Perang garpu sudah dimulai sejak satu menit yang lalu dan sudah terlihat siapa yang bakal menang. Tak lama kemudian, Gabriel bersorak senang saat dia memenangkan ayam goreng yang tersisa satu di piring. Wajah Via tampak begitu kesal karena dia tidak mendapatkan paha ayam kesukaannya. Sementara Gabriel, dia sengaja menggoda adiknya dengan menjulurkan lidahnya ke arah Via.
"Awas lo!" ancam Via pada Gabriel, tentunya tanpa suara agar Rima tidak mendengar.
"Ngadu sana lo! Wleee...!" lagi-lagi Gabriel hanya menjulurkan lidahnya tanpa mau mengalah pada Via yang sudah setengah dongkol menghadapinya.
"Mama! Minta izin dong." ucap Via dadakan.
Rima yang sedang menyiapkan bekal makan siang untuk Rizaldy di dapur, seketika menoleh ke arah anak gadisnya. Dia melihat kedua buah hatinya yang menikmati sarapan berdua.
"Ke toko buku? Jalan-jalan sama Ify? Nginep di rumahnya Ify? Atau mau izin ke mana?" tanya Rima yang sudah begitu hapal pada Via.
Satu rantang makanan sudah berhasil Rima siapkan dan dia letakkan di atas meja makan. Wanita paruh baya itu akhirnya bergabung dengan Gabriel dan Via tanpa menyadari kalau Via tampak begitu kesal karena paha ayam goreng yang dimenangkan Gabriel.
"Aku minta izin ke Mama buat bunuh Bang Iel." dengan entengnya Via mengatakan ini pada mamanya.
Perkataan Via barusan, sontak membuat Gabriel dan Rima tersedak bersamaan. Nasi beserta ayam goreng di mulut Gabriel seketika menyembur dan dia terbatuk-batuk. Sedangkan Rima, wanita paruh baya itu terlihat memukul-mukul pelan dadanya sendiri.
"Via, kamu bercanda 'kan?" Rima menatap serius ke putri bungsunya.
"Enggak! Aku serius, dari dulu pengen bunuh Bang Iel. Bahkan kalau perlu, aku mutilasi sampai beberapa bagian."
"Bunuh aja, Papa dukung. Mau kapan? Malam ini? Papa bantuin buat mutilasinya. Mau pakai apa? Gergaji mesin, kapak, atau golok?" sahut Rizaldy dari arah tangga.
"Ish, Papa sama anak sama aja. Sama-sama psikopat!" Gabriel bergidik ngeri, dia langsung mengambil tasnya dan pergi dari ruang makan begitu saja.
"Jangan lupa, Iel! Kamu juga anak Papa! Itu artinya, kamu juga psikopat!" dengan sengaja, Rizaldy berteriak sekencang mungkin agar Gabriel bisa mendengar.
Seperginya Gabriel dari ruang makan, Via dan Rizaldy langsung tertawa terbahak-bahak. Jelas saja mereka menertawakan Gabriel yang langsung pergi sambil menahan mual mendengar apa yang tadi Rizaldy katakan. Mereka tahu, kalau Gabriel sangat sensitif tentang mutilasi. Jadilah Via sengaja membuat kakaknya tidak bisa makan dengan tenang karena sudah memenangkan paha ayam incarannya.
"Hah, dasar kalian ini. Mama hampir jantungan dengernya." Rima bisa mengelus dadanya yang seketika terasa lega.
Rizaldy duduk di kursinya lalu menyantap sarapan yang sudah disiapkan istrinya. Dia masih tertawa membayangkan wajah Gabriel sekarang yang entah bagaimana.
"Suruh siapa, paha ayamnya diembat juga sama dia, Ma. Makan tuh mual-mual." desis Via yang berhasil mengerjai Gabriel.
"Oke, ya udah. Besok Mama kalau goreng ayam, bakal lebih dari dua. Biar kalian nggak rebutan." Rima mengalah jadinya, karena merasa kejadian ini juga dirinya turut andil.
Biasanya, Rima memang sekali saja menggoreng dengan jumlah yang sudah disesuaikan karena putra putrinya lebih suka ayam atau ikan goreng atau lauk apa pun yang baru matang. Tetapi kadang memang Gabriel suka membuat gara-gara dengan Via. Tak jarang, Gabriel tidak mau mengalah dari sang adik.
Tak lama dari kepergian Gabriel, ada Ify yang datang dari arah luar. Gadis itu sendirian dan langsung menuju ke ruang makan.
"Good morning, Om, Tan." sapa Ify kepada kedua orang tua Via.
"Morning!" dengan nada bersahabat, Rizaldy menyahuti ucapan selamat pagi dari Ify.
Begitu pula dengan Rima yang langsung memeluk Ify dan mengajaknya menikmati sarapan bersama, tapi Ify bilang kalau dia sudah sarapan di rumah. Lagi pula, Rima juga tidak bisa memaksa kalau memang kenyataannya begitu.
"Aku berangkat dulu ya, Pa! Ma!" Via langsung memakai tas ranselnya dan menyalami tangan Rizaldy juga Rima secara bergantian.
"Kamu nggak jadi sarapan dulu?"
"Enggak ah, Ma. Males, ayamnya udah diambil Bang Iel." sahut Via usai menyalami punggung tangan mereka.
Kalau sudah begini, Rima dan Rizaldy tidak bisa apa-apa. Mereka hanya bisa merelakan anak gadisnya langsung berangkat ke sekolah tanpa sarapan.
Tanpa mengurangi rasa hormat, Ify pun menyalami kedua orang tua Via sebelum pergi dari sana. Ify memang selalu memiliki kesopanan untuk keluarga Rizaldy. Tetapi, hanya nada bicaranya saja yang sopan. Tidak dengan wajahnya yang tetap saja dingin tanpa sebuah senyuman. Untung saja, Rima dan Rizaldy sudah paham dan mereka tidak pernah mempermasalahkannya.
***
"Jadi, kamu berhasil bikin Ify nggak takut lagi sama mawar?" dengan antusiasnya, Raga kembali menanyakan ini pada Rio.
Rio yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur pun masih belum menjawab pertanyaan Raga. Dia lebih fokus pada roti panggangnya yang kini dia olesi dengan selai. Dan tanpa Rio sadari, sikapnya yang begini membuat Raga semakin geregetan menunggu jawabannya.
"Rio, jawab!" Raga terus mendesak karena dia penasaran pada kebenarannya.
Semalaman Raga tidak bisa tidur karena dibuat penasaran oleh ucapan Rio sendiri. Sedangkan Rio, dia tidak mau menjelaskannya pada Raga. Tak hanya itu, Rio juga sengaja membuat batas yang tidak bisa ditembus oleh Raga agar Raga tidak bisa masuk ke kamarnya di kala Rio tertidur. Karena kalau Rio tidak begitu, sudah jelas ketenangan malam malaikat tampan itu akan terganggu.
"Aku berhasil membuat Ify berjalan di tengah-tengah kebun mawar."
Raga yang sedang menyesap kopi susunya, terhenti seketika. Untung saja, Raga tidak sampai tersedak karena kaget mendengar apa yang barusan Rio ucapkan.
"Serius? Kamu nggak lagi bohong 'kan?" tanya Raga meminta kepastian.
Tidak ada jawaban dari Rio, lelaki itu hanya tersenyum sambil membawa teh chamomile ke dalam kamarnya dan langsung membuat pembatas agar Raga tidak bisa mengikutinya.
"Ish, sok penting banget sih jadi malaikat." gumam Raga kesal karena dia tidak bisa ikut masuk ke kamar Rio.
Akhirnya Raga memilih masuk ke kamarnya, lagi pula dia juga tidak bisa mengusik Rio. Mau apa lagi kalau bukan tidur? Itulah yang Raga pikirkan.
"Rio... Jangan bikin aku semakin penasaran!" rengek Raga lagi yang sudah seperti anak kecil minta dibelikan jajan pada mamanya.
Rio selesai mengoleskan selai, dia langsung membawa dua piring roti tawar panggang beserta dua gelas s**u putih ke meja makan. Dia juga meminta agar Raga segera menyantap sarapan buatannya.
"Kamu masih tidak mau menjawab?" kali ini Raga memberikan pertanyaan yang berbeda.
Barulah sekarang Rio membalas tatapan Raga dari semalam. Rio tidak tahu kalau apa yang dia katakan itu akan membuat Raga sangat penasaran sampai seperti ini.
"Maksud aku semalam itu, aku berhasil membuat Ify percaya padaku. Perlahan-lahan, aku akan membantu dia supaya sembuh dari trauma yang dia alami." karena telinganya panas akibat pertanyaan Raga yang tiada henti, Rio memutuskan untuk memberitahu Raga tentang yang sebenarnya.
Tak bisa Raga tutupi, dia ikut tersenyum senang mendengar jawaban Rio. Memang inilah yang dia inginkan, mendengar Rio akan membantu Ify mengatasi rasa traumanya sampai Ify benar-benar bisa melihat, memegang serta mencium aroma wanginya. Raga penasaran, bagaimana Ify setelah dia bisa menikmati keindahan bunga mawar.
"Kamu hebat!" puji Raga pada Rio yang sudah berani mengambil keputusan meski sudah harus mencabut lisensinya.