Bertunangan??

2055 Kata
"E, e, eh, Agni, bukan begitu..." kilah Rania. "Dirga!" Dia meminta Dirga bersuara. Dirga tidak suka situasinya. Tetapi dia tidak bisa menyangkal telah melamar Rania. Bagaimana pun, dia sudah tertangkap basah membawa cincin dan berlutut di hadapan gadis itu. Jauh lebih baik dia dikira melamar Rania ketimbang terbongkar untuk siapa cincin itu sesungguhnya ditujukan. "Kakak! Ayo, Kak! Katakan, mumpung semuanya ada di sini!" Tidak... jangan... mohon Rania dalam hatinya. Dia tidak mau semuanya terulang lagi. Dia sempat pernah mau menikah dan kandas. Dia tidak mau rasa sakit dan malu yang mencekik itu terulang lagi, walaupun hanya sebuah kepura-puraan. Rasa sakitnya tidak akan jauh berbeda. Mungkin lebih. Tetapi situasinya sudah di luar kendali keduanya. Sekarang mereka telah menarik perhatian semua orang. Rania mendongak, bertatapan dengan Dirga, berbagi kekalutan. Apa yang Dirga lakukan selanjutnya membuat gadis itu terkejut dan semakin terjepit. Lelaki itu kembali mengeluarkan cincinnya, lantas berlutut di hadapan kekasih palsunya. Ia mendapati kaki Rania yang telanjang, sepertinya sepatu yang belum sempat terpasang dengan benar tadi terlepas saat diseret Agni. Mata Rania membelalak, dan orang-orang di sekelilingnya tergemap. Mungkin terharu, atau merasa tidak percaya dalam arti yang tidak bagus. Dirga menelan ludahnya, mempersiapkan diri. "Sebetulnya, tadi Rania belum sempat menjawab," ungkap Dirga, membuka kembali cincin cantik di balik penutup beludru itu. "Jadi kuharap kali ini Rania akan bisa memberikan jawabannya. Rania, aku tidak ingin melalui hariku tanpamu lagi. Menikahlah denganku..." "Waaah..." seru sekelilingnya. Agni terpekik pelan antusias. Tinggallah Rania yang kebingungan. Kenapa semua sampai ke sini? Apakah Dirga memang merencanakan ini semua? Dia bahkan menyiapkan cincin. Tetapi, kenapa lelaki ini sama sekali tidak berkata apa pun mengenai perubahan skenario. Rania menatap Dirga, mencari jawaban. Dia kehilangan pegangan, tidak tahu pasti apa yang harus diucapkannya. Tidak mengerti arti tatapan Dirga kepadanya. Apakah pria itu memohon? Memintanya menjawab ya? Bermain dengannya? Seharusnya, ini momen romantis, atau sakral. Salah satu momen indah yang mungkin dialami seorang wanita. Tetapi Rania tidak merasa begitu. Hampa. Hanya itu yang dirasa. "Rania?" Dirga menggenggam tangan Rania erat. Menanti jawaban. "Ya." Rania mengangguk. "Aku bersedia." Suasana riuh karena jawabannya, namun kedua orang itu sejenak membeku, merasa canggung. Dirga lantas meraih cincin itu, dan memasukkannya ke jari manis Rania. Setidaknya, dia berusaha. Karena, jelas cincin itu kecil di jari Rania. Ia mengetatkan giginya. Jelas sudah, cincin itu memang bukan untuknya. Dan, sepertinya dia tahu, siapa yang ada di kepala Dirga saat lelaki ini membelinya. Rania meringis tipis saat cincin itu dipaksa masuk ke jari manisnya. Setelah akhirnya cincin tersemat, para kerabat bertepuk tangan dan menyelamati mereka. Jadilah hari ini selain merayakan ulang tahun Nyonya Puspa, juga merayakan pertunangan Dirga dan Rania. "Ma, Dirga bukannya mau mencuri momen ulang tahun Mama. Tadi rencananya bukan begini," ungkap lelaki itu sungkan. Tetapi Nyonya Puspa malah tampak sangat bahagia. "Ini mungkin kado terbaik buat Mama malam ini," ujarnya. "Jadi, kapan rencananya Dirga? Apa kamu mau mendahului Raka?" selidik seorang Tante. Rania agak terkejut mendengar kata pernikahan, dia sontak menggeleng dan agak memucat. Dirga pun segera menampik. "Kami belum memikirkan masalah pernikahan atau berniat mendahului Kakak. Aku hanya ingin menunjukkan keseriusanku kepada Rania. Agar orang-orang yang berniat mendekatinya tahu bahwa Rania sudah ada yang memiliki." Sebuah kebohongan lainnya. Himpitan cincin sempit di jari manis Rania, tidak sesakit rasa yang melanda hatinya. *** Bug!! Gadis itu meninju otot lengan Dirga."Sebetulnya, apa itu tadi!?" tuntut Rania, marah. Keduanya tengah dalam perjalanan pulang. "Kenapa kamu, kamu tiba-tiba... uggh!! Susah sekali, sih!!" Ia berusaha keras melepaskan cincin yang melekat kuat di jari manisnya itu. "Jelas-jelas cincin ini bukan untukku! Tanganku tidak sekurus ini!" "Kamu lihat sendiri tadi situasinya. Agni sudah salah paham! Dan... Dia melihat aku, kamu, dan cincin itu," timpal Dirga, tidak kalah frustasi."Aku juga tidak mengira akan jadi sejauh ini. Lagipula, kukira tadi kamu akan menolakku. SEHARUSNYA kamu menolakku." "Hah!?" Rania menoleh gusar pada lelaki yang terus menyeretnya kian jauh. "Kamu-tidak-seharusnya-melamarku!" Ia mendorong-dorong kesal lengan Dirga dengan telunjuknya. "Saat aku melamar, kamu seharusnya menolak. Aku malah lebih terkejut kamu menerima lamarannya." "Hah!? Bagaimana mungkin aku menolakmu, Dirga!?" Jeda seketika. Keduanya kehilangan kata-kata tanpa alasan pasti. "Maksudku, kamu... di situ, di hadapan semua kerabatmu, berlutut di hadapanku. Aku tidak akan tega mempermalukanmu seperti itu." Rania merepet. "Seharusnya kamu tidak melamarku!" tegasnya lagi. "Tapi Agni sudah melihat cincinnya!" Semua kembali pada hal yang sama. "Jika kamu menolaknya akan lebih masuk akal." "Jangan menyalahkanku atas situasi ini, Tuan Abimanyu Dirga Kamajaya! Kamu yang sudah menjerumuskan aku! Jadi di sini, aku, yang seharusnya marah!" suara Rania gemetar emosional. "Lagipula, cincin ini, uukkhh!!!" Ia berusaha menarik cincin itu hingga jarinya memerah. Lantas menoleh lagi geram pada Dirga. "Biar kutebak." Ia mendengus sinis, menunjukan cincin di jarinya. "PAD-MA. Benar 'kan?" Tepat sasaran. Dirga membisu. Raut Rania kian geram. "Aku benci sekali situasi ini!" desisnya, tenggorokannya tercekat. "Kenapa aku harus memakai cincin menyebalkan ini!?" Sekian lama tidak ada tanggapan. Rania terpaku dengan kekesalannya. Ia sudah menyerah melepaskan cincin sialan itu. Jarinya memerah karena memaksa mengeluarkannya dengan hasil nihil. Dirga sendiri tenggelam dalam renungannya. Ia tidak bisa menyalahkan kekasaran Rania. Gadis itu hanya terseret situasi yang tidak mereka kehendaki.. "Tidak perlu turun atau mengatakan apa pun, aku masih kesal!" tukas Rania sebelum beranjak turun dari mobil Dirga. Lelaki itu tidak mendengarkan. Dia ikut turun dari mobilnya dan membanting pintu cukup keras lantas menahan pergelangan Rania saat dia hendak memasuki pagar putih rumahnya. "Tunggu sebentar, Ran!" sergahnya. Rania berbalik, melemparkan tatapan kesal. Dirga menghempaskan napas kasar, tampak berusaha mengendalikan diri dan situasi yang sudah lepas kendali. Tetapi, percuma bukan? "Maafkan aku, oke?" Bukan permintaan. Lebih seperti pernyataan yang harus dituruti. "Ini semua di luar bayanganku. Aku tidak seharusnya melamarmu, dan kamu tidak seharusnya menerimaku. Tetapi, aku sudah melamar dan kamu sudah menerima. Sudah terlanjur." Rania memberikan tatapan agar Dirga berhenti membahas hal itu. "Mungkin sebaiknya kita bicarakan apa yang harus kita lakukan selanjutnya." "Kalau saja, kamu punya keteguhan hati menjauhi Padma tanpa memanfaatkanku, kita tidak akan jadi seperti ini!" "Karena itu aku meminta maaf." Ditatapnya Rania sungguh-sungguh. "Aku akan membalas semua yang telah kamu lakukan untukku." Selalu saja hati Rania seperti spons disiram air jika berhadapan dengan Dirga. Mudah sekali dilunakkan. Rania membuang wajahnya agar tidak perlu menatap Dirga yang selalu mampu meluluhkannya. Jika dia meminta Dirga membalasnya dengan cinta, mampukah lelaki itu memberikannya? Rania tahu jelas jawabannya. Bahkan lelaki itu ada di hadapannya karena dia mencintai gadis lain yang terlarang untuknya. "Kamu berniat menikahinya?" tanya Rania, sekali lagi melirik cincin yang paling dibencinya. "Sebetulnya, hubungan kalian itu... seperti apa?" ia melanjutkan tanya, saat Dirga tak kunjung bersuara. Akhirnya Dirga berkata, "Kami mulai dekat sejak kuliah, tidak ada status, tapi hubungan kami bisa dibilang istimewa. Kami lebih dari sahabat dan sangat dekat. Cincin ini aku maksudkan untuk mengikatnya dan memastikan komitmen kami. Tapi saat itu, Kak Raka lebih dulu melamarnya." Rania mengamati Dirga yang tampak berusaha sebisa mungkin mempertahankan ketenangannya.. "Itu cincin lama, setahun yang lalu. Padma bahkan tidak pernah tahu tentang cincin itu sampai sekarang." "Tapi kamu masih menyimpannya selama ini? Artinya kamu masih mengharapkannya, 'kan?" desak Rania. "Aku tadi baru berniat membuangnya," timpal Dirga. "Dan kamu menemukannya... selanjutnya kamu tahu apa yang terjadi." Rania menghela napasnya. "Terus sekarang harus bagaimana?" Dirga meraih kedua bahu Rania dengan telapaknya yang lebar. "Ran, kita jalani saja seperti ini sebentar lagi... nanti saat yang tepat, kita sudahi. Peraturannya tetap sama. Hanya saja, kali ini, kamu... tunanganku." Tunangan? Urusan ini kian rumit. Apa yang harus dikatakannya pada keluarganya nanti. Aduuhh mimpi buruk jika dia gagal nikah lagi dan mengecewakan keluarganya. "Pikirkanlah aku sekali saja, Dirga. Ini permainan yang tidak menyenangkan lagi. Membohongi keluarga besarmu, pura-pura pacaran, dan sekarang bertunangan. "Sudah cukup satu hubungan penuh kepalsuan dalam hidupku. Aku tidak butuh kamu untuk membuatku mengalami kegagalan pahit lainnya, walaupun hanya sekadar berpura-pura," lirih Rania getir. Ia berusaha sangat keras agar tidak menangis. Ia mendongak menatap Dirga lekat. Selalu tampak tenang dan sangat tampan. Selalu menyenangkan untuk dilihat dan diingat. Tetapi Dirga di luar jangkauannya. Pura-pura memilikinya malah lebih menyakitkan lagi. "Maukah kali ini kamu peduli kepadaku?" Rania melirih. "Biarkan aku berhenti dari permainan ini." Dirga membisu, tidak melontarkan sepatah kata pun. Matanya mengambang gamang, lalu ia menunduk dan menurunkan tangannya dari Rania. Tidak lama berselang sebelum dia membalikkan badan setelah menggumamkan ucapan terima kasih. "Dirga! Cincinnya!" Rania mengingatkan, lalu kembali susah payah berupaya mengeluarkan cincin yang macet di jari manisnya itu. Masih nihil. "Simpan saja, atau kamu buang saja," tukas Dirga. "Sudah kubilang sebelumnya aku memang bermaksud menyingkirkannya." Ada kekelaman yang dalam di mata Dirga yang baru Rania lihat sekarang. Baru kali ini, Rania melihat guratan sendu di wajahnya. Rania menatap punggung lelaki itu lekat, dan seketika itu juga tenggorokannya tercekat. Kenapa dia begitu merasa kehilangan? *** "Ukh!!" Akhirnya. Dengan bantuan sabun, Rania berhasil melepaskan cincin berlian itu. Rania memijat jari manisnya untuk kembali melancarkan peredaran darah yang terhambat. Ia membaringkan diri di atas tempat tidur, mengangkat cincin di tangannya dan meniliknya. Berliannya berkilau sangat cantik. Seketika Rania teringat Dirga lagi. Aku memang bermaksud menyingkirkannya. Saat lelaki itu menghilang dari pandangan, Rania merasakan sebuah kekosongan menyeruak di dasar hatinya. Kekosongan yang sekarang mulai menyakitinya lagi. Tanpa bisa ditahan, mata Rania berkaca-kaca. Lelaki itu sudah membuat Rania sangat menyukainya, hanya untuk kemudian berpisah begitu saja. Tepat sama seperti saat mereka kembali dari reuni kampus Rania. Pergi begitu saja, menyisakan kehampaan yang sangat dalam. Sakit sekali. Seharusnya sejak awal Rania siap. Tetapi apa yang ditakutinya terjadi. Ternyata setelah Dirga pergi lagi, dia masih mengharapkan ia kembali. Masih berharap antara Dirga dan dirinya, dapat memiliki sesuatu yang nyata. Rania menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, mulai terisak. "Ada apa denganku..." ia kesal kepada dirinya sendiri. "Kenapa aku malah berharap dia datang lagi?" Entah kenapa jadi berharap Dirga mengatakan bahwa dia membutuhkannya, berharap dirinya bisa berguna dan melakukan sesuatu yang bisa membahagiakannya. Kenapa dia sekarang semakin bodoh? Lebih bodoh ketimbang saat dia bersama Aditya. Dahulu, dia dibodohi karena tidak tahu Aditya main api dengan gadis lain, sahabatnya sendiri. Tetapi sekarang, sudah jelas hati Dirga masih dikuasai perempuan lain, dan dia malah berharap Dirga kembali berada di sampingnya, walau sekadar memanfaatkannya? Berhentilah jadi gadis bodoh, Ran... Rania mengusap airmatanya kasar. Berhentilah jadi gadis bodoh yang bersedih!! *** Bagaimana mungkin aku menolakmu. Aku tidak akan tega mempermalukanmu seperti itu... Kalau saja, kamu punya keteguhan hati menjauhi Padma tanpa memanfaatkanku, kita tidak akan jadi seperti ini! Pikirkanlah aku sekali saja, Dirga. Maukah kali ini kamu peduli kepadaku.... "Kak Dirga! Hei!" teguran Agni membuat lelaki itu terperanjat. Wajah jahil adiknya tampak di hadapan Dirga. "Melamunkan apa, sih, Kak?" Agni menjengukkan kepalanya ke arah smartphone Dirga yang belum sempat disembunyikannya. "Cieee... yang ingat tunangannya!" celotehnya saat melihat foto Rania yang terpampang di layar smartphone. Agni duduk di samping Dirga, mengelus-elus kucing persia dalam pelukannya. "Duh! Kakak...!" rengeknya, saat Dirga mencubit pipi Agni gemas sebelum menyembunyikan smartponenya walau terlambat. "Bertengkar ya, Kak?" tanyanya usil. "Sok tahu," tukas Dirga, meraih Tirta—kucingnya, dari pelukan Agni dan gantian mengelus-elusnya. Kucing itu tampak manja berdiam di lengan Dirga. "Tahu dong! Habis, dipanggil berkali-kali Kakak diam saja, eh... ternyata..." Dirga tidak menanggapi perkataan adiknya. Dia memang sedang memikirkan Rania. Merasa bersalah telah tanpa sadar menyakiti hati gadis itu karena alasan yang egois. Padahal, Dirga tahu benar apa yang pernah menimpanya. Seharusnya dia tidak memanfaatkan Rania walaupun Dirga merasa hanya gadis itu yang mampu membantunya. Setidaknya, untuk mengingatkan Dirga mengenai batasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, saat hatinya tengah tersesat. Gamang. Tidak punya pegangan. Gadis itu sangat keras hati dan jujur dengan isi kepalanya. Berkali-kali ucapannya menampar Dirga. Namun setidaknya, akalnya yang sempat keruh perlahan-lahan mulai jernih lagi. Hingga dia menyadari, dia sudah memperlakukan Rania dengan cara yang salah. "Kalau pacarnya sedang marah, dirayu dong Kak... jangan dibiarkan saja..." seloroh Agni, saat mendapati Dirga diam saja. "Sepertinya sudah akut, habis Kakak melamun terus." Omongan Agni sama sekali tidak salah. Bahkan di kantornya tadi Dirga beberapa kali kedapatan melamun karena memikirkan masalah ini. "Kalau pacarmu suka dirayu seperti apa?" ejek Dirga. "Huu mau tahu saja!" Agni manyun, lantas cengengesan. "Merayu itu bukan tugas perempuan, tapi laki-laki. Perempuan itu tugasnya ngambek. Laki-laki itu tugasnya merayu!" Dirga tertawa, lantas menoleh kepada adiknya yang manja itu. "Memangnya, kalau perempuan sedang marah, harus dirayu seperti apa?" "Ya... Tergantung... Kak Rania suka dirayu seperti apa?" timpal Agni. "Omong-omong, kenapa sih kalian bertengkar? Baru dilamar, masa sudah bertengkar? Jangan-jangan dia menyesal sudah menerima lamaran Kak Dirga?" "Bocah tidak akan mengerti!" Dirga senyum berrahasia, sembari angkat kaki, meninggalkan Agni yang mencak-mencak sebal karena ejekannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN