mawar saja, sudah membuat Ify sesak napas.
Kalau bukan karena gue pengen ketemu Mama, gue nggak akan mau nurutin apa yang dibilang anak sayko itu. Desah Ify dalam hati sambil meremas seprai yang dia tiduri.
Ify sudah membulatkan tekad, dia harus mencari jawabannya sendiri mengenai Kalina yang terus datang ke mimpinya dengan suasana dan tempat yang sama. Bahkan bisa dibilang, Ify sudah hampir kesal dan enggan untuk tidur karena takut bakal sakit kepala begini.
Mama, kenapa Mama harus dateng ke perkebunan mawar punya orang itu? Tanya Ify yang hanya bisa membuatnya semakin pusing untuk membahas suster yang itu.
"Ah, kepala gue pusing." Ify menutup wajahnya dengan bantal seketika lalu dia memilih bangun dan mengatur napasnya.
"Yang bikin gue nggak paham, kenapa di rumahnya Rio? Kenapa Mama tahu rumahnya Rio? Apa Mama sama Rio itu sebenarnya saling kenal?" Ify mencoba mencari jawaban yang cocok tapi dia tahu bahwa tidak ada yang cocok.
"Kayaknya Mama sama Rio nggak saling kenal deh. Lagian pas Mama meninggal juga, Rio pasti masih kecil. Buat apa Mama kenal sama anak kecil tanpa perantara dari orang tua?"
Tak henti-hentinya Ify bertanya dan mencoba mematahkan persepsinya sendiri tapi rasanya sulit.
"Enggak, enggak! Semua dugaan gue tadi itu nggak ada yang cocok." Ify menggeleng-gelengkan kepalanya seketika.
"Terus apa dong?"
Ify berguling-guling di atas ranjang sambil memainkan kakinya karena saking tidak tahunya dia mengenai jawaban yang sekiranya cocok. Entah sudah beberapa kali Ify melakukan cocoklogi sendirian dan dia gagal.
Ify memilih berbaring dan bermain game supaya dia bisa mengalihkan perhatiannya dari Rio dan mamanya ke hal lain. Namun semuanya percuma, usaha Ify tetap saja gagal. Gadis itu tidak menyerah, Ify ganti jadi olahraga dan masih sama hasilnya. Akhirnya, Ify memilih berendam di bathtup seraya menikmati instrumen dari alat musik piano. Ify merasa lebih tenang sekarang karena efek musik yang dia sukai.
Setelah dua puluh menit berendam, Ify memutuskan buat menyudahinya. Ify merasa jauh lebih tenang sekarang, apalagi setelah dia membilas tubuhnya di bawah air hangat yang mengalir dari shower. Ify tidak peduli harus mandi berapa kali hari ini, karena yang dia pedulikan hanyalah dia tidak lagi memikirkan hal-hal yang menurutnya sedikit nyeleneh.
"Mama, semoga Mama hadir ke dalam mimpinya Alvin malam ini. Dia bilang, kalau dia kangen sama Mama," gumam Ify sebelum dia memejamkan matanya untuk tidur. Setiap malam, sebenarnya Ify selalu berdoa supaya Kalina bisa adil dengan masuk ke mimpinya dan Alvin secara bergantian. Namun ternyata Kalina lebih sering mendatanginya ketimbang menengok Alvin. Wajar saja kalau kakaknya itu cemburu dan ingin juga merasakan didatangi sang mama di alam mimpi.
Rasa nyaman menghampiri Ify ketika dia tidak lagi memikirkan hal-hal mengenai hubungan antara Rio dan Kalina dulu. Entah apa itu alasannya, Ify yakin kalau semuanya pasti sudah dirancang oleh Tuhan.