"Nanti, Kak, nanti... dia itu sangat sibuk. Jangankan bertemu Kakak, bertemu aku saja hanya sekali dalam tiga minggu ini," terang Rania pada Renjana di telepon, sembari membuka kunci pintu rumahnya.
Dia tidak mengira bahwa membawa Dirga ke reuni bisa berbuntut panjang. Pasalnya, foto-foto reuni yang diunggah di media sosial oleh teman-temannya juga terlihat oleh kakaknya. Dia langsung menginterogasi Rania saat itu juga, karena tidak memperkenalkan Dirga dan membawanya kepada keluarganya.
Rania benar-benar pusing.
Sejak Dirga mengantarnya pulang, sama sekali tidak ada komunikasi di antara mereka. Sekarang, dia mau bilang sudah putus pada kakaknya, hubungan palsunya baru seumur jagung. Mau dilanjutkan, apa yang harus dilanjutkan? Sementara hubungan mereka tidak pernah benar-benar dimulai.
Beberapa kali Rania sempat melihat nomor kontak Dirga. Hanya karena... ya... dia merindukannya. Tapi, dia mau apa? Kesepakatannya sudah selesai. Lagipula, perasaannya mungkin hanya perasaan naksir biasa. Seiring waktu akan habis dan menghilang sendiri.
Walaupun nyatanya, sudah tiga minggu tidak bertemu, ternyata Rania masih sering ingat padanya. Sepertinya beberapa sel otaknya secara otomatis mengungkit memori pria itu tanpa diminta.
Hhh..." Rania menghela napas berat saat memutus sambungan telepon. Apa yang harus dia lakukan kalau sudah begini?
Rania segera beranjak menyalakan DVD playernya dengan tidak sabar. Tadi dia baru saja menerima rekaman acara reuni tiga minggu yang lalu dari Galuh. Ia bahkan sengaja meninggalkan toko bunganya hanya demi menonton tayangan ini secara private.
Dia tidak bisa bersabar menunggu untuk melihatnya hingga nanti malam. Sesuatu membuatnya ingin sekali segera menontonnya. Yakni kerinduannya kepada pasangannya saat itu, Dirga.
Rania beberapa kali menekan tombol fast forward hingga kemudian tampaklah Dirga yang rupawan, dengan gitarnya. Ternyata mereka mengabadikan momen yang sempat menghebohkan di halaman f*******: alumni kampusnya setelah acara reunian tersebut.
Dirga memetik gitarnya, bernyanyi, dan tampak memesona. Rania ikut tersenyum. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Dia memang sangat merindukan lelaki itu.
Tiga hari bersamanya merupakan salah satu momen paling berkesan. Rania tahu, di hati Dirga hanya ada Padma. Bahkan karena gadis itulah, Dirga mengajaknya bersekongkol membodohi orang-orang di sekeliling mereka. Tetapi rupanya lelaki itu terlalu memesona baginya.
Setelah Dirga pergi dari rumahnya, Rania mulai menangis kehilangan. Sejak detik Rania tidak melihat sosoknya lagi, sejak saat itu hatinya merindu. Rindu tidak berujung. Tidak berbalas. Namun tidak sekalipun Rania berani menghubungi Dirga.
Mereka hanya saling memanfaatkan. Reuni Rania sudah selesai, dan mungkin Padma sudah berlalu bersama Raka ke Singapura. Dirga sudah tidak membutuhkannya lagi. Meninggalkan Rania yang mulai membutuhkan lelaki itu, walau hanya sekadar untuk memuaskan pandangan matanya.
"Oh Sayangku kau begitu..." Rania menatap lekat senyuman Dirga yang maskulin dan sempat membiusnya dalam close-up shoot di layar kaca. "Sempurna..."
Dan hati Rania berayun lagi, terbuai rayuan lelaki itu yang sebetulnya tidaklah ditujukan dengan serius.
"Ternyata, aku tampan juga di depan kamera."
Rania sontak terlonjak dan langsung menoleh. Merasakan dunianya membeku seketika saat ia melihat lelaki menjulang bersetelan yang tampak tampan di hadapannya.
"Dir... ga..." desis Rania tidak percaya. Melongo bodoh. Persis seperti adegan reality show saat penggemar yang sedang duduk bersila di depan televisi karena ingin melihat idolanya sangat dekat lalu tiba-tiba idolanya muncul memberi kejutan.
Rania ingin terpekik, menangis kalau bisa, dan berhambur memeluk lelaki yang imejnya beberapa minggu ini jadi sumber penderitaan Rania karena disiksa rindu.
Tetapi dengan cepat akal sehat gadis itu bercokol di tempatnya. Menyadarkan Rania agar tidak melakukan hal konyol yang tidak semestinya itu.
Rania buru-buru berdiri. "I-ini dvd reuni, baru dikirim tadi!" terangnya cepat.
Dirga tersenyum. Hati Rania langsung meleleh seperti cokelat yang dijemur.
"Kamu terlihat sehat." Suaranya yang membuat jantung Rania semakin salah tingkah terdengar.
Rania mengangguk. "K-kamu juga..." Sepertinya dia mulai lagi jadi Rania si penggagap. "E-eh, kamu... darimana? Eh, ayo, duduk, duduk." Tidak tahu pasti dia harus mulai dari mana.
Dan Rania semakin putus asa pada dirinya saat dilihatnya Dirga yang masih saja tenang dan tidak pernah sekali pun lepas kendali di hadapannya. Pria itu berjalan menuju sofa panjang dan duduk di sana.
"A-aku buatkan minum!" putusnya.
Rania buru-buru beranjak ke dapur sambil berusaha menenangkan diri. Berusaha menguatkan hati.
Jangan gentar. Jangan salah tingkah.
Dia tidak boleh terus menerus terlihat konyol di hadapan lelaki itu. Apalagi, mereka sempat 'dekat' bukan? Tentu tidak berlebihan kalau sekarang Rania bersikap akrab dengannya.
Di dapur, Rania beberapa kali berbisik, latihan bicara sebelum bertanya dengan keras,
"Kamu dari mana? Kenapa memakai singlet?"
Bagus. Suaranya mantap dan lancar! Eh, tunggu dulu! Apa dia barusan bertanya soal...
"Singlet?" seru Dirga heran, yang tengah mengamati ruangan ala mediterania di sekelilingnya yang didonimasi warna putih dan krem. "Singlet apa?"
Aih... bodoh! Rania memukul dahinya sendiri. Seharusnya dia menyimpan khayalannya sendiri saat melihat model Levi's di majalah yang bertopi koboi dan bersinglet, serta sempat membuatnya memikirkan Dirga saat melihatnya.
"S-singlet? Singlet apa?" Seru Rania, mengaduk-aduk sirupnya dengan gelisah hingga terdengar berdenting-denting keras seperti lonceng angin diterpa badai. "Setelan! Jas! Itu yang kutanyakan. Kenapa kamu memakai jas?"
"Oh... Aku dari kantor," terdengar Dirga menyahut. "Aku bekerja di kantor Papa sekarang."
"Oh, begitu?" Rania membawa sirup leci di tangannya, memasang wajah tenang yang dilatihnya di depan p****t panci yang tergantung di dapur tadi. "Ayo minumlah."
Dirga tidak menunggu lama. Ia segera meraih dan meminumnya. Rania mengamatinya, dan tidak sadar melongo lagi. Apakah hanya dia wanita aneh yang berpikir seorang lelaki bisa tampak begitu memukau saat meneguk sirup leci?
"Thanks," ucap Dirga, saat menurunkan kembali gelasnya dan menarik tipis salah satu sudut bibirnya.
Oh Tuhan, ada apa denganku? Dia hanya mengucapkan terima kasih, bukannya melamarku. Rania merasa sepertinya dia semakin kacau saja saat berdekatan dengan Dirga.
Kepalanya tidak bisa berpikir dan jantungnya tidak mau tenang. Matanya tidak bisa berpaling, dan tangannya... ingin sekali menyentuh lelaki itu lagi.
"Jadi kamu memutuskan bekerja di kantor sekarang?" Rania baru berhasil melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan informasi sebelumnya.
Ia menyadari Dirga tampak sangat menawan dengan setelan yang melekat pas di tubuhnya. Selain itu kulitnya lebih cerah dan tampilannya lebih rapi karena sudah tidak sering di lapangan. Tapi rambut gondrongnya tetap bertahan, demikian juga bulu-bulu halus di wajahnya.
"Ya. Selagi sempat, aku mampir ke sini. Tadi aku ke toko bunga. Pegawaimu bilang kamu di rumah, jadi aku ke sini."
Otak Rania bekerja: Tanggapan hambar. Tidak menarik. Jangan terlalu memperlihatkan rasa sukamu atau rasa tertarik berlebihan. Panduan panjang untuk kalimat pendek, "Memang aku di sini."
"Tapi aku tidak bisa lama jadi aku langsung saja."
"Ya, tentu." Bagus. Jawaban biasa saja. Dia akan pergi lagi. Berlalu. Kamu akan lupa kepadanya. Datang lelaki lain, dan Dirga hanya orang yang pernah kamu kenal. Selamat tinggal! Sekali lagi kalimat penenang yang tidak terbukti dalam tiga minggu ini.
"Ran, kamu mau jadi kekasihku?"
"Ya, tentu saja." Nah, kamu sudah bisa menguasai dirimu, Rania. Bagus! Semakin cepat dia menghilang maka semakin... eh! Tunggu, tunggu dulu, tunggu!! Coba direwind! Tadi dia bilang apa... dia bilang...
"HAH!?" Rania melongo. "Apa!?"
Dan Dirga...
Ya ampun! Rania ingin sekali membakar jenggotnya agar sekali saja lelaki itu bisa panik seperti Rania sekarang. Tetapi sekali lagi, lelaki beraroma bergamot dan guaiac itu berkata dengan sangat tenang.
"Jadilah kekasihku lagi, Ran..."
"K-kamu ini bicara apa!!?" Rania terperanjat berdiri. "Kenapa bicara yang tidak-tidak?"
Dirga mendongak, "Kenapa? Kamu sudah punya kekasih sekarang?"
"Belum. Tapi bukan berarti—"
"Sebelumnya kamu sudah jadi kekasihku." Dirga ikut berdiri. "Jadi apa masalahnya?"
"Yang sebelumnya, h-hanya pura-pura, bersekongkol." Raut Rania berubah tidak percaya. Apa mungkin, tiba-tiba Dirga jatuh cinta kepadanya? Memikirkan hal itu...
"Kali ini juga sama," tukas Dirga. Ia kembali duduk, dan menarik lengan Rania, membawa gadis itu bersamanya. "Nanti malam, ada pesta ulang tahun Mama. Awalnya Mama tidak mau merayakannya. Tapi justru Kakak yang menyarankan.
"Dia bilang, belakangan keadaan keluarga mendung karena masalah kesehatannya. Setidaknya, dia berharap pesta ulang tahun Mama bisa memberikan sedikit keceriaan di rumah kami." Dirga menerangkan.
"Mas Raka orang yang baik." Rania menggumam.
"Sangat." Berat. Rania tahu apa yang Dirga pikirkan saat itu.
"Lalu... Mas Raka dan Padma, bagaimana?"
"Mereka masih di Singapura. Operasi kakak berjalan lancar dan sekarang sedang dalam pemulihan. Kakak tidak mau ditinggalkan Padma. Bulan depan mereka baru kembali."
"Lalu, aku? Kenapa kamu perlu aku jadi kekasihmu....?"
"Mama mau kamu juga datang. Papa tidak ada masalah, dia tidak pernah bertanya tentang kamu. Tetapi Mama, dia beberapa kali menanyakanmu. Mama sepertinya menyukaimu."
"Kamu bisa katakan jika hubungan kita telah berakhir!"
Senyap. Diam. Rania mengamati Dirga yang tiba-tiba membisu dengan heran, hingga lelaki itu angkat bicara lagi.
"Kurasa, masih belum aman jika kukatakan kita putus sekarang. Mama akan lebih senang jika aku masih punya kekasih. Setidaknya, kerisauannya karena status single-ku bisa dihilangkan." Dirga menatap meyakinkan. "Mama sangat memikirkan kami anak-anaknya. Dia pasti akan bertanya tentang banyak hal kalau aku katakan kita putus. Padahal, terakhir bertemu katanya kita sangat mesra dan serasi. Aku tidak mau menambah beban pikirannya."
Jadi ini, yang sudah membuat Dirga muncul lagi?
"Tapi Dirgaaa..." Rania membuang satu hembusan napas putus asa. "Kita tidak bisa begini terus. Apa kamu tidak memiliki seseorang yang kamu sukai?"
Andai orang itu Rania, alangkah akan lebih mudah semuanya.
"Jika aku menjadikan orang lain kekasihku, aku sudah berbuat tidak adil kepada gadis itu. Tapi kamu berbeda, kamu tahu situasiku. Hanya kamu yang bisa menjadi kekasihku sekarang."
Rania melipat bibirnya. "Lalu aku bagaimana? Kamu sama sekali tidak memikirkanku?"
"Jika ada lelaki lain yang kamu sukai, kita bisa putus saat itu juga," Dirga meyakinkan.
Rania menelan ludahnya getir. Ia merasa terbuang mendengar perkataan Dirga.
"Aku tidak akan menghalangimu mendapatkan kebahagiaanmu. Dan selama bersamaku, aku akan memperlakukanmu dengan baik."
"Selama bersamamu? Hingga aku punya kekasih? Bukankah kita pura-pura... Hanya untuk malam ini di ulang tahun Mamamu saja?"
Dirga menggeleng. "Rencananya, setelah kakak pulang, akhir bulan depan akan diadakan lamaran resmi pihak keluarga kami ke keluarga Padma. Mungkin kita menjadi kekasih sampai mereka menikah. Atau setidaknya sampai acara lamaran tersebut."
"Kamu... serius?" desis Rania. Dirga mengangguk dan mata Rania membulat.
Terus berada dalam sebuah pusaran kebohongan yang semakin lama semakin besar bukanlah keinginannya. Dia menyukai Dirga lebih dari yang seharusnya? Ya. Tapi terus menerus terikat dalam status palsu? Berbohong? Tidak!
Seandainya sedikit saja Rania memiliki harapan bahwa suatu saat dia bisa menyentuh hati Dirga sebagaimana lelaki itu dengan mudah menggenggam hatinya, mungkin dia tidak akan sesedih ini.
Tetapi terus menerus bersama lelaki yang hanya memandangnya sebagai 'partner in crime?' Lelaki yang sempat kehilangan akal sehatnya karena gadis lain? Yang melakukan segala sesuatu dengan gadis lain bercokol di hati dan kepalanya?
Tapi toh semua argumennya untuk menolak Dirga tidak mampu bertahan. Hanya karena Dirga berkata, "Aku membutuhkanmu, Ran, dan aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Untuk sekarang, ini yang terbaik bagi semua pihak."
Aku membutuhkanmu... Rania mendengus. "Kamu ini! Benar-benar seenaknya sendiri!"
Dirga tidak menyahut, sementara Rania masih berpikir dengan perasaan kacau. Apa yang harus dilakukannya? Seharusnya dia menyudahi ini semua dan segera pergi dari semua kekalutan ini. Tapi... Dia ingat juga dengan tuntutan Renjana yang selalu bertanya perihal Dirga. Mungkin seperti itulah galaunya Dirga terus didesak mamanya.
Lagipula, sesuatu pada diri Dirga terlalu kuat menariknya. Bagaimana pun dia ingin menolak, Rania hanya bisa mengangguk setengah sadar. Menahan luka.
"Baiklah. Tapi persyaratannya masih sama. Kamu harus memperlakukanku sebagai kekasih yang baik. Dan jangan pernah, sekali pun, mempermalukanku apalagi berselingkuh di belakangku! Jika salah satu dari kita jatuh cinta kepada orang lain—"
"Saat itu kita putus," timpal Dirga. "Jika aku sudah menemukan gadis lain, atau kamu menemukan lelaki lain, kita bisa putus. Tidak ada main belakang."
Rania menggigit bibirnya mendengarkan perkataan Dirga yang menghancurkan hati. Jelas pria itu tidak ada niatan lebih selain menjadikannya mitra.
Kenapa dia harus terjepit dalam dua kondisi pahit seperti ini? Terancam patah hati akibat hubungan palsu, serta menaruh harapan hampa kepada lelaki yang mendamba wanita lain.
Sepertinya kisah cinta yang indah, tidak ditakdirkan untuknya.
***