Pasangan Menyebalkan

1660 Kata
Tidak! Tidak! Tidak! Jangan lihat! Perintah kepalanya. Tapi mata Rania tetap bergeser perlahan, hingga ia bisa melihat sosok itu dengan fokus. Aditya Lingga. Mengenakan kaos putih polos berleher V dengan luaran jas abu-abu muda. Kulit putih bersih, tubuh tinggi tegap khas pebasket, sekarang tertangkap lagi matanya. Setahun. Setelah lebih dari setahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Rania mengejang, dan matanya memanas. Tidak... tidak... tidak... Rasa sesak memenuhi dadanya lagi. Ia tidak mengira masih bisa berreaksi sehebat ini saat melihat sosok Aditya. Hanya saja, jika dahulu reaksi itu karena rasa cintanya. Sekarang, karena rasa muak. "Ran, kamu tidak apa-apa?" tanya Dirga saat melihat perubahan air muka gadis itu. Rania menggeleng tanpa suara, meraih air minum dengan cepat dan terbatuk-batuk. Dirga mengangsurkan tisu, mengamati gadis itu, dan meyakini ada sesuatu. Ia memutar pandangannya ke mana sebelumnya tatapan Rania mengarah. Ia menemukan seorang pria menatap Rania, sebelum beralih menatapnya. Pandangan keduanya bertemu, saling menilai. Perkataan para penggosip tadi terngiang. Apa dia yang pernah mencampakkan Rania? Dirga mengatupkan rahang erat, menatap tajam. Adit balas menatap Dirga beberapa saat, dan membuang wajahnya. Dirga mengerutkan alis tidak suka. Selama acara berjalan, Dirga bisa melihat Rania agak tegang dan kurang menikmati. Ia memang sering melihat gadis itu salah tingkah, tetapi tidak seperti saat ini yang tampak sangat rikuh dengan sekelilingnya. Terutama, setelah bertemu muka dengan pria pelontos itu. Hingga makan siang dimulai, Rania tidak banyak bicara. Hanya menebar senyum, senyum, dan senyum. Sekarang Dirga tahu, senyuman seorang gadis bisa menyimpan banyak makna. Setidaknya, senyuman seorang Rania. "Dan berikutnya, sambutan dari Wakil Ketua Hima Humas yang juga pernah menjabat Seksi bidang SDM BEM FISIP 2009/2010, Karaniya Parameswari." MC tiba-tiba menyeru nama Rania saat acara dimulai lagi dan para wakil jurusan memberikan sambutan. Rania melotot panik, mencari Galuh. Gadis itu melambai-lambai di sisi panggung, memintanya segera naik. Aduh, bagaimana ini!? Dia sama sekali belum menyiapkan apa-apa. Sekarang banyak mata sudah terarah kepadanya, dia tidak bisa melarikan diri. Apa yang ada di pikiran Galuh!? Untuk muncul saja Rania perlu kekuatan tambahan—Dirga. Dan sekarang, dia diminta berpidato di hadapan semua orang!? Tepuk tangan terdengar namun kaki Rania malah terasa dipaku ke lantai. Sulit sekali bergerak. Ia menggigit bibirnya tipis. Risau. Tak dikira, pria itu mengibaskan rambut Rania ke punggung dan mengusap bahunya sambil menatap meyakinkan. "Tidak apa-apa Ran, tenanglah. Kalau kamu gugup, lihatlah hanya aku dan anggap kamu sedang bercerita kepadaku." Rania menghela napas, tatapan dan ucapan pria itu secara ajaib membuatnya lebih kuat. Ia mengangguk gugup. Gadis itu berdiri dan melangkah menuju ke atas panggung dengan sangat tegang. Sasti, duduk di samping Adit mengamati Rania sambil menyilangkan tangan di dadanya. Ia mendapati pria itu menatap Rania dengan perhatian penuh. Sasti diam-diam menyenggol sepatunya. Adit terperanjat. "Biasa saja melihatnya! Jangan bikin malu!" desis Sasti, berusaha tidak membuat bibirnya bergerak terlalu jelas. Adit menghempaskan napasnya, dan mengeratkan rahangnya. Tapi, tatapannya tak lama kembali pada Rania. Gadis itu terlihat semakin cantik, tapi agak kurus dari yang diingatnya dulu. "Se-selamat si-siang..." Rania memulai pidatonya dengan terbata, hal yang tidak mungkin terjadi dulu. Susah payah berusaha menyingkirkan suara-suara di kepalanya mengenai penilaian orang kepadanya, dan fokus dengan apa yang hendak ia katakan. Rania menunduk, mendapati tangannya gemetar di atas mimbar. Tidak. Ini buruk, suaranya juga ikut gemetar sekarang. Ia harus mencari sesuatu, sebuah titik untuk menghilangkan kegugupannya, membangun kepercayaan dirinya. Lihatlah hanya aku. Rania mencari Dirga, lalu menemukan sosok tegap itu berada searah dengannya. Lelaki itu menatapnya, Rania pun memaku matanya ke sana. Samar, ia bisa melihat tatapan pria itu yang terasa menyemangatinya, menguatkannya. Menenangkannya. Perlahan Rania sudah semakin bisa menenangkan suaranya, mengatur kata-katanya, dan membangun kepercayaan dirinya. Dirga tersenyum, Rania merasa sudah melakukan hal dengan benar. Pidato Rania semakin mantap dan berakhir dengan tepuk tangan meriah. Rania tersenyum sangat lega, kepada Dirga. Gadis itu lalu melangkah turun dengan perasaan puas. "Terima kasih," bisik Rania, mencondongkan tubuhnya sedikit ke telinga Dirga saat hendak duduk kembali. "PRANG!!" tiba-tiba terdengar sebuah gelas yang pecah. Semua perhatian tertuju ke sana. "Adduuhhh jatuh..!!" rengekan manja Sasti terdengar, dengan panik dia berusaha mengambil gelas itu, tapi pecahannya malah melukai tangannya sendiri. Sasti kembali mengaduh kesakitan, mencuri perhatian sekelilingnya dan membuat suasana meriah terhenti sejenak. Beberapa panitia menghampirinya, mengamati ujung jari Sasti yang terluka dan gadis itu yang berakting seakan terkena ledakan granat. Rania mengamati kejadian itu tanpa suara. Perutnya merasa mual melihat Sasti yang sedang merengek manja pada Adit karena tangannya terluka. "Ck! Biasa deh, kalau Rania sedang dapat perhatian, pasti ada yang bikin keributan!" ujar Mustika. "Benar-benar tak tahu malu! Sudah merebut calon suami orang, masih saja berani muncul!" "Eh, ssh!!" Manda menyikut Ina yang cuek. "Ah, Rania juga sudah tidak peduli 'kan, Ran? Kan sudah ada pengganti yang lebih baik," Mustika memberi tanda pada Dirga. Rania menarik bibir tipisnya sekilas, dan mulai pura-pura sibuk melahap pudding walaupun tidak berselera. Sementara Dirga mengamatinya, dan mulai paham semuanya. Mungkin itu sebabnya Rania bersikap begitu keras dengan kelakuan Dirga dan Padma? Karena gadis ini pernah mengalami mimpi buruk di hari pernikahannya? Sesaat, rasa bersalah bercampur rasa marah menguasai Dirga. Pria mana yang tega mempermalukan seorang gadis yang pernah berbagi cinta dengannya? Perwakilan jurusan diminta kembali naik panggung untuk menyanyikan yel-yel dan sekali lagi Rania termasuk salah satu yang diminta naik. Dengan memasang wajah pasrah Rania mengikuti permintaan teman-temannya. Dirga duduk di kursinya, mengamati Rania yang tampak salah tingkah, kadang cekikikan dengan teman-temannya di panggung. Dirga mengamati gadis itu dengan perasaan campur aduk. Heran, iba, juga kagum. Sebetulnya, Rania gadis yang menarik dan periang. Melihatnya tertawa-tawa di atas panggung, sempat membuat Dirga juga ikut tersenyum. Dirga memalingkan pandangannya kepada Adit. Pria itu tengah menatap lekat ke arah panggung. Dirga mengamatinya tajam dan dingin. Tiba-tiba sekali lagi Adit menoleh ke arah Dirga. Keduanya sempat saling melihat, saling membaca. Saat Adit menundukkan kepala, Dirga baru kembali menatap ke arah panggung. "Eh, itu Sasti! Untuk apa dia naik ke atas panggung juga? Ih, dasar tidak tahu malu!" Dirga merasakan tatapan teman-teman semejanya yang melirik waswas kepadanya. Dirga tidak bertanya siapa gadis itu, dia pun tidak yakin mereka akan mengatakannya. Tapi menyimak obrolan sedari tadi, Dirga sudah ada bayangan siapa dia. Sasti berperawakan mungil dengan rambut dicat cokelat lurus terurai sebahunya. Dia tampak mendekati Rania dan teman-temannya, cekikikan. Sikapnya sangat santai. Sepertinya gadis bernama Sasti itu tidak menyadari kehadirannya mengganggu. Atau... pura-pura tidak menyadari? Dirga mengamati Rania. Gadis itu tampak canggung dan tidak nyaman. Ada gurat rasa kesal dan kecewa yang bahkan bisa Dirga lihat dari mejanya. Sikap Rania tidak seceria sebelumnya. Mendengar suara gadis itu, bagaimana Sasti cekikikan di belakangnya, bersikap naif dan tidak tahu malu, benar-benar membuat Rania muak. Sasti tertawa-tawa centil, dengan beberapa temannya. "Aduuhh... kalau bukan Adit yang paksa aku naik, malu banget deh ada di sini," rengeknya centil. Ocehan yang membuat beberapa orang memutar matanya. Tiba-tiba Sasti maju dan berdiri di depan Rania, menghalangi gadis itu. Dengan sengaja Sasti melambai-lambaikan tangannya ke arah Adit. Rania mengeratkan rahangnya dan membuang muka, ia lalu mundur ke belakang, dan tampak gusar. Gadis itu berusaha menekan perasaannya hingga sesi tersebut selesai. Ia turun dari panggung tanpa kontak sekalipun dengan gadis bernama Sasti. Rania bisa merasakan berpasang-pasang mata kembali mengarah kepadanya. Perut Rania berontak, ingin memuntahkan isinya. Jantungnya serasa hendak meledak dihantam kesedihan dan amarahnya. Dan tenggorokannya tidak pernah terasa begitu mencekik "Dirga, aku lupa, ponselku tertinggal di mobilmu. Bisa antar aku mengambilnya?" Pinta Rania saat ia kembali ke mejanya bahkan sebelum sempat duduk lagi. Dirga tidak berkata apa-apa. Dia beranjak dari kursinya dan keluar dari balai mengikuti Rania yang berpamitan kepada teman-temannya dengan alasan ponsel tertinggal. "Aku bisa meminta sopir untuk mengantarkannya ke sini." Ujar Dirga saat mereka sudah keluar ruangan. "Tidak perlu," tukas Rania, melangkah terburu mendahului Dirga. "Kita pulang saja." "Pulang? Kenapa pulang?" tanya Dirga pada punggung Rania. "Pokoknya aku mau pulang!" tegas Rania, suaranya serak dan gemetar. Dirga melangkah lebih cepat menyusuri tempat parkir, meraih lengan Rania dan memutar tubuh gadis itu kepadanya. "Kenapa kamu mau pulang?" Seketika lelaki itu terenyak, melihat air mata Rania sudah menderas di pipinya. Rania menunduk. "Aku mau pulang." Kali ini ia terdengar merintih, tak mampu menahan perihnya lagi. "Pulang?" Dirga mencengkeram bahu Rania. "Setelah kamu bertahan sejauh ini?" "Aku tidak peduli!" Rania menggeleng keras. "Aku mau pulang! Aku tidak mau berada di sana lagi! Aku tidak—" kalimatnya terpenggal. Kali ini air matanya menderas. "Ran, aku tahu apa yang terjadi, aku tahu berada di sana sangat berat untukmu," Dirga menangkup wajah Rania, menengadahkannya hingga mata mereka bertemu. "Tapi kamu tidak boleh lari. Kalau kamu tidak menghadapinya sekarang, kamu akan kalah selamanya!" "Aku tidak peduli!" Rania melepaskan tangan Dirga darinya. "Kamu tidak akan mengerti apa yang kurasakan," isaknya. "Aku hancur... kamu tahu? Aku malu bertemu semua orang. Aku tidak bisa berpura-pura baik-baik saja. Dan... di sana ada mereka...," tangan gadis itu gemetar, dadanya penuh sesak dan ia sungguh merasa tidak sanggup lagi. "Tidak. Kamu bisa! Kamu sanggup!" tegas Dirga. "Kamu hampir berhasil. Kamu bahkan bisa berpidato di hadapan mereka dengan baik walaupun sudah bertahun-tahun tidak melakukannya. Kamu juga terlihat cantik hari ini, memesona. Kamu luar biasa, Ran." Rania mendongak, wajahnya terasa panas dan airmatanya tidak bisa berhenti. "Aku yakin kamu bisa melaluinya. Ran, kalau kamu pergi sekarang, kamu akan benar-benar kalah dan tidak akan bisa lepas dari masa lalumu," Dirga menggamit dagu Rania. "Apa kamu masih mencintai Adit?" "Tidak!" tegas Rania. "Kalau begitu, perlihatkan kepadanya kamu baik-baik saja tanpa dia. Bahwa gadis itu, sama sekali tidak lebih baik darimu." Rania kembali menatap Dirga nanar. Mencari keyakinan dan kekuatan. Dia teringat Adit, teringat Sasti, dan keyakinan yang belum kukuh itu meluntur perlahan. Rania menunduk, menggeleng pelan. Tidak sanggup. Dirga mendekat kepada Rania, memeluk gadis itu yang terperanjat karenanya. Diusapnya kepala Rania perlahan. "Kamu akan baik-baik saja, aku yakin itu. Kamu bisa berkeliaran sendiri di tempat asing tanpa merasa takut. Bisa menahan rasa sakit di tanganmu semalaman. Maka kamu juga bisa bertahan di dalam sana dan jadi pemenang..." Rania bersandar di d**a kokoh lelaki itu. Seandainya saja dia bisa terus merasa nyaman seperti ini. Dirga benar. Rania tidak boleh terus lari dari dukanya. Dia harus menghadapinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN