Bab 3

1100 Kata
“Lo mau kerja jadi fashion stylist atau j a l a n g berkedok fashion stylist?!” sahut Willy setelah selesai mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Mia, kekasihnya. “Aku memang kerja jadi fashion stylist, kok. Nggak aneh-aneh,” ucap Mia. “Nggak aneh-aneh, tapi harus tinggal satu atap dan ikut ke acara yang dia datangi?! Lo g o b l o k, anjing! Gue nggak izinin! Enak banget lo mau tinggal di rumah orang lain dan lupain tugas lo di sini.” Mia melipat bibirnya, mendengar ucapan Willy yang selalu diiringi kata kasar. Namun, sekasar apa pun ucapan Willy, hanya pria itu yang Mia miliki di dunia ini, dan hanya pria itu yang mau menampung juga menjamin kehidupan Mia. “Tapi, aku butuh kerjaan ini, Will. Aku nggak mau bebani kamu terus-terusan, aku juga nggak tahu gimana kita ke depannya. Kalau kita nggak lanjut nanti, hidup aku nggak mungkin berhenti, ‘kan? “Hidup aku terus jalan. Kalau aku nggak punya pekerjaan, gimana aku mau lanjutin hidup aku? Dan pekerjaan ini penting banget buat aku. Aku bisa, kok, bermalam di sini sesekali dan lakuin tugas aku.” Hubungan percintaan mereka sudah berjalan lima tahun lamanya, dan tentunya dengan banyak hal yang Willy berikan pada Mia. Mia membayar semua itu dengan dirinya sendiri. “Lo pikir s e x yang gue butuhin cuma sesekali?” tanya Willy dengan tatapan sinis. “Jawaban gue tetep nggak! Lo bisa cari pekerjaan lain, toh sebelumnya lo juga punya penghasilan tanpa ada aturan aneh-aneh.” “Gajinya nggak sebesar dengan gaji yang akan aku dapetin, Will. Aku nggak bisa lepasin gitu aja! Aku butuh penghasilan tetap untuk bisa bertahan setelah hubungan kita nggak sama lagi nanti!” ujarnya dengan keras kepala. Awalnya, Mia memang ingin mundur dari pekerjaan itu. Namun, setelah berpikir ulang dan berdiskusi, Mia rasa tidak ada salahnya bekerja dengan Mike. Mia bisa bertahan untuk beberapa bulan selagi dia mencari pekerjaan lain, yang terpenting dia memiliki penghasilan sendiri karena masa depan tidak selalu sama dengan masa sekarang. Suara nyaring terdengar setelah sunyi memeluk beberapa detik yang lalu. Gelas sloki yang berada di dalam genggaman Willy membentur meja marmer dengan keras lantaran Mia yang membantah ucapannya. Urat di tangan t e l a n j a n g nya pun terlihat dengan jelas, dengan rahang yang juga kaku. Mia terdiam kaku, amarah Willy adalah hal yang dia takuti karena pria itu bisa melakukan apa pun, dan hal yang paling mudah untuk memancing amarah Willy adalah dengan menjadi pembangkang. Hal yang baru saja Mia lakukan. Mia pun hanya duduk diam dengan kepala tertunduk dan tangan yang menggenggam erat gelas berisi jus. “Lo terus-terusan bilang kalau hubungan kita nggak sama lagi nanti. Aslinya lo, ‘kan, yang mau putus dari gue?! Lo juga, ‘kan, yang minta tinggal bareng sama atasan lo, biar lo bisa perlahan ngejauh dari gue?! Lo pikir gue sebodoh itu sampai nggak tahu akal busuk lo?!” Dalam diamnya, Mia terus mencoba menyakinkan diri agar dia mampu membalas ucapan Willy yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Akan tetapi, belum sempat satu kata terucap dari mulutnya, dagu Mia tertarik dengan cengkeraman erat yang menyakiti. Wajah mereka saling berhadapan, dengan tatapan tajam dari mata berkelopak mata satu milik Willy yang menghunus mata almond milik Mia. “Sampai kapan pun, Mia! Sampai kapan pun, hubungan ini nggak akan bisa berakhir tanpa persetujuan dan keinginan gue! Lo nggak punya hak sedikit pun untuk akhiri hubungan ini!” ucapnya dengan tatapan yang sama, dan cengkeraman yang semakin menguat di dagu Mia. Cengkeraman itu terlepas, berganti dengan usapan halus di pipi Mia. “Inget baik-baik ucapan gue, ya, Cantik,” ucapnya lagi, dengan suara dan tatapan yang lebih lembut. “Tapi, aku bener-bener butuh pekerjaan ini, Willy. Aku nggak mau terus bebani kamu, dan nyusahin kamu. Aku mau berdiri di kaki aku sendiri. Percuma pendidikan yang selama ini aku tempuh kalau nggak aku salurin,” ucap Mia dengan keras kepala. Dia benar-benar ingin memiliki penghasilan sendiri, dan tak membebani Willy lagi. “Apalagi perusahaan kamu lagi nggak baik-baik aja, ‘kan? Untuk s e x, kamu nggak perlu khawatir, aku akan berusaha tetap penuhi walaupun nggak bisa sesering kemarin.” Willy tertawa pelan dengan tangan yang memijat dahinya. Willy yang memang sudah beranjak dari kursi yang dia duduki, memutar kursi Mia, membuat punggung kursi perempuan itu bertemu kitchen bar yang mereka tempati. Tangan kiri Willy bertumpu pada pinggiran meja marmer dengan tangan kanan yang mengusap sudut bibir Mia. “Nggak seharusnya gue biarin lo keluar dan bergaul sama orang-orang yang ngasih pengaruh buruk buat lo. Dan nggak seharusnya gue biarin bibir s e k s i lo berhenti nge-desah. Gue jadi kepikiran untuk nyimpen sesuatu di lubang lo, biar lo nggak ngeluarin suara lain selain desahan.” Willy menatap paha terbuka Mia yang hanya ditutupi hot pants sebelum mulai m e l u m a t bibir Mia dengan kasar. *** Sesi percintaan panas nan panjang telah selesai dengan Mia yang langsung tertidur karena tubuhnya yang benar-benar kelelahan. Beruntung perempuan dengan wajah berantakan itu tidak jatuh pingsan setelah meladeni n a f s u bercampur emosi dari diri Willy. Sedangkan, Willy, pria itu belum tidur, dengan napas terengah-engah, dia menatap wajah Mia dengan seksama. Wajah yang sama yang menemani tidurnya selama lima tahun ini, dan wajah yang sama yang akan selalu menyambutnya ketika bangun dari lelap. “You look gorgeous, as always.” *** Setelah malam panas yang panjang hingga membuat aroma percintaan menyengat di kamar mereka, Mia terbangun dari tidurnya tanpa Willy di samping perempuan itu. Mia berusaha untuk duduk dengan susah payah lantaran tubuhnya yang terasa remuk redam dan bekas luka di beberapa bagian. Mia menyandarkan kepala di kepala ranjang setelah memastikan selimut membalut tubuhnya yang tak memakai apa pun. Mia melihat nakas tempat ponselnya biasa berada, namun dia tidak menemukan ponsel miliknya, akan tetapi sebuah pesan yang di tulis di salah satu halaman buku. Hp lo gue sita, kunci mobil lo juga. Jangan harap lo bisa keluar tanpa izin dari gue! Mia mendesah kasar setelah membaca pesan yang berasal dari Willy. Seharusnya sore nanti Mia kembali ke rumah Mike dengan membawa barang-barangnya dan mulai bermalam di sana. Namun fakta yang ada, dia hanya bisa duduk di rumah tanpa bisa pergi ke mana pun. Mia duduk termenung di atas tempat tidur dengan selimut yang masih membalut tubuhnya, kedua matanya melihat ke arah kaca yang memperlihatkan bangunan tinggi beratap langit biru yang cerah. Dalam diamnya, embusan napas kasar sesekali terdengar di kamar yang sunyi, di saat ingatannya mengulang bagaimana awal pertemuan mereka dulu. “Sorry, Girl. Are you good?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN