"Ada yang memesan bunga sepagi ini?" tanya Rania heran, saat ia mendapati seorang pegawainya tengah membuat buket bunga.
"Iya, tadi pagi sekali pesannya. Toko baru buka, katanya sebentar lagi diambil."
Rania mengangguk-angguk tanpa memberi tanggapan. Ia beranjak ke mejanya, membaca sebuah surat dari pemilik toko yang membuatnya pusing. Pak Wira meminta kenaikan uang sewa untuk perpanjangan kontrak setahun mendatang.
Ia bingung sekali bagaimana jika tidak bisa membayarnya, karena kenaikannya sampai 30 persen! Ia merasa sepertinya Pak Wira mau mengusirnya secara tidak langsung. Sementara usaha toko bunga ini sudah dirintis oleh neneknya lebih dari lima tahun.
Maharani florist sebetulnya memang sebuah rumah satu lantai dengan halaman belakang yang cukup luas untuk membuat rumah kaca sederhana. Agak sulit mencari rumah dengan model yang sama, dengan letak yang cukup strategis. Tapi Pak Wira juga tidak berniat menjualnya. Belum lagi, dia sudah punya langganan yang sering datang ke tempat ini. Bagaimana pun, Rania harus mengusahakan mencari uang untuk membayar sewa.
Tatapan Rania lantas jatuh pada salah satu tagihan macet dari seorang vendor pernikahan, sementara supplier sudah menagih kepadanya dan mengancam tidak akan mensuplai lagi bunga yang diperlukannya jika tidak segera dibayar.
Mendadak saraf di kepala Rania menjerit karenanya. Gadis itu tengah memijat-mijat dahinya ketika bel pintu berkelontang karena ada seseorang yang masuk ke toko.
"Permisi..." suara rendah lelaki itu terdengar.
Gerakan tangan Rania terhenti, perhatiannya langsung tertuju pada sosok jangkung yang mencolok di ambang pintu.
Dirga.
Lelaki itu melangkah ke dalam dengan tenang, membawa karismanya yang sulit ditolak. Seorang pegawai menghampirinya.
"Saya tadi memesan buket bunga atas nama Dirga."
"Oh, ya, sudah disiapkan. Tinggal ditulisi saja kartunya. Sebentar saya ambilkan."
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum tipis berterima kasih. Sepanjang adegan tersebut, Rania tidak menyadari bahwa tatapannya tidak lepas dari Dirga hingga lelaki yang menjadi pusat perhatiannya itu, menoleh dan menatapnya.
Rania gugup, segera menunduk, menulis—tepatnya mencorat-coret sesuatu apa pun yang tergeletak di hadapannya. Saat seperti ini, kelima panca indranya jadi berfungsi maksimal dengan cara yang aneh.
Ia bisa mendengar langkah kaki Dirga yang menuju kepadanya. Semakin dekat, derap jantungnya semakin cepat. Dia mulai bisa melihat bayangan Dirga yang memasuki kapasitas ruang visualnya—walaupun dia menunduk sekarang. Dia juga bisa mencium aroma khas Dirga yang dihapalnya, begitu pekat di hidungnya ketimbang aroma aneka bunga di sekelilingnya.
Dan permukaan kulitnya meremang tegang saat jarak di antar mereka berkurang.
"Ran..." Dan suaranya... Rendah, lembut, tetapi memiliki efek seperti air bah yang menghanyutkan dan menenggelamkan logikanya.
Rania mendongak. Sepertinya rasa takjub dan rindunya sudah menyisihkan sebagian besar kekesalannya.
Perhatian Dirga beralih dari wajah Rania pada kertas di hadapan gadis itu.
"Tinta penamu habis?"
Rania tertegun, menunduk mengamati kertas di hadapannya yang kosong walaupun tadi Rania pura-pura sibuk menulis."Eh... ya, begitulah." Langsung dibuangnya pena sialan itu. Pembicaraan harus segera dialihkan. "Ehm! Kamu... memesan buket?"
"Silakan Mas, ini buketnya," pegawai Rania menyerahkan pesanan Dirga.
"Ya, begitulah." Dirga menyerahkan kartu debit kepada Rania agar mengurus pembayarannya sementara dia menulis pesan dalam kartu—dengan penanya sendiri.
"Buket bunga untuk siapa?" tanya Rania basa-basi, menebar senyum customer service-nya setelah selesai mengurus pembayaran.
Dirga meraih kartunya, berganti menyodorkan buket bunga di tangannya kepada Rania.
"Untukmu."
Rania bengong, dia mengangkat wajahnya bingung, menatap Dirga yang bergeming. Gadis itu lantas menerima buket bunga tersebut dan membaca kartu yang terdapat di sana.
"Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Maafkan aku. A. Dirga Kamajaya."
Emosi Rania tersentuh. Dia tahu lelaki itu tulus dengan ucapannya.
"Bisa kita bicara?" pinta Dirga.
Sejenak menimbang, Rania menyahut, "Sebentar saja. Masih banyak yang harus kukerjakan," putusnya.
"Aku juga harus ke kantor," timpal Dirga.
Rania mengedarkan pandangannya, dan mendapati para pegawainya sesekali melirik kepada mereka dengan tatapan ingin tahu.
"Ikut aku." Rania meletakkan buket bunganya di atas meja, dan membawa Dirga ke halaman belakang di mana terdapat berbagai tanaman dan rumah kaca.
"Aku sudah tidak peka terhadapmu." Dirga bicara dengan halus. Jeda beberapa saat. Sepertinya lelaki yang lebih sering tidak banyak bicara itu tengah memilah benar ucapannya agar tidak menyakiti Rania lagi. "Apa... yang bisa kulakukan agar kamu memaafkanku?"
"Sebelumnya, ada yang ingin kukatakan," Rania berkata. "Aku sudah membuang cincin itu." Diamatinya reaksi Dirga. Kilatan terkejut sempat tampak di wajahnya, sesaat.
Tetapi seperti biasa, dia bisa mengendalikan diri dan menjawab dengan tenang.
"Tidak masalah. Memang itu niatku. Terima kasih sudah melakukannya untukku."
Rania bertanya-tanya. Benarkah itu yang Dirga pikirkan?
"Jadi, bagaimana Ran? Kamu punya permintaan untuk menebus kesalahanku?"
"Entahlah," Rania melengos, membuang wajahnya. "Aku tidak mengerti lagi apa yang harus kulakukan terhadapmu. Pacaran palsu, tunangan palsu..." sejenak gadis itu terdiam. "Semalam ibumu mengirimkan pesan padaku. Di samping berterima kasih, katanya dia mau mengundang keluargaku makan malam kapan-kapan."
Rania mendongak, menatap pasrah. "Aku bingung sekali, Dirga... Kakakku juga terus bertanya kapan aku memperkenalkanmu pada keluargaku. Ini... ini sudah bukan hanya soal kita lagi. Kebohongannya sudah semakin besar, keluargamu, keluargaku..." gadis itu mulai kalut, tanpa sadar menggigit ujung kuku ibu jarinya.
"Tidak perlu memikirkan masalah itu lagi," Dirga berusaha menenangkan. "Sekarang aku akan memenuhi permintaanmu agar kamu memaafkan aku. Setelah itu, semuanya selesai."
Alis Rania terlonjak, dengan cepat ia menoleh kembali kepada Dirga. "Selesai?"
"Ya. Tidak ada lagi kepura-puraan. Kamu benar, aku sudah melibatkanmu terlalu jauh, dan menyulitkanmu dengan hal-hal yang tidak seharusnya. Jadi, tidak perlu merisaukan masalah itu lagi. Aku hanya ingin tahu cara menebus kesalahanku. Setelah itu... kamu bebas, Ran."
Rania menatap buket bunga pemberian Dirga. Kamu bebas Ran.... Bukankah ini yang diinginkannya? Yang ia pikir diinginkannya? Kembali kepada kenyataan. Tetapi kenapa, rasanya berat sekali.
"Kamu tidak perlu melakukan apa-apa," ungkap Rania. "Ini sudah cukup."
Dirga bisa melihat gadis itu sudah tidak ingin berurusan apa-apa lagi dengannya. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, saat ponsel Rania berbunyi.
"Sebentar," gadis itu mengangkat ponselnya."Iya Pak Janu, saya paham... tolong ditunggu ya Pak, paling lambat sekitar 2 minggu? Tolong ya Pak, karena saya juga belum menerima pembayaran. Maaf ya Pak, maaaafff... sekali, saya usahakan Pak, kalau sudah ada pasti saya bayar secepatnya. Selama ini saya 'kan sudah sering ambil bunga impor dari Bapak, dan semuanya lancar."
Dirga bisa memastikan bahwa orang di telepon itu sepertinya marah-marah, karena suaranya terdengar cukup kencang dari speaker ponsel Rania. Ia bisa mendengar pria yang bernama Janu itu mengancam tidak akan mensuplai lagi keperluan Rania sebelum semua tagihan dilunasi. Kesal juga Dirga menyadari ada yang membentak-bentak tunangan palsunya seperti itu.
Rania menghembuskan napas putus asa saat menutup sambungannya. Sedetik kemudian dia baru menyadari Dirga tengah mengamatinya saat tatapan mereka kembali bersirobok.
"Suppliermu?" tanyanya. "Ada masalah?"
"Ah, itu..." jeda sebentar, Rania menggeleng. "Tidak apa-apa, kok, tidak ada apa-apa."
"Berapa?" todong Dirga.
"Hm?" Rania tertegun. "Apanya?"
"Yang harus kau bayar pada suppliermu?"
Wajah gadis itu menegas. "Itu bukan urusanmu, 'kan?"
"Kalau kamu perlu—"
"Tidak! Aku tidak perlu apapun darimu!" tukasnya cepat, menatap tajam. "Sekarang aku masih banyak pekerjaan. Pulanglah."
"Ran... kamu tidak perlu sungkan, aku bisa—"
"Aku tahu kamu bisa, Dirga! Tapi aku bukan sungkan, aku tidak mau! Kamu bisa 'kan, mendengarkan aku sekali ini? Kalau aku bilang tidak mau, artinya aku tidak mau!"
Dirga menatap gadis keras kepala itu, menyerah.
"Baiklah, kalau memang begitu. Aku juga harus pergi sekarang," pamit Dirga akhirnya. "Kali lain kalau kau..."
"Tidak ada kali lain," Rania memotong tajam. "A-ada banyak hal yang harus aku kerjakan."
Lelaki itu mengangguk-angguk mengerti. Sepertinya Rania masih marah kepadanya?
"Baiklah, Ran... Aku permisi."
Rania mengangguk, dan menunduk, tidak ingin lagi menatap Dirga agar keputusanya tidak goyah. Dirga kembali masuk ke dalam toko untuk menuju pintu depan. Sebelum Rania mendengar mobil lelaki itu berlalu pergi.
Gadis itu menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan airmatanya agar tidak jatuh lagi. Sebelumnya dia baik-baik saja tanpa Dirga. Kali ini dia juga akan baik-baik saja tanpa pria itu. Rania meraih kembali buket bunga dari Dirga dan didekapnya erat. Air matanya, menetes juga.
***
"Kakak baru saja bayar uang masuk sekolah buat Gendis dan Gilang, serta membayar beberapa vendor," sesal Renjana, saat adiknya itu datang ke galeri wedding organizernya. Rania memberanikan diri datang untuk meminjam uang kepada kakaknya tersebut.
"Bisa sih, aku gunakan uang untuk membayar sewa terlebih dulu. Tapi, kurangnya masih banyak karena Pak Wira minta kenaikan harga sewa yang tidak masuk akal, mana tinggal beberapa hari lagi," keluh Rania. "Aku bingung harus bagaimana..."
"Coba nanti aku carikan," Renjana berusaha menenangkan. "Kalau saja, Raka Kamajaya itu jadi menikah, kami sudah dapat penghasilan yang sangat lumayan," ujarnya.
Kamajaya. Segera saja Rania ingat sosok Dirga. Sepertinya, demikian juga dengan Renjana.
"Ran, bagaimana kalau kamu coba hubungi kekasihmu itu, siapa tahu dia bisa membantu. Uang segitu sepertinya bukan masalah untuknya."
"Ah, pokoknya aku tidak mau melibatkan dia dengan masalahku, aku bisa menyelesaikannya sendiri," tegas Rania.
"Terus, kapan kamu akan memperkenalkan dia? Apa kamu gengsi dengan keadaan keluarga kita?" selidik Renjana.
"Kok Kakak bicara seperti itu? Aku tidak pernah gengsi dengan keadaan kita. Hanya belum ada waktu Kak, lagipula—
"Pacaran kok sebula hanya ketemu sekali, seperti bulan purnama saja. Padahal kalian masih sama-sama di Jakarta."
Rania agak kikuk karenanya. Ia memang selalu menyembunyikan semua hal tentang hubungannya dan Dirga. Sudah kesepakatan mereka, bahwa hubungan palsu itu hanya rahasia mereka berdua. Rania pun pusing mencari cara nanti mengungkapkan alasannya putus dari Dirga. Tapi itu masalah yang bisa menunggu. Sekarang dia harus fokus dengan kelangsungan hidup toko bunganya.
Untunglah, ponselnya berbunyi. Sehingga Rania tidak perlu menanggapi keluhan Renjana yang merasa tidak dianggap.
Setidaknya, awalnya Rania mengira dia beruntung.
"Ran, aku kan minta lily of the valley, kenapa yang datang bunga lily?" Ajeng, salah satu kliennya dari studio foto terdengar kesal.
Rania tertegun. Aduh, sepertinya dia sudah benar-benar kacau belakangan ini.
"Lily of the valley, ya?"
"Iya. Kamu bilang waktu itu ada 'kan? Kamu lupa atau bagaimana?"
"Iya, sorry, sorry.... Maaf, ya, Ajeng, paling lambat besok pagi sudah ada. Maaf ya, maaf..."
Entah sudah berapa kali dalam dua hari ini Rania minta maaf. Terlalu banyak memikirkan masalah toko dan Dirga, membuatnya jadi sering melamun dan ceroboh.
"Kamu salah kirim bunga?"
"Iya, aku lupa dia pesan lily lembah, aku malah kirim lily."
"Terus bagaimana?" tanya Renjana. "Apa perlu aku tanyakan pada pemilik toko bunga kenalanku?"
Rania menghela napas berat. "Bunga itu sangat sulit didapatkan, Kak, dan harus sudah diterima besok. Tapi aku tahu siapa yang punya," ungkap Rania. Pak Janu, supplier bunga-bunga impornya. Hhh... Rania menghela napas. Sepertinya, dia terpaksa menggunakan dulu sebagian uang simpanan pembayaran sewa toko untuk melunasi tagihannya.
Rania menekan nomor Pak Janu.
"Halo, selamat siang Pak."
"Eh, Mbak Rania..." sambutan hangat Pak Janu mengejutkan Rania. "Ada apa, Mbak? Mau pesan bunga lagi?" tanyanya.
"Iya, Pak... Apa bunga lily lembah untuk besok?"
"Ya, ada, ada."
"Tapi, pembayarannya, saya... belum bisa lunasi yang sebelumnya, mungkin—"
"Oh, masalah itu sudah selesai,'kan sudah dibayar Pak Dirga."
Rania terperanjat. Sudah dibayar Pak Dirga?
"Dirga... Dirga...?" pertanyaan Rania menggantung.
"Pak Dirga Kamajaya," Pak Janu memutus keraguan Rania. "Kok, Mbak tidak pernah bilang, kenal dekat dengan Pak Dirga? Maaf ya, kalau saya kemarin marah-marah, maklum... saya kan..." Gadis itu sudah tidak mendengarkan lagi ucapan Pak Janu.
Sekarang dia jengkel bukan main. Bagaimana bisa dia masih saja ikut campur urusannya Jadi, sekarang Rania berutang kepada Dirga?
Gadis itu berusaha menghubungi lelaki tersebut beberapa kali, tapi tidak diangkat. Dengan kesal dijejalkannya ponsel ke dalam tas tak berdosa.
"Hei, mau kemana, Ran?" tanya Renjana, melihat adik perempuannya tampak geram dan beranjak meninggalkan sofa.
"Aku ada urusan, Kak, nanti kita bicara lagi!" tukas Rania, meraih tas ransel hitamnya, menuju keluar untuk menaiki motornya.
***