Terlalu Marah

1673 Kata
Padma mengamati ponselnya dengan gelisah. Dirga tak lagi membalas pesannya, tak lagi menghiraukan sapaannya. Tiba-tiba saja ada kabar lelaki yang dicintainya itu melamar kekasih resminya. Rasanya benar-benar seperti tersambar petir saat Padma mendengar kabar tersebut dari Raka. Tak terhitung berapa waktu yang Padma habiskan diam-diam menangisi Dirga setelahnya. Ia tak mengira lelaki itu sudah benar-benar berubah. Dirga, laki-laki yang tak pernah menarik perhatian yang tidak perlu, tidak pernah sembrono, sedikit tidak acuh, menyukai kebebasan, tiba-tiba melamar gadis yang baru dipacarinya beberapa minggu di hadapan keluarga besarnya? Apa yang menyebabkan ini semua? Kenapa? Kedekatan mereka bertahun-tahun bahkan tidak pernah Dirga kukuhkan dengan status pasti. Tapi gadis itu... Apa yang gadis itu miliki dan kenapa Dirga terburu-buru melamarnya dengan cara berlebihan seperti itu? Padma mengintip ke balik pintu geser kamar rawat Raka. Calon suaminya itu sedang beristirahat, matanya terpejam. Tengah pemulihan sebelum energinya cukup kuat untuk menempuh perjalanan kembali ke Jakarta. Perlahan Padma menggeser pintu kamar Raka agar tertutup, dan beranjak ke sofa di ruang duduk. Ia lantas mengeluarkan ponsel dan mulai mencoba menghubungi Dirga. Terdengar nada panggil beberapa saat, Padma melipat bibirnya gelisah, dan jemarinya tampak meremas-remas penuh harap. "Tolong angkat Dirga..." harapnya. Permohonanya terkabul. "Halo, Padma, ada apa?" tanya Dirga tanpa basa-basi dan terdengar panik. "Dir-ga..." "Ada apa? Apakah ada sesuatu dengan Kak Raka?" "Mas Raka baik-baik saja." Hempasan napas lega dari Dirga menyapa telinga Padma. "Lantas ada apa?" "Dirga... apa benar kamu melamar Rania? Kenapa? Kenapa tiba-tiba? Apa kamu benar-benar mencintainya sebesar itu??" Jarang-jarang Padma terdengar mendesak seperti ini. "Benar." "Bohong. Ini seperti bukan kamu." "Setiap orang bisa berubah." 'Tapi kamu..." Padma tak sanggup. Air mata mewakili perkataannya. "Dirga..." ia menghiba. "Maaf aku harus pergi," potong Dirga. "Rania sudah menungguku." "Dirga, jangan tinggalkan aku... Aku sangat mencintaimu." "Aku harus pergi." Itu saja, dan sambungan terputus. Rasanya, sesaat napas Padma ikut terputus. Seketika itu juga air matanya kian deras. Padma menutup bibirnya, khawatir tangisnya terdengar Raka. Dia tak akan sanggup. Rasanya tak akan pernah sanggup melihat Dirga dengan gadis lain. *** "Kamu kenapa?" tanya Raka, saat melihat Padma masuk ke kamar setelah seorang perawat pria selesai membantunya berganti pakaian. Walaupun berusaha disembunyikan, Raka yang sensitif bisa melihat bahwa tunangannya itu terlihat sembab, jejak tangis yang jelas di raut sendunya. "Tidak apa-apa, Mas, sekarang Mas istirahat dulu, Ibu sudah di pesawat mau ke sini," terangnya. Raka menangkap tangan Padma. "Kalau ada yang kamu pikirkan, bilang..." "Aku hanya rindu, ingat yang di rumah," elak Padma. Tiba-tiba gadis itu seperti menemukan alasan. "Mas... aku boleh pulang dulu sebentar?" "Kamu bosan menemaniku?' "B-bukan begitu, Mas..." "Padma, apa kamu menyesal sudah menerima lamaranku? Sementara sekarang aku sakit-sakitan begini?" Lekas Padma menggeleng. "Mas jangan bicara seperti itu. Aku tidak bermaksud begitu." Gadis itu menepuk lembut telapak Raka. "Maaf ya, Mas... Aku tidak bermaksud membuat Mas khawatir. Operasi Mas sudah sukses, tinggal pemulihan saja. Nanti kita bisa pulang sama-sama dan Mas sehat lagi seperti dulu. Sekarang Mas jangan banyak pikiran. Istirahat dulu ya." Dirapikannya selimut calon suaminya itu sebelum lembut dikecup keningnya. Padma lantas permisi meninggalkan ruang tidur VVIP suite salah satu rumah sakit bergengsi itu. Raka hanya mengamati punggung letih Padma, dan menghela napasnya berat. *** Dirga memasang ponselnya dalam mode silent. Perasaan gelisahnya datang lagi karena berbicara dengan Padma. Jelas sekali gadis itu tampak tak berniat berhenti mengejarnya. Jarang terjadi, tapi Dirga mula takut. Takut pendiriannya runtuh sebelum benar-benar kukuh. Ia bahkan harus sekali lagi meminjam nama Rania untuk menghindarinya. Menolak Padma berkali-kali akan terlalu menyakitkan hati bagi gadis tersebut. Tiba-tiba pikirannya berlari lagi menuju Rania. Rasanya lebih mudah jika gadis itu bisa sebentar lagi bertahan di sisinya. Namun ingatannya kembali mengungkit pada wajah memelasnya yang letih dimanfaatkan. Dirga menghela napas berat, meraih sebuah dokumen di atas meja. Rencana pengembangan perusahaan di New Zealand. Belum diputuskan siapa yang akan memegangnya. Dirga mulai berpikir untuk melakukannya, atau setidaknya berkontribusi di sana. Mungkin ini bisa jadi pelariannya yang sempurna. Dirga beranjak keluar kantor saat sekretarisnya mengingatkan sesi kedua rapat akan segera dimulai. *** Setelah lebih dari 40 menit menempuh jalanan Jakarta yang macet dengan motornya, Rania tiba juga di Kamajaya Squre. Seorang satpam menyapanya saat ia baru saja melewati pagar. "Mau mencari siapa?" tanyanya, sembari mengamati Rania yang tampak santai dengan kaos bersablon bunga chamomile, jaket dan jeansnya. Tidak tampak seperti salah satu pekerja di sana. "Dirga di mana ya?" tanyanya. "Dirga siapa? Perusahaan apa? Tower apa?" Duh, Rania mana hapal soal itu semua. Dia tidak pernah mengunjungi Dirga atau mendapat pengetahuan sebanyak itu soal pekerjaan tunangan palsunya. Terakhir Dirga hanya berkata dia sekarang berkantor di kantor pusat perusahaan keluarganya di Jakarta. "Dirga Kamajaya, putra Pak Bayu Kamajaya, adiknya Raka Kamajaya," terang Rania tidak sabar. Satpam itu tertegun. Tapi silsilah keluarga pengusaha 'kan mudah saja dicari informasinya. "Pak Direktur Dirga? Beliau tidak bisa ditemui sembarangan. Kalau mau menawarkan kerjasama atau mencari pekerjaan, lebih baik kirimkan saja lewat email untuk proposal atau lamarannya." "Bukan! Aku ada urusan pribadi dengannya! Aku sudah meneleponnya tapi tidak diangkat." Sekali lagi satpam itu mengamati Rania sangsi. "Kalau memang mengenalnya, sebaiknya ditelepon dulu. Percuma Mbak masuk ke dalam, resepsionis juga tidak akan mengijinkan menemui Pak Dirga jika tidak ada konfirmasi dari beliau atau sekretasinya bahwa Mbak sudah ada janji," terang si satpam, masih tampak meragukan keaslian informasinya. "Minimal Mbak harus tahu dulu beliau di gedung apa dan lantai berapa." Rania menghela napas letih. "Tolonglah Pak, saya benar-benar perlu bertemu dengannya. Kalau tidak, adik saya bisa meninggal." "Hah!??" Pak Satpam sangat terkejut. "Meninggal?" "Iya, dia sudah janji mau membantu transplantasi hati adik saya, sedang ditunggu di rumah sakit. Tapi tidak datang-datang, tolong Pak, ini penting sekali," Rania lantas membuka galeri ponselnya. Memperlihatkan foto dia dan Dirga saat di acara reuni. "Ini, saya tidak bohong kalau saya kenal dia." Akhirnya Pak Satpam tidak punya pilihan, apalagi ada tamu lain yang juga menghampiri. "Kalau begitu, silahkan ke menara timur. Di belakang gedung yang itu. Nanti bicara lagi saja dengan resepsionisnya. Agar dibantu di sana." "Terima kasih, Pak," gadis itu menghemat waktu dan segera menjalankan lagi motornya ke dalam area gedung. *** Rania memasuki gedung menara timur yang mewah sambil celingukan. Suasananya cukup ramai, ada banyak pegawai tampak berlalu lalang. Mereka semuanya mengenakan pakaian kantor, setidaknya kemeja yang rapi. Gadis itu baru menyadari bahwa dia benar-benar salah kostum, apalagi beberapa orang ada yang mengernyitkan alisnya secara otomatis saat melihatnya. Gadis itu mengibaskan rambut ikalnya yang terkuncir berantakan dan mengangkat dagunya, melangkah mendekati resepsionis. "Saya mau bertemu Pak Dirga Kamajaya." Dua orang resepsionis itu saling memandang. "Ada keperluan apa?" Lagi-lagi. Terbiasa bertemu dengan mudah, dia tidak pernah mengira menemui Dirga bisa sesulit itu. "Saya ada urusan pribadi." "Sudah ada janji?" Dan dialog itu terulang lagi, mereka benar-benar tidak memberikan ijin bertemu Dirga jika tidak memiliki janji terlebih dahulu. Apalagi, saat dikonfirmasi, sekretaris Dirga juga menolak mengakui bahwa atasannya mengenal gadis itu. Sementara Dirga sendiri masih berkutat dengan rapat. Bualan Rania tentang adik jadi-jadiannya yang memerlukan transplantasi juga tidak berhasil meyakinkan mereka. Keduanya malah memandang Rania seakan-akan gadis itu mengalami gangguan. "Maaf, kecuali Mbak benar-benar mengenal Pak Dirga, kami tidak bisa memberikan kartu akses liftnya. Silahkan ditelpon dulu saja, untuk konfirmasi." Resepsionis itu mulai terdengar sinis, menunjukkan keraguannya pada pengakuan Rania. Ughhh!! Suasana hatinya yang sudah geram tambah geram. "Kalian pikir aku bohong!? Buat apa aku mengaku-ngaku mengenalnya kalau tidak kenal? Lihat nih, lihat!" Dibukanya kembali galeri ponselnya. Jemari Rania bergerak gusar menggeser-geser layar sentuh. Memperlihatkan beberapa foto kebersamaannya dan Dirga. Kembali kedua resepsionis itu saling melirik. "Maaf, kami tidak bisa memberi akses jika..." mereka mulai terdengar seperti robot, sampai tak sengaja layar ponsel Rania menunjukkan fotonya saat dilamar Dirga pada saat ulang tahun Puspa. "Eh? Foto apa itu?" keduanya tertegun heran. Rania tak kalah kaget, disembunyikannya foto tersebut sesegera mungkin. Tapi sepertinya terlambat, reaksi resepsionis tersebut di luar dugaan. Mereka tertawa geli. "Ya ampun Mbak... berkhayal boleh saja, tapi jangan terlalu jauh." "Masa foto Pak Dirga diedit sampai seperti itu." "Kalau Pak Direktur tunangan, kami pasti tahu." "HAH!?" Rania sempat kehabisan kata-kata saat melihat kedua resepsionis menahan cekikikannya. "A-aku tidak mengaku-ngaku! Apa kalian tidak bisa lihat? Ini foto asli bukan editan! Aku memang mengenalnya!" "Jadi kalian bertunangan?" sindir yang satu. "Tunangannya Pak Dirga?" yang lain tak kalah nyinyir. "A-aku! Aku...!" Pergulatan Rania tampak jelas di wajah kalutnya."A-aku..." "Tunangannya Pak Dirga bukan?" desak mereka, terdengar seakan hendak mempermalukan Rania. "Iya, dia tunanganku!" Ungkap Rania dan Dirga bersamaan. Hampir saja jantung Rania lepas mendengar suara yang satunya. Dia dan kedua resepsionis, juga beberapa orang di sana yang tampaknya mengamati perdebatan mereka, sontak menoleh kepada Dirga yang muncul tiba-tiba. "E-eh, Pak..." Kedua resepsionis membungkuk hormat, Dirga tak menghiraukan mereka. "Kamu mencariku?" tanyanya pada Rania. Rania yang awalnya kikuk, mendadak ingat lagi urusannya yang tertunda. "Kamu!" Bug! Rania memukul keras lengan Dirga. Bersamaan dengan itu, orang-orang di sekelilingnya terkesiap, sementara Dirga tenang saja. "Kenapa kamu mencampuri urusanku!? Aku tahu kamu punya banyak uang, tapi bukan berarti kamu bisa membeli harga diriku, tahu!? Kenapa kamu tidak mengerti—" Ucapan Rania terputus, saat Dirga tiba-tiba meraih pergelangan tangan gadis itu dan menyeretnya tanpa kata. "H-hei, kamu mau membawaku kemana!? Dirga! Dir!?" Lelaki itu tak menghiraukan, membawa tunangannya ke area lift sambil menghubungi sekretarisnya. "Anggun, saya mau menggunakan ruang meeting 5, tolong dibooked." Rania masih susah payah berusaha melepaskan tangannya dari lelaki jangkung itu, tetap genggamannya terlalu erat. Tubuhnya pun agak terseret saat Dirga membawanya masuk ke dalam lift. "Lepaskaan!!" erangnya, berusaha memuntir-muntir pergelangan, tapi genggaman lelaki itu terlalu kuat. "Diam," kata Dirga, tenang dan tegas. "Aku lepaskan kalau kamu berhenti marah-marah." "Tapi aku ke sini mau marah-marah!! Karena kamu—" "Kamu bisa marah-marah nanti," tanggap Dirga, "tapi sekarang, diam." Rania melirik sembari mendengus, tapi akhirnya, dia jadi menurut tanpa dikehendaki. Dirga pun melepaskan pergelangan tangan gadis itu. Rania meringis tipis sembari mengusap-usap pergelangannya. "Sakit, tahu!" "Kalau tidak berontak, tidak akan sakit begitu." "Sudah diam!" Rania melotot kesal kepada pria jangkung itu. "Jadi kamu yang mengoceh..." gerutunya. Kedua alis Dirga berkedut tinggi. Pria itu lalu mendengus, tersenyum miring sambil menggelengkan kecil kepalanya. Gadis itu benar-benar uring-uringan. Lift terbuka di lantai 19, kaki panjang Dirga melangkah mantap keluar dari lift, sementara Rania mengikutinya ragu-ragu, merasa canggung. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN