Pagar hitam tinggi dengan penggerak elektronik itu terbuka. SUV yang membawa Dirga dan Rania masuk ke halaman luas kediaman Kamajaya yang bergaya Amerika klasik. Sebuah air mancur besar tiga tingkat tampak indah menghias di depan pintu masuk.
Dirga membimbing Rania menyusuri jalan kecil dari batu alam, yang sisi-sisinya dirimbuni aneka tanaman anthurium. Rania bisa mendengar keriangan dari halaman belakang. Di bagian belakang rumah megah itu, terlihat tenda-tenda berwarna marun dan lampu hias yang cantik. Pesta ulang tahun Nyonya Puspa Kamajaya dirayakan dengan sebuah pesta kebun malam hari.
Ada beberapa puluh orang yang tampak menikmati malam dengan aneka makanan dan minuman di tangan mereka. Seorang artis lawas ibu kota sedang bernyanyi di sebuah panggung kecil. Dirga mengatakan bahwa itu penyanyi favorit ibunya.
Undangan malam itu memang hanya keluarga dan kerabat dekat mereka saja.
Seraya melangkah, Rania yang mengenakan dress maroon, menghitung dalam hatinya. Menenangkan diri, melonggarkan ketegangan yang merayapi tulang punggungnya. Jadi dia akan bertemu keluarga besar Dirga? Sandiwara ini semakin liar saja.
"Kak Dirga!" Gadis cantik berkulit putih dan berlesung pipi melambaikan tangan.
"Itu adikku, Agni," terang Dirga seraya membawa Rania mendekat ke tempat di mana kedua orang tuanya juga berada. Rania mengeratkan pegangannya di lengan Dirga.
"Rania, apa kabar?" Seperti yang dia ingat, Nyonya Puspa masih sangat ramah.
"Baik Tante. Selamat ulang tahun..." Rania menyodorkan buket bunga yang dibawanya.
"Terima kasih, ya..." Nyonya Puspa tampak senang.
"Itu hadiah dari kami berdua, spesial untuk Mama," ungkap Dirga.
"Ya, itu anggrek cymbidium pink yang melambangkan keanggunan, juga Lily putih. Bunga lily putih dalam mitologi Yunani kuno, katanya diciptakan bersamaan dengan galaksi bima sakti. Karena itu, lily putih juga melambangkan sebuah kecantikan abadi. Sementara bunga Statice sebagai lambang keanggunan dan kesuksesan," Rania tersenyum manis. "Kami harap buket ini, bisa mewakili harapan kami untuk Tante."
Mata Nyonya Puspa tampak berbinar kagum. "Memang tidak heran kalau Dirga menyukaimu, ya," gelaknya menyambut pemberian Rania. "Dan anggrek memang favorit Tante. Terima kasih banyak, Sayang."
Tatapan Puspa lantas beralih kepada Dirga. "Ayo kenalkan Rania kepada yang lainnya, dan jangan sampai dia merasa bosan."
Dirga tersenyum dan menyanggupi permintaan itu. Ia memperkenalkan Rania kepada kerabat mereka sebagai kekasihnya. Ada begitu banyak. Rania tersenyum semanis mungkin kepada mereka dan berusaha tidak mencari tahu penilaian mereka terhadapnya. Dan, sekali lagi keduanya harus mengarang mengenai bagaimana mereka berdua jatuh cinta dalam waktu singkat dan sekarang tengah tergila-gila kepada satu sama lain.
Namun Rania juga merasa, tidak sedikit yang tidak menyambut baik kehadirannya. Sepertinya mereka tahu Rania bukanlah gadis dari kalangan mereka. Malahan, ada yang terang-terangan menyebut nama gadis lain di depan Rania.
"Kamu ini bagaimana, sih, Dirga, padahal Dwita yang Tante kenalkan itu cocok sekali loh sama kamu. Dia juga menanyakanmu terus," tukas salah seorang tante Dirga searaya melirik sinis pada Rania.
"Aku sudah mendapatkan yang terbaik, Tante," jawab Dirga tenang sambil melingkarkan tangannya di pinggang pasangannya malam ini.
Rania sangat senang mendengarnya. Diam-diam dia tersenyum senang. Walaupun Dirga bukan mengatakan hal yang sesungguhnya, setidaknya janji Dirga untuk tidak mempermalukannya kali ini ditepati. Bahkan, ia menyanjungnya.
"Aku pernah lihat foto Kak Rania di ponsel Kak Dirga. Padahal Kak Rania sangat cantik, tapi Kak Dirga pelit, hanya diperlihatkan sedikit saja." Agni mencebik kepada kakaknya saat mereka tengah bercengkerama.
Gadis itu sangat ramah dan riang, matanya selalu terlihat seakan tersenyum. Sepertinya Agni gadis yang penuh semangat, terlihat dari caranya yang dengan dinamis bergerak ke sana kemari.
"Kan sudah kubilang, aku tidak suka pamer sesuatu yang berharga milikku, nanti ada yang mau," gurau Dirga, menggoda adiknya.
Agni sekali lagi mencebik sebelum menoleh dan tersenyum kepada Rania dan berbisik, "Tapi ini kali pertamanya Kak Dirga membawa kekasihnya ke acara keluarga, sepertinya dia serius. Sebelumnya hanya kak Padma yang diajak. Itu karena mereka bersahabat dari dulu."
Walaupun tahu itu tidak mungkin, toh wajah Rania merona juga. Dia melirik salah tingkah kepada Dirga sambil menyeringai kikuk. Dirga memencet hidung adiknya yang kemudian protes dan kabur menemui tamu lain.
"Dia memang usil," ujar Dirga. Sisa tawa masih tampak di wajahnya. Rania memalingkan wajahnya sebelum terpesona lebih lama.
Tiba-tiba musik berubah, berganti lagu Kemesraan yang digemari Nyonya Puspa. Beberapa pasangan tampak berdansa.
"Kamu mau berdansa?" ajak Dirga.
"Eh? T-tidak ah," tolak Rania cepat. Dia lalu mencondongkan tubuhnya kepada Dirga dan berbisik, "aku benar-benar masih merasa canggung, nanti aku malah memalukan."
Perkataan itu membuat Dirga tertawa pelan. "Aku juga tidak pandai berdansa," akunya.
Dirga mengamati Rania yang tengah mengedarkan tatapannya sembari menyesap sirup dari gelasnya. Gadis itu lalu menebar senyum sambil terus mengawasi sekelilingnya, tapi Dirga merasa, ada yang berbeda dengan caranya tersenyum, seperti meringis.
"Kamu terlihat gelisah. Ada sesuatu?" tanya Dirga.
"Hm?" Rania menatap dari balik alisnya, pura-pura terkejut akan pertanyaan Dirga.
"Ayolah, ada apa?" Dirga bertanya serius. "Kamu sudah mau pulang?"
Rania tahu ia tidak bisa pura-pura lebih lama. Lagi pula, saat ini Dirga kekasihnya, 'kan?
"Dirga, bisakah kita menyingkir sejenak? Kakiku... sakit," bisiknya pelan.
"Sakit?" Dirga tertegun. "Kenapa?"
"Sepatuku..." Rania menahan ringisannya.
"Kakimu sakit?"
"Sangatt..." rintih Rania.
Ia memang sudah menahannya cukup lama. Sedari tadi dia berjalan ke sana kemari mengenakan sepatu yang jarang dipakainya ini. Rupanya, ini kesalahan fatal karena sekarang kakinya mulai terasa semakin kram dan sakit.
"Tapi aku kan, tidak mungkin membuka sepatuku," keluh gadis itu.
"Ayo masuk dulu," ajak Dirga, menggenggam tangan Rania.
Dia bisa melihat gadis itu berusaha keras bertahan dengan siksaan di kakinya.
Akhirnya Dirga mengajak Rania memasuki rumahnya yang luas mengagumkan, tetapi kali ini cukup membuat Rania menderita karena mencapai pintunya saja terasa begitu lama.
"Adu-du-duh... duh... pelan-pelan..." ringis Rania lirih. Dengan kaki kram seperti ini, rasanya tersiksa sekali. Ia menahan diri untuk tidak meringis terlalu keras dan mempermalukan dirinya di hadapan para tamu. Rania mengeratkan pegangan tangannya untuk menahan sakit.
HUP!! Tiba-tiba saja, Rania melayang dan beralih di gendongan Dirga. Gadis itu sangat terkejut sampai tidak sadar melepas seruan dari bibirnya, saat kedua lengan kokoh Dirga mengangkatnya.
"Dirga...!" sentaknya perlahan, kaget. "Apa yang kamu lakukan?"
Kejadian itu menarik perhatian beberapa orang yang bertanya ada apa.
"Kakinya sedikit terkilir tadi saat turun dari mobil," sahut Dirga enteng. "Direndam dulu sebentar," ujarnya.
"Aduh... iya, iya, istirahat saja dulu ke dalam," dukung Nyonya Puspa, khawatir.
Sementara salah satu tante Dirga ada juga yang berceloteh, " Cari perhatian itu sih!"
Sikap Dirga sangat tenang seakan-akan tidak ada yang salah dengan tindakannya. Sementara Rania benar-benar malu, dengan begitu banyak mata mengarah padanya yang berada dalam gendongan Dirga seperti pengantin baru. Rania bisa merasakan dekapan lengan kuat lelaki itu yang membawanya masuk ke dalam rumah, sementara lengan Rania sendiri merasa nyaman melingkar di punggung Dirga.
"Kamu bisa lepas sepatumu," Dirga berujar saat mereka telah memasuki salah satu ruang duduk dan Dirga menurunkan gadis itu di dekat sofa.
"Hhh..." Rania begitu puas saat sepatu yang menyiksa itu akhirnya lepas. Kedinginan lantai marmer terasa sangat nyaman di kakinya yang panas. Namun karena satu alasan, gadis itu tidak bisa menatap pria di hadapannya. Pandangannya tertumbuk pada d**a Dirga yang kehangatannya sempat ia rasakan tadi.
Dirga lantas meminta Rania menunggu di sofa, sementara dia akan meminta seorang pelayan mengambilkan air hangat untuknya.
"Aku akan ambilkan sesuatu untuk kakimu. Kemarin Mama baru saja memberiku krim herbal dari Singapura."
Akhirnya Rania menatap Dirga segan karena merepotkannya. "Sorry."
Dirga tersenyum simpul, menyentuh perlahan bagian belakang kepala Rania lembut.
"Tidak apa-apa."
Rania mengamati punggung Dirga dengan jantung berdegup. Mendapatkan perhatian lelaki itu benar-benar menyenangkan. Di luar tampilannya yang terkadang tampak dominan, Dirga sebetulnya memang pribadi yang hangat.
Rania menjatuhkan tubuhnya ke sebuah sofa panjang berwarna putih yang sangat empuk. Sekali lagi helaan puas terlontar. Tubuhnya benar-benar nyaman. Berada di dalam pesta itu membuatnya sangat tegang, dan mengenakan sepatu yang salah telah memperparahnya. Selagi menunggu Dirga, Rania mengamati sekeliling rumah megah tersebut dengan matanya.
***
Dirga menuju kamarnya di lantai dua, meraih krim herbal yang dia maksud dari dalam sebuah laci. Tiba-tiba, ia sempat tertegun dan merogoh lebih dalam, mengambil sesuatu. Sebuah kotak beludru kecil. Di dalamnya bertengger selingkar cincin berlian yang sempat dia rencanakan untuk diberikan kepada Padma setahun yang lalu.
Sayangnya, cincin lain melingkar terlebih dahulu di jari Padma. Tidak ada lagi kesempatan untuk cincin ini. Dirga terpekur beberapa saat. Ia lantas membuka sebuah pesan dari Padma belum lama ini dan membacanya: "Aku merindukanmu."
Hanya itu yang tertera di sana.
Dirga mengeratkan rahangnya, berusaha menahan semua emosi di dadanya.
"Kalau semuanya lancar, Raka mau melamar Padma akhir bulan depan," terang mamanya saat kembali dari Singapura. Sebuah alasan yang membuat Dirga dengan tidak tahu diri kembali menghampiri Rania. Ingatan Dirga segera kembali kepada gadis yang saat ini sedang kesakitan kakinya itu. Lelaki itu bergegas memasukkan krim herbal ke dalam sakunya.
"Bagaimana sekarang?" tanya Dirga kepada Rania yang sedang merendam kakinya.
Rania tersenyum lega, "Sudah lebih baik, walaupun masih ada yang sakit."
Dirga meraih handuk dan duduk di samping Rania. "Coba kemarikan kakimu," pintanya, sambil menepuk pahanya sendiri dan meletakkan handuknya di sana.
Kedua alis Rania terlonjak kaget. "Untuk apa?"
"Biar kupijat kakimu agar tidak kram lagi," Dirga mengeluarkan krim herbal.
Kikuk, Rania akhirnya menggeser duduknya, dan mengikuti permintaan Dirga. Diletakkannya kedua kakinya di paha Dirga. Lelaki itu mulai mengeringkan kaki Rania dan mengoleskan sebuah krim ke telapaknya. Sentuhan lelaki itu terasa nyaman sekaligus menegangkan.
Sebuah getaran menjalar cepat ke seluruh tubuh Rania dan berlabuh di jantungnya. Debaran yang tidak pernah benar-benar perlahan saat di dekat Dirga itu, kini mulai liar. Apalagi aroma chamomile dari krim di tangan Dirga, membuatnya semakin terlena.
Rania salah tingkah, melengos, enggan menatap Dirga. Pasti wajahya merona lagi.
"Jangan tegang, Ran. Dilemaskan kakinya. Apa pijatannya terlalu sakit?" tanya Dirga.
Sebal sekali Rania karena ia menderita sendiri, sementara sumber penderitaannya sama sekali tidak merasa. "Tidak." Rania menggeleng. "Kamu pandai memijat."
Dia tidak bohong. Tangan lelaki itu sepertinya tahu benar cara menghilangkan kepenatan kakinya dan merubahnya menjadi sebuah kenikmatan.
"Kamu pikir kenapa Mama membelikanku krim herbal sebagai oleh-oleh?" Dia pura-pura mengeluh.
Rania tertawa. "Kamu sering diminta memijat?"
"Ya, begitulah. Tetapi karena aku sering beraktivitas di luar, Mama memang selalu membelikanku obat-obat seperti ini. Obat pijat, obat luka, obat anti serangga. Macam-macamlah! Sudah kubilang dia sangat memikirkan kebutuhan kami."
"Begitulah seorang ibu." Rania berujar setengah merenung.
Tiba-tiba ia teringat ibunya.
Teringat apa yang telah ia sebabkan setahun lalu. Ibunya juga tidak berhenti menangis saat pernikahannya batal. Dan ketika Rania kembali dari pelariannya, sekali lagi ibunya tergugu karenanya. Rasanya sangat pilu saat menyadari diri adalah sumber beban pikiran seorang ibu.
"Bagaimana sekarang?" tanya Dirga, memecah lamunan Rania.
Gadis itu menggerak-gerakkan kakinya. "Jauh lebih baik. Terima kasih, Mas Dirga."
Dirga tergelak kecil, getaran menyenangkan keluar dari bibirnya. "200 ribu di luar tip."
"Aku ambil paket saja. Seminggu dua kali ya?" timpal Rania seraya menurunkan kakinya.
Dirga segera berlutut, membantu Rania mengenakan sepatu.
"Kuantar pulang sekarang. Bertahanlah sebentar dengan sepatumu ini, karena kakimu lebih besar dari Mama atau Agni. Atau mau menggunakan sandal?"
Ucapan Dirga tidak begitu Rania perhatikan, karena dia mendapati sesuatu di atas sofa yang sepertinya jatuh dari saku Dirga. Rania meraih kotak beludru itu dan membukanya. Matanya melebar seketika mendapati sebuah cincin berlian di sana.
"Dir... ga..." lirihnya.
Dirga mendongak, gerakan tangannya terhenti saat mendapati apa yang berada di tangan gadis itu. Rania mengamati Dirga terkejut, "Ini... milikmu?"
Dirga mengambil kotak itu dari tangan Rania. "Ini..."
"Kak Dirga!! Kakak dicari—" Agni menghambur masuk ke dalam ruangan. Gadis itu terkesiap seketika, mendapati kakaknya yang berlutut di hadapan kekasihnya, sambil memegang sebuah kotak... tempat cincin berlian!
Tatapan Dirga dan Rania sempat beralih kepada Agni yang tampak syok saat menunjuk ke arah mereka dengan satu tangan menutup bibirnya yang melongo. Sepasang kekasih palsu itu kembali saling bertatapan dan sadar ada sebuah kesalahan. Wajah keduanya mulai panik.
"Kak Dirga!! Kakak melamar Kak Rania!?" Agni antusias, berhambur menghampiri.
"Ti-tidak! Bukan begitu!" tangkis Rania cepat.
Tetapi gadis yang pikirannya sudah dipenuhi pendapat sendiri itu tidak memedulikan sangkalan Rania. "Kak! Mama pasti sangat bahagia mendengarnya. Dia bilang, dia sangat senang melihat kalian berdua. Ayo Kak, beritahu yang lain agar kita rayakan bersama!"
Ditariknya tangan pasangan palsu itu keluar rumah. Agni tidak menghiraukan bagaimana pun Dirga dan Rania mengelak. Ia kira keduanya hanya bersikap malu.
"Semuanyaa!!" seru Agni, saat mereka tiba di teras halaman belakang, mencuri perhatian semua orang yang ada di sana. Senyuman Agni terpasang sangat lebar sebelum kembali berseru. "Ada kabar gembira lainnya di hari ini...!"
"E, e, eh, Agni, bukan begitu...! Bukan!" Rania berkilah panik. "Dirga!" Dia meminta mitranya itu bersuara.