Sempurna

2403 Kata
"Nah ini studio siarannya, tapi sekarang sedang dikunci." Rania menerangkan kepada Dirga. "Terus kenapa tidak melanjutkan jadi penyiar?" tanya Dirga, sambil menempelkan tangannya di kaca dan menyandarkan kepalanya di sana untuk melihat studio siaran klub radio di kampus Rania. "Sempat kok, sebentar," Rania menyeringai. Dirga pasti tidak tahu bahwa Rania pernah menjadi penyiar training salah satu radio. "Tetapi setelah aku membicarakannya dengan, ehm! Adit, dia bilang lebih baik aku bekerja di kantor saja, jadi aku sempat bekerja di sebuah kantor sebelum dipecat karena aku tidak masuk seminggu tanpa izin." Dirga memandang heran saat Rania meneruskan. "Aku cuti bulan madu selama seminggu, tetapi saat pernikahanku batal, aku kabur ke Jogja dan berada di sana selama dua minggu. Saat aku kembali, sudah ada surat pemecatan menungguku." Sekali lagi, senyuman untuk menyembunyikan perasaan getirnya. Dirga meraih bahu Rania. "Sekarang, bagaimana? Sudah siap kembali ke sana?" "Aku siap," Rania mengangguk sambil tersenyum. "Ayo, kita kembali." Tadi keduanya memutuskan berkeliling kampus selagi melegakan perasaan Rania dan menghilangkan kekusutan di wajahnya. Walaupun beberapa kenangan bersama Adit dan Sasti sempat mengusik, ternyata bagi Rania keberadaan Dirga lebih kuat pengaruhnya. Itulah kenapa ia lebih tegar menghadapi segala nostalgia yang sebelumnya terasa menghujam. Dirga meraih telapak Rania dan menggandengnya. "Benar ya, aku boleh bilang apa saja?" Rania memastikan janji yang diberikan Dirga. "Apa saja." Dirga mengangguk. "Kamu mau berkata aku hujan-hujanan tiga hari atau seminggu demi mendapatkan cintamu, kamu mau berkata aku membujukmu menerimaku dengan cek kosong yang bisa kamu isi sendiri, terserah saja." Rania tergelak. Ia mengetatkan genggaman tangannya. Dirga benar-benar mengerti bagaimana menghiburnya. Sekali lagi lelaki itu berhasil mencuri hati Rania lebih banyak. Saat keduanya kembali menginjakkan kaki mereka di balai pertemuan, ruangan sedang riuh. Rupanya tengah sesi hiburan. Sebuah band ibukota tampak jejingkrakan di atas panggung. Beberapa orang menari dan berdansa, beberapa berkeliaran menikmati makanan dari stand-stand yang ada di sana. Kebanyakan sedang bercengkrama dengan teman masa lalunya. "Rania!!" Galuh melambai. Ia sedang bersama lima orang lainnya. Rania dan Dirga melangkah ke arahnya. "Kamu ke mana saja?" tanyanya. Sepertinya sembap di wajah Rania sudah kian samar. "Maaf, tadi aku keluar, ada yang ketinggalan di mobil. Tapi Dirga malah menculikku, mengajak keliling kampus dahulu." Rania melirik mesra kepada lelaki gagah di sampingnya. "Duuh... berduaan terus..." goda Mustika. "Masih hangat sih ya..." "Memangnya pisang goreng, hangat!" tukas Rania, mereka tergelak. "Omong-omong, bagaimana kalian bertemu?" Galuh ingin tahu. "Kamu jahat! Sama sekali tidak pernah cerita! Kak Renjana juga tidak cerita kalau kamu sudah punya kekasih." "Sebetulnya aku juga tidak mengira akan jatuh cinta kepadanya." Rania meringis gugup. "Yah... tapi... bagaimana lagi, dia laki-laki paling baik dan romantis yang pernah kutahu," terangnya. "Waktu pertama bertemu padahal kita bertengkar, ya?" "Ya, kamu galak sekali saat kita pertama bertemu di restoran itu. Tapi galakmu itu yang membuatku penasaran dan jatuh cinta," imbuh Dirga. Godaan terdengar di sekeliling mereka. Kedua orang mitra itu bersekutu semakin menyesatkan teman-teman Rania. "Aku sudah mengikutinya diam-diam selama berhari-hari sebelum menyatakan perasaanku kepadanya. Aku bahkan mengikutinya liburan ke Bandung. Kebetulan sekali dia berlibur di penginapan milik kami," ujar Dirga. "Iya! Aku sangat kaget, ternyata pemilik penginapannya orang ini. Awalnya saat dia menyatakan perasaan, aku menolaknya. Karena kami belum terlalu saling mengenal. Tapi Dirga pantang menyerah." Rania terkekeh malu-malu. "Dia mengirimiku bunga setiap hari. Mengirimkan hadiah juga. Tapi yang membuatku luluh, saat dia bernyanyi di bawah jendela..." Rania mulai berkhayal. Sepertinya ini akan menjurus pada kisah Romeo dan Juliet. "Pada saat bulan purnama dan langit berbintang." Dirga menambah panas ceritanya. "Awalnya aku hampir putus asa, karena orang-orang di sekelilingku mulai menghampiri untuk melihat apa yang kulakukan. Sementara jendela Rania terus saja tertutup. Kupikir, apa dia sudah tidur? Apa dia tidak mendengar nyanyianku?" "Tentu saja aku mendengar! Tapi aku masih merasa malu dan tidak percaya bahwa Dirga sampai melakukan itu semua demi mendapatkan cintaku," sambung Rania. "Yah... kalau sudah seperti itu, perempuan tidak ada pilihan selain menyerah, 'kan? Dia lalu berteriak, 'Raniaaa!! Aku mencintaimuuu maukah kamu jadi kekasihkuu!!?'" "Lalu Rania membuka jendela, keluar ke beranda dan berteriak, 'Aku bersediaa~!!!" balas Dirga. "Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Aku sama sekali tidak pernah menyesal. Aku sangat bersyukur. Hingga detik ini." "Aku juga." Rania terharu dengan karangannya sendiri. "Itu hari paling bahagia yang pernah kualami." "Waaahh...." Teman-temannya terlena dibuai cerita palsu oleh pasangan jadi-jadian tersebut. "Duuh.... Romantis banget! Syukurlah, kalian terlihat sangat serasi dan saling mencintai, kuharap bisa langgeng," harap Mustika. "Omong-omong, lagu apa yang kamu nyanyikan untuk Rania?" Galuh penasaran. Sejenak Dirga dan Rania terdiam. Keduanya belum memutuskan mengenai lagunya. Mereka bahkan tidak tahu kebohongan mereka bisa begitu super dan besar seperti yang baru saja mereka utarakan. Dirga menoleh kepada Rania. "Lagu kesukaannya." Pria itu tersenyum. Apa lagu kesukaanmu, Ran? Matanya bertanya. "Ya. Lagu kesukaanku..." Rania balas tersenyum dibuat-buat. Apa sajalah, saat ini kepalaku tidak bisa berpikir. Gadis itu berkedip panik. "Sempurna," cetus Dirga. Menatap Rania dalam, meminta persetujuannya. Rania tersenyum lebar, melingkarkan tangannya di pinggang Dirga. "Sempurna." Keduanya tersenyum penuh isyarat. "Aku sudah lama tidak melihat Rania berbinar-binar begini. Dirga, kamu harus menjaga Rania baik-baik dan membahagiakannya," pesan Dimas. "Aku selalu berusaha setiap hari," jawab Dirga. Tiba-tiba wajah Galuh berubah masam, "Cih! Nenek sihir! Sial, sepertinya dia ke sini!" Perhatian yang lain teralihkan pada satu titik di belakang Rania. Gadis itu baru hendak menoleh saat sebuah seruan terdengar. "Hai!!" Suara yang terasa seperti tetesan air es jatuh ke ubun-ubun. Seketika Rania membeku. "Rania, apa kabar? Sudah lama tidak bertemu." Sasti. Menebar senyum di hadapannya. Seperti yang dia ingat, Sasti tampak cantik dan imut. Gadis itu memang memiliki wajah babyface dan terlihat naif. Matanya bulat dan bibirnya agak mengerucut manja. Sama sekali tidak tampak sifat picik yang dimilikinya. "Akhirnya bisa menyapamu, kamu terlihat sehat," ujarnya dengan sangat ramah dan tampak benar-benar senang melihat Rania. Sasti hanya sendirian. Mungkin Adit masih tidak sanggup mendekati mantan calon isterinya. Tatapan Sasti beralih kepada Dirga. "Kekasihmu?" tanyanya. Sasti lalu mengulurkan tangannya kepada Dirga. Saat itu, Rania berharap sekali Dirga menolak tangan Sasti dan membawanya pergi. Tetapi Dirga menerima uluran tangan itu walaupun tanpa senyum. "Kalian ramai sekali," ujar Sasti manja. "Jadi penasaran sedang membicarakan apa?" Teman-teman Rania memasang wajah malas dan saling melirik berbagi kesal. Sasti memang gadis yang selalu berpura-pura tidak menyadari telah berbuat salah. Selalu punya seribu alasan untuk membela diri. Walaupun demikian, di balik tubuh mungil dan wajah imut itu, sikap tidak tahu malunya luar biasa. Ia tidak peduli walaupun diabaikan atau sudah merusak suasana. Pembawaannya tetap riang seakan tidak ada hal ganjil atau canggung karena kedatangannya. Galuh akhirnya berkata bahwa mereka sedang bercerita bagaimana Rania dan Dirga berakhir menjadi sepasang kekasih—tentu saja, dengan versi yang tadi didengarnya. Rania benar-benar ingin beranjak dari sana, atau meninju wajah Sasti. Sejujurnya, hatinya benar-benar dongkol dan kemarahan itu menyeruak lagi dari dalam dirinya yang terasa begitu sakit dan memenuhi kepalanya. Akan tetapi, Dirga dengan tenang merangkulnya. Ketenangan yang beralih menjadi kekuatan yang ditularkan kepada Rania. Rania masih bisa bertahan di dekat Sasti yang cengengesan tanpa merasa berdosa. Namun ia tidak bisa membuat dirinya bicara atau menanggapi Sasti. Bisa-bisa suaranya yang gemetar akan terdengar atau kemarahan dan rasa kecewa akan kembali mewujud berupa air mata. Seperti tidak puas membuat Rania bungkam, Sasti mengajaknya bicara. "Rania, kamu sibuk apa sekarang setelah dipecat dari pekerjaanmu? Eh, kamu dipecat, 'kan ya?" Sasti menutup mulutnya seperti kelepasan bicara. "Terus sekarang kerja apa?" "Sas, mending kamu bergabung lagi dengan teman-temanmu. Kalau di sini, sepertinya obrolan kita tidak akan nyambung," sambar Mustika kesal. "Tapi aku rindu mengobrol dengan kalian," rajuk Sasti, tanpa menghiraukan kerutan sebal di kening orang-orang di sekitarnya. "Oh ya, aku sudah cerita belum? Aku sebetulnya sudah lama punya ide ini, tapi aku sekarang sedang berpikir sepertinya menyenangkan juga membuka toko bunga. Di mana, ya, kira-kira lokasi yang cocok?" "Apa sih, yang tidak menyenangkan untukmu kalau meniru Rania?" timpal Galuh judes. Sasti memasang wajah terkejut. "Memang Rania punya toko bunga? Aku tidak tahu. Kita sudah lama tidak bertemu, ya, 'kan, Ran? Sungguh, aku sama sekali tidak tahu. Memiliki toko bunga itu salah satu mimpiku dan kurasa baru sekarang aku bisa mewujudkannya." "Oh, ya, jadi 'kembaran' Rania memang hanya kebetulan ya..." Mustika berdecak, tidak bisa menahan diri. "Kebetulan ikut klub yang sama, kebetulan magang di tempat yang sama, hobi sama, selera sama, gaya berpakaian sama, menyukai pria yang sama..." "Kalau yang kalian maksud itu Adit, aku bersumpah dia yang mendekati dan—" "Please, Sas! Semua sudah tahu siapa kamu dan siapa Rania!" serang Mustika. Sementara Rania sedari tadi masih tidak menatap Sasti dan mulai mencengkeram punggung blazer Dirga semakin kuat. Pembicaraan mulai mengarah ke pusat rasa sakitnya. "Sasti," tiba-tiba Dirga buka suara setelah sedari tadi bersama Rania hanya menjadi penonton saja. Suaranya yang tegas membuat gadis yang disebut namanya mendongak. "Dirga, maaf ya, aku tidak bermaksud membuat suasana tidak enak. Sungguh, aku hanya ingin menyapa kalian." Sasti memasang wajah polosnya lagi. Dirga bisa merasakan Rania memberi isyarat di punggungnya untuk tidak menghiraukan Sasti, tetapi Dirga mengabaikannya. "Menurutku, kamu benar-benar gadis luar biasa," katanya tanpa merubah raut wajahnya. "Kamu gadis paling tebal muka yang pernah kutahu. Rasanya sudah jelas tidak ada yang tertarik berramah-tamah denganmu di sini. Bahkan seekor kucing bisa menyadari jika mereka memasuki wilayah yang salah. Kenapa kamu tidak, ya? Apa kamu tidak punya harga diri?" Sasti tergemap, wajahnya pucat. "Dir..." Rania mendesah pelan, meminta Dirga berhenti bicara. Namun sepertinya Dirga tidak harus bicara lagi, karena Sasti juga sudah kehilangan kata-kata. Wajah piasnya berubah memerah marah, dan dia seperti hendak menangis. "Ran, kamu pasti ingat kalau aku sudah melakukan banyak hal untukmu. Aku bersumpah Adit yang mendekatiku—" "Eeh... dia mulai lagi!" Galuh mulai gemas. "Sasti." Akhirnya, Rania menatap gadis yang merebut kekasihnya itu. "Aku tidak mau tahu. Sekarang, aku sudah punya Dirga. Kamu dan Adit sudah bukan urusanku lagi." Rania berhasil mengatakan isi kepalanya. Dengan tenang dan meyakinkan. Sasti menelan ludahnya, menilik satu per satu wajah-wajah di sekelilingnya. Tanpa banyak kata, ia menelan ludahnya dan berbalik pergi. Teman-teman Rania menyeringai lebar kepada satu sama lain dan mulai cekikikan. "Duuuh... puas sekali melihat wajahnya pucat seperti tadi," ujar Mustika. "Kalau dia melihat saat Dirga bernyanyi di bawah jendela untuk Rania, pasti Sasti sudah menarik-narik rambutnya sendiri sampai botak!" Ina ikut kesal. "Sudah," sela Rania. "Tidak usah dibicarakan lagi," pintanya, masih merasa pahit. Tiba-tiba sesuatu merasuki pikiran Dirga. "Tunggu sebentar," ia melepaskan tangannya dari Rania. Dirga beranjak meninggalkan mereka. "Mau ke mana dia?" tanya Galuh. Rania mengangkat kedua bahunya bingung. Dirga beranjak ke sisi panggung, bicara dengan seorang panitia. Lelaki itu lantas naik ke atas panggung. Apa yang hendak dia lakukan? pikir Rania, bingung. Dirga meraih sebuah gitar, duduk di sebuah bangku dan mengatur mic setinggi bibirnya. Jantung Rania tiba-tiba berdebar sangat keras saat memikirkan kemungkinan apa yang hendak lelaki itu lakukan. "Terima kasih untuk waktunya. Lagu ini aku persembahkan untuk seorang gadis yang sudah membawa kebahagiaan ke dalam hidupku. Gadis yang paling berharga. Gadis yang... Sempurna," Dirga menebar senyum memesonanya, "Karaniya Parameswari." Tepuk tangan dan seruan riuh rendah terdengar di seluruh ruangan sementara Rania yang mematung tidak percaya tengah mendapat perhatian total dari sekelilingnya. Lelaki itu mulai memetik gitarnya, memasung tatapan mendebarkan itu kepada gadis yang perlahan melangkah lebih dekat ke arah panggung, seakan terhipnotis, menatap Dirga tidak percaya. "Kau begitu sempurna... di mataku kau begitu indah..." bait-bait lagu 'Sempurna' dari Andra and the Backbone mulai mengalun dari bibir Dirga. Ternyata lelaki itu memiliki suara yang sangat nyaman didengarkan saat menyanyikan lagu tersebut. "Janganlah kau tinggalkan diriku, takkan mampu menghadapi semua. Hanya bersamamu ku akan bisa..." Rania menggigit bibirnya, perasaannya membuncah. Terharu, bahagia. Tersanjung. Ia menyadari semua ini hanya pura-pura. Tetapi tidak mengapa. Sekali ini saja Rania ingin lupa diri. Ingin mengira seluruh rasa dan perhatian Dirga memang hanya untuknya. Semua yang terjadi di sekeliling Rania tidak ia hiraukan. Ia tidak melihat tamu lain yang juga tersentuh, tidak melihat Sasti yang merengek memaksa Adit untuk bernyanyi jika untuknya nanti, dan berakhir Adit yang keluar ruangan serta Sasti yang menyusulnya sambil terus menuntut Adit juga harus menyanyikan sebuah lagu untuknya. Rania hanya menatap Dirga. Dirga seorang. Sebagaimana lelaki itu pun hanya menatap kepadanya. Seluruh imej di sekelilingnya menghilang. Hanya ada mereka berdua sekarang. "Kau adalah darahku... Kau adalah jantungku.... Kau adalah hidupku, lengkapi diriku. Oh, Sayangku kau begitu..." Jari Dirga berhenti memetik, menatap Rania lebih dalam. "Sempurna..." bisik Rania bersamaan dengan nyanyian Dirga. "Sempurna." Kesadaran Rania terusik saat tepuk tangan menggema di sekelilingnya. Ia dan Dirga bertatapan, tersenyum lebar kepada satu sama lain dengan berseri. Dan Rania menyadari, hatinya telah berada dalam genggaman lelaki itu. Sepenuhnya. *** "Sayang sekali aku tidak melihat wajah Sasti saat pergi dari sana," ungkap Rania, saat mobil yang mengantar sudah kian dekat ke rumahnya. "Tapi teman-teman menceritakannya puas sekali." "Baguslah, akhirnya kamu bisa mengalahkannya," Dirga tersenyum simpul. "Ya... mungkin hari ini tidak akan bisa membalas sakit hatimu, tapi setidaknya kau mungkin merasa sedikit lega." "Sangat lega," ungkap Rania, dia menatap Dirga penuh terima kasih. Jika saja lelaki itu tidak menahannya tadi, Rania mungkin akan pulang dalam keadaan kalah dan tersiksa. Dirga mengantar Rania hingga ke depan rumahnya. Ia mengamati rumah sederhana gadis itu yang didominasi warna putih pada pagar dan temboknya. "Kamu tinggal sendirian?" tanyanya. "Iya," jawabnya singkat. Haruskah dia mengundang Dirga masuk? Tapi perjanjiannya... "Terima kasih ya, Mitra," Dirga menyodorkan tangannya. "Kurasa kerja sama kita sudah selesai." Selesai. Rania menelan ludahnya saat menatap telapak itu, lalu menyambutnya. "Terima kasih." Sejenak sepi mengisi di antara mereka lagi. Sebelum dengan canggung keduanya melepaskan tangan satu sama lain. Perkenalan mereka singkat saja, mereka pun sempat bermusuhan dan bertengkar. Tapi, dalam waktu singkat, Dirga sudah jadi orang yang mengetahui sisi terkelam hidupnya, sekaligus menjadi penyelamatnya. "Kurasa aku harus pergi sekarang," Dirga memecah sunyi, menunjuk mobil dengan ibu jarinya. "Kau mau kemana sekarang?" Rania masih enggan melepasnya. "Bandung. Aku masih ada urusan di sana, aku juga ingin bertemu kakakku sebelum dia pergi ke Singapura." "Baiklah," Rania mengangguk. "Terima kasih buat... uhm... bantuanmu, dan... penginapan gratisnya." "Tak usah dibahas lah, bukan apa-apa," tukas lelaki maskulin itu, ringan. "Tapi itu... uhm... sangat berarti... m-maksudku.. aku sangat terbantu." "Kita saling membantu," imbuh Dirga tenang, dengan senyum samar yang hangat. Rania menatap Dirga lekat. "Apa aku... sudah berhasil membantumu? "Doakan saja, oke?" Dirga menukas, seraya memperlihatkan ibu jarinya. "K-kalau kali lain kita bertemu, kau masih bersamanya... Aku akan bongkar semuanya. Lihat saja!" ancam Rania. Dirga menarik satu sudut bibirnya tersenyum, ia lantas permisi dan memasuki mobilnya, untuk kembali ke bandara menuju Bandung. Rania mengamati mobil pria itu hingga menghilang. Sepertinya... Ada sesuatu pada Rania yang sudah dibawanya pergi. Entah kenapa, teringat mereka mungkin tak akan bertemu lagi, hatinya jadi teramat sepi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN