Menghadapi Masa Lalu

2033 Kata
Rania sangat terkejut saat semalam Dirga mengatakan dia sudah mengurus masalah penerbangan ke Jakarta. Rupanya, itu bukan berarti bahwa Dirga sudah membelikan tiket terbang ke Jakarta, melainkan... "J-jet pribadi...?" Rania membelalakkan mata dan bibirnya membulat, saat mendapati sebuah jet di tengah bandara yang menanti mereka. "Ya. Jujur aku jarang menggunakannya. Tetapi karena ini mendesak, kalau penerbangan delay dan sebagainya, bisa-bisa kamu tidak datang tepat waktu dan membuat semuanya kacau." Rania tidak hendak merasa keberatan. Dia malah sangat takjub dengan hal ini. Ia tidak mengira hanya demi mengantarnya ke Jakarta tepat waktu, Dirga telah memperhitungkan dan melakukan semua ini. Bahkan, hanya untuk 20 menit penerbangan itu, ada seorang pramugari yang melayani mereka. Rania merasa dirinya diperlakukan begitu penting hari ini, dan dia tersanjung. Ia duduk sembari mengamati ke luar jendela. Sesekali menoleh kepada Dirga yang duduk berseberangan darinya, sambil membaca National Geographic di tangannya. Tanpa disadari, tatapan Rania melembut saat menangkap bayangan lelaki itu. Hari ini Dirga terlihat tampan dengan celana hitam dan kemeja hitam lengan panjang, yang digulung seperempat lengan. Dirga juga merapikan bulu-bulu halus di wajahnya dan rambut hitamnya yang berkilau terkena cahaya dari arah jendela. Membuat paras pria itu semakin memesona. "Silakan," seorang pramugari tiba-tiba menawarkan beberapa mini cake dan membuat Rania yang tengah termangu menatap Dirga tiba-tiba terlonjak, mencuri perhatian Dirga yang sontak turut menoleh kepadanya. Rania buru-buru membuang muka dengan jantung berderap keras, memindahkan perhatiannya pada nampan yang dibawa pramugari itu dan meraih apa pun yang ada di sana lalu melahapnya. Perbuatan yang menyebabkan si pramugari melongo, apalagi saat Rania tersedak dan terbatuk-batuk hingga membuat pramugari itu panik. "Ti-tidak apa-apa, tidak apa-apa!" Rania meraih air mineral dan melap bibirnya. Setelah semua kekacauan itu berlalu, Rania segera membuang wajahnya ke jendela. "Duuh... memalukan," cetusnya tanpa suara. Jangan dilihat Ran, jangan dilihat... Ia meyakinkan dirinya berkali-kali agar tidak melihat Dirga dan pura-pura mengabaikannya. Dirga mengamati Rania beberapa lama, tersenyum samar memikirkan gadis itu pasti gugup sekali hendak muncul di acara reuninya. Tak berapa lama, Dirga kembali pada bacaaannya. Kejutan untuk Rania belum selesai. Sebuah sedan mewah bersama seorang sopir menunggu mereka di bandara. Saat Dirga mengajaknya menaiki mobil itu, Rania sangat takjub. "K-kenapa kamu melakukan ini semua?" Ia menatap lelaki itu penasaran. "Kurasa ada seseorang di sana yang ingin kamu buat terkesan. Atau mungkin... membuatnya menyesal sudah melepasmu? Aku hanya membantumu. Bukankah kita mitra?" Mitra. Tapi semuanya terasa berlebihan. Terlalu banyak dari yang Rania harapkan. Ia tidak mengira Dirga benar-benar melakukan semua ini untuknya. Padahal, dari kemarin yang Rania lakukan hanya marah-marah saja kepadanya. "Terima kasih," Rania berkata perlahan. "Untuk semua yang sudah kamu lakukan." "Masih belum selesai, bukan? Sebaiknya kamu simpan dulu ucapan terima kasihmu." *** Saat mereka tiba di kampus, Galuh yang merupakan salah satu panitia dari angkatannya tampak sumringah mendapati Rania yang turun dari mobilnya. Ia berlari kecil mendekat kepada Rania. "Rania! Akhirnya kamu datang juga! Eh, tanganmu kenapa?" "Cuma keseleo," ujar Rania, menjelaskan posisi tangannya yanga agak menggantung. Dirga turun dari sisi pintu yang satunya lagi. Mata Galuh melebar, terkejut dan terpesona. Tatapan kagumnya beralih penuh tanya kepada Rania, bertanya siapa lelaki menjulang yang mengantarnya itu. Dirga merapikan jas yang kancingnya dibiarkan terbuka sambil berjalan mendekat kepada Rania dan berdiri di samping gadis itu. "Dirga, perkenalkan ini temanku, Galuh. Dan ini Dirga. Dia..." Rania masih tidak siap, tidak biasa mengatakan pria ini kekasihnya. Kebohongannya terasa begitu nyata. "Kamu sudah punya pacar!?" Galuh yang blak-blakan dan periang itu terpekik. Keduanya bertukar pandang. Rania salah tingkah dan Dirga hanya menyunggingkan senyum samar namun penuh makna. Duh! Melihatnya Rania semakin salah tingkah. Bagaimana senyuman itu bisa menyesatkan sahabatnya lebih jauh. Wajah Galuh terperangah tidak percaya dan tampak berseri kemudian. "Wah! Akhirnya! Kenapa kamu tidak mengatakan apa pun kalau—" "Nanti saja kita lanjutkan, oke?" sela Rania cepat, tidak nyaman. "Oh, ya, ya," Galuh mengangguk-angguk, menandai nama Rania di absen. Ia lantas menyerahkan name-tag dan nomor untuk doorprize. "Ran, kalau Sukma tidak bisa datang, kamu yang memberi sambutan dari Humas, ya? Karena kamu juga salah satu lulusan terbaik." "HA!? Aku!? T-ti-tidak, aku belum menyiapkan apa-apa!" "Kamu pasti bisa! Bukankah kamu sudah biasa memberi sambutan? Hanya untuk jaga-jaga saja jika Sukma benar-benar tidak bisa datang." Protes Rania sama sekali tidak dihiraukan. Galuh lantas berbisik ke telinga Rania. "Kamu benar-benar pintar cari pacar. Ceritakan semuanya ya!" Spontan Rania menyikut gadis itu yang berbalik mengernyih kepadanya. Galuh masih sempat melemparkan lirikan kepada Dirga dan tersenyum dibuat-buat. Rania manyun pura-pura kesal dengan kelakuan Galuh sebelum menarik Dirga bersamanya. Rania berusaha menenangkan debaran jantungnya saat memasuki keriuhan di ruang aula yang digunakan reuni Fisip 2008. Ia melihat beberapa orang yang wajahnya familiar namun tidak begitu dikenalnya. Rania menggigit gelisah bagian dalam bibirnya, menarik napas beberapa kali. Tiba-tiba sesuatu membuatnya merasa lebih tenteram. Rania menurunkan pandangannya pada genggaman tangan Dirga di telapaknya. Rania menelan ludah dan mengeratkan rahang. Ketegangan memasuki ruang reuni berganti ketegangan lain yang dihasilkan kehangatan tangan Dirga. Setidaknya, ketegangan ini lebih menyenangkan. "Tenang saja, hanya reuni, kamu pasti bisa melaluinya." Dirga meyakinkan. Kata-kata yang secara ajaib membuat Rania tidak punya pilihan selain memercayainya. Ia harap mereka berdua bisa meyakinkan orang-orang di sana, bahwa memang ada sesuatu yang istimewa di antara keduanya. Terutama, meyakinkan mantan tunangannya dan selingkuhannya. Rania menahan diri untuk tidak bertanya kepada Galuh apakah Adit dan Sasti juga datang. Apakah mereka sudah menikah atau... Rania kembali menelan ludah. Apapun jawaban dari pertanyaan hatinya, ia yakin semua jawabannya pasti menyakitkan. Ia melihat beberapa temannya baik yang ia kenal dekat, cukup dikenalnya, sebatas tahu nama dan wajahnya, hanya tahu wajahnya, sampai yang tidak dikenalnya sama sekali. Kembali ke kampus, membuat Rania teringat dengan banyak sekali memori di tempatnya mengenyam pendidikan selama empat tahun itu. Rania sangat aktif saat kuliah. Pengurus BEM, Hima, aktif di radio kampus, belum lagi selalu turut serta dalam berbagai kepanitiaan. Ia gadis yang populer. Bahkan, setelah berpacaran dengan Adit, atlet kampus yang banyak penggemarnya, dia masih mendapatkan pernyataan cinta dan ungkapan kekaguman dari mana-mana. Sayangnya, semua popularitas itu menghantamnya sangat telak... setahun yang lalu. Saat pernikahannya sudah dikabarkan luas, saat ucapan selamat telah mengalir deras. Saat kebahagian sudah di depan mata... Dan hancur begitu saja. Seluruh otot Rania menegang. Kepercayaan dirinya hilang. Tiba-tiba dadanya sesak dan tenggorokannya tercekik. Rania kesulitan bernapas, dan mendadak ingin pergi dari sana. Tanpa sadar Rania menggenggam telapak Dirga sangat erat. Perhatian lelaki itu tertarik, ia menoleh kepada gadis di sampingnya dan sangat terkejut saat mendapati wajah pucat Rania. "Rania!" sapa teman-temannya saat melihat gadis itu. "Kamu datang!" seruan itu mengalihkan perhatian sepasang mitra tersebut kepada mereka. Dengan cepat trauma itu ia benamkan, Rania mengurai senyumnya, berusaha terlihat tanpa beban. "Hai!" balasnya singkat. "Kamu datang dengan siapa? Eh, tanganmu kenapa?" Mereka mengutarakan pertanyaan yang sama dengan Galuh. Rupanya kedua topik itu yang paling menarik dari Rania saat ini. Dirga kembali mengamati Rania yang berusaha sangat keras hanya untuk sekadar terlihat biasa. Namun, ia bisa melihat gadis itu tengah memulihkan diri, seperti seseorang yang baru saja melihat hantu yang tidak bisa dilihat orang lain. Genggaman erat Rania kepadanya, tidak mengendur sedikit pun. Rania hampir tidak berhenti bertegur sapa dengan orang-orang yang ditemuinya. Dan Dirga, pria itu tidak bisa lebih mencolok lagi. Bujangan perlente bersosok tegap mengagumkan itu sangat mencuri perhatian. Rambut semi gondrong yang kurang rapi sedikit terselip di telinganya, memperlihatkan kebebasan jiwa yang dimiliki lelaki itu. Rambut-rambut halus di sekitar wajahnya yang membingkai maskulin kerupawanannya dengan sempurna, membuat Dirga berhasil berkali-kali membuat teman-teman Rania tidak berkedip. Ada yang hanya curi-curi menatap Dirga yang setia dengan sikap tenangnya, ada juga yang blak-blakan bertanya status lelaki itu. Jika sudah begitu, Rania hanya melemparkan tatapannya kepada Dirga.  Lelaki itu akan merangkul Rania di bahunya, menarik gadis itu mendekat dan memberi pengakuan, "Aku kekasihnya," sambil mengurai senyum tipis yang juga begitu tenang—Sebaliknya, jantung Rania sepertinya sudah tidak bisa lebih kacau lagi setiap kali lelaki itu melakukannya. Gugup karena kebohongannya, juga karena pelukannya. Semua berlangsung cukup baik, hingga seorang teman berujar, "Aku ikut sedih dengan yang terjadi sebelumnya di pernikahanmu. Tapi syukurlah, ternyata kamu sudah mendapatkan gantinya lagi. Dan aku yakin dia lebih baik dari Adit!" gumamnya pahit. Rania tidak tahu pasti raut seperti apa yang dipasangnya. Mungkin tersenyum—atau meringis. Yang pasti tubuhnya langsung panas dingin dan otot perutnya mengejang lagi. Setahun. Tetapi masih terasa seperti kemarin. Suasananya, perasaannya saat mendengar Adit menghilang, saat ia bangun dari pingsan dan berharap itu semua mimpi buruk, namun ternyata semua nyata. Rasa malu, marah, kesal, terpukul dan... sakit! Terlalu menyakitkan hingga jika ingatannya terlempar pada masa itu lagi, semua rasa sakitnya masih sama seperti dulu. "Ran, kamu tidak apa-apa?" Dirga menyentuh siku Rania lembut. Dia melihat perubahan raut gadis itu, raut berbagai kesuraman dan ketakutan yang seakan melihat hantu tersebut. Rania mendongak, kembali tersenyum, dan menggeleng. Sapaan lain datang. Celetukan lebih berani terdengar. Gurauan, memang, tetapi rasa sakitnya sangat nyata. "Jangan-jangan Rania malah menyesal kalau dulu menikah, tidak akan dapat anugerah yang ini deh...," goda Aryanti. "Namanya Dirga, bukan Anugerah," timpal Ina, cengengesan sambil melirik kepada Dirga yang tidak banyak bicara. "Tapi aku benar-benar lega Ran, karena dulu itu sangat heboh, sampai aku juga ikut kesal dan marah! Sekarang kamu sudah melangkah lagi." Dirga mengamati Rania. Gadis itu tidak menceritakan apa pun kepadanya. Tapi, sepertinya sesuatu terjadi di hari pernikahannya. "Sekarang, sepertinya Rania malah lebih senang ditinggal," goda mereka. Tolong, hentikan, mohon Rania dalam hatinya. Dirga sangat terkejut mendengarnya. Jadi, gadis ini ditinggal di hari pernikahannya? Lelaki mana yang tega melakukannya? Dirga mengamati gadis itu, menahan gusar. Bibir Rania masih saja tersenyum tidak wajar, sementara hatinya begitu tercabik-cabik kenangan lama yang kembali mengundang rasa menyiksa yang sama. Tercabik kebohongan yang diciptakannya bersama Dirga, karena kenyataannya, mereka bukan siapa-siapa. Dan, Rania belum beranjak ke mana-mana dari masa lalunya. Syukurlah, suara pengumuman agar para alumni segera duduk di mejanya masing-masing menghentikan pembicaraan mereka. Rania menghempaskan napas lega. Cukup keras untuk disadari Dirga. Lelaki itu menahan diri untuk bertanya apa pun kepada Rania. Keduanya duduk di sebuah meja bundar, dengan tiga orang teman Rania di BEM dan pasangan mereka. Di atas meja ada sebuah booklet berisi yel-yel angkatan yang harus dihapalnya. Rania tersenyum penuh nostalgia membaca yel-yel tersebut, mengobrol riang bersama orang-orang yang semeja dengan mereka. Semenjak tadi Rania belum menatap Dirga lagi. "Sepertinya aku harus mengabadikannya saat kamu menyanyikan yel-yel nanti." "Dirga...!" Rania mencubit lengan mitranya itu sambil cekikikan. Hampir berhasil memperlihatkan dia baik-baik saja. "Aduh, mesranya..." seloroh Mustika. "Jadi, sejak kapan kalian berpacaran?" Rania dan Dirga saling bertatapan. Waktunya ujian untuk apa yang sudah mereka hapalkan. "Belum lama, belum ada seminggu," ujar Rania. Tepatnya, belum ada tiga hari. "Aku jatuh cinta pada pandangan pertama," Dirga mengimbuh, mengejutkan seisi meja, termasuk Rania yang menatapnya tidak mengira. "Syukurlah akhirnya Rania mendapatkan penggantinya," Manda memasang wajah simpati. "Jodoh itu memang tidak ada yang tahu ya? Pacaran dengan siapa... akhirnya bersama siapa. Mudah-mudahan saja kalian berakhir di pelaminan." Dirga melirik Rania yang sedikit memucat. Pria itu meraih tangan Rania lagi, membuatnya sedikit mengejat dan mengangkat wajahnya, menatap lelaki konglomerat itu. Lelaki itu tersenyum tipis kepadanya, membuat Rania heran lalu salah tingkah. "Aku tidak tahu lelaki seperti apa yang sudah bodoh melepas Rania," Dirga sekali lagi memerangkap Rania dengan tatapan teduhnya. "Tetapi kebodohannya adalah keberuntunganku, karena jika tidak, mungkin aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan ini." Helaan napas terlena terdengar dari sekeliling mereka. Sebaliknya, Rania panik, getir. Oh, Dirga, please... jangan bicara lebih banyak lagi... pinta Rania dalam hatinya. Hubungan mereka hanya pura-pura. Apa jadinya jika teman-temannya tahu mereka putus di tengah jalan? Bukan, bukan di tengah jalan, melainkan putus sebelum berjalan. Duh... memikirkannya saja Rania sudah merasa sangat miris. "Aku sendiri, tidak ada niat melepaskan gadis sempurna seperti Rania..." Deg. Deg. Deg. Debaran jantung Rania menggema kuat di kepala. Tatapannya terpasung kepada Dirga, yang berhasil membuat Rania kehilangan semua kata. "Sampai kapan pun," tutup Dirga pasti. Tuhan. Andai saja apa yang dikatakannya itu benar. Godaan terdengar dari sekeliling meja. Rania salah tingkah. Dirga juga terlihat agak kikuk walaupun tersenyum tenang. Suasana di sekitar mereka membuat keduanya rikuh. Setidaknya, sikap malu-malu keduanya semakin meyakinkan orang-orang di meja itu bahwa memang ada 'sesuatu' di antara mereka. Saat tengah bertukar senyuman mesra dengan Dirga, sebuah bayangan sosok yang familiar memasuki ruang pandangnya. Tubuh gadis itu mengejang seketika. Tidak!Tidak! Tidak! Jangan lihat! Perintah kepalanya. Tapi mata Rania tetap bergeser perlahan, hingga ia bisa melihat sosok itu dengan fokus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN