Lift terbuka di lantai 19, kaki panjang Dirga melangkah mantap keluar dari lift, sementara Rania mengikutinya ragu-ragu, merasa canggung.
Setiap orang yang berpapasan tampak menganggukkan kepalanya kepada Dirga, dan melemparkan tatapan heran pada gadis yang mengikutinya. Rania menyadari sebagian karyawan wanitanya bahkan ada yang saling sikut setelah Dirga melewatinya sembari melirik mengamati gadis itu seakan memberi penilaian. Ada apa? Apakah karena pakaiannya?
"Ruang meetingnya sudah disiapkan, Pak," sekretaris Dirga, Anggun, wanita cantik awal 30-an, tampak menghampiri. "Tapi tadi Pak Bayu minta Bapak ke ruangannya, katanya mau membicarakan soal masalah New Zealand."
Dirga mengangguk, lalu menoleh pada Rania. "Kamu ikut dulu dengan Anggun, nanti aku menyusul."
Rania mengikuti Anggun menuju ruangan yang dimaksud. Tapi, belum jauh dia melangkah, gadis itu bisa mendengar bisik-bisik di belakangnya.
"Itu, tadi, yang katanya tunangan Pak Dirga!? Ah, ngaco... salah kali."
"Orang mereka mengaku sendiri katanya. Yang di bawah tadi kan banyak saksi!"
Anggun menoleh sedikit untuk menegur dengan lirikannya. Dia sendiri tidak terkejut, sepertinya sudah mendengar juga mengenai kabar itu. Malahan Rania yang syok dan terkaget karenanya. Cepat sekali gosipnya beredar, lebih cepat dari laju lift! Gadis itu jadi merasa gelisah.
Sekretaris Dirga membawa Rania memasuki sebuah ruang meeting tertutup yang tidak begitu besar. Sebuah meja bundar dengan lima kursi dan whiteboard serta proyektor ada di sana.
"Tunggu sebentar ya Bu, sepertinya Pak Dirga tidak akan lama. Mau minum apa?" tawarnya ramah.
Rania menatap resah, lalu menggeleng. Dia masih memikirkan fakta bahwa dia sudah menjadi bahan gosip di kantor Dirga.
Anggun keluar dari ruang meeting lima, dan langsung ditarik karyawati lainnya.
"Bu, Bu Anggun! Apa benar itu tadi tunangannya Pak Dirga!?'
"Jadi rumor kalau Pak Dirga sudah tunangan itu memang benar?"
"Tapi kok biasa saja ya? Kukira Pak Dirga sukanya yang bagaimana... Kalau begitu sepertinya aku juga masih punya harapan."
"Cantik tahu, hanya sedang tidak dandan saja sepertinya..."
"Rambutnya ampun... di-smoothing apa tidak bisa? Bajunya juga..."
Diam-diam Rania mendengarkan dari balik pintu. Dia benar-benar sudah jadi bahan gosip di kantor Dirga! Gadis itu lantas menyentuh rambut ikalnya yang berantakan, beberapa lolos dari kuncirnya, dan ia selipkan di balik telinga. Ia lalu merapikan pakaiannya yang baru saja ikut dievaluasi.
Dia memang tidak berdandan hari ini. Malas. Pusing memikirkan banyak hal sampai tidak peduli dengan tampilannya. Mana dia tahu kalau tiba-tiba akan berurusan dengan Dirga dan mendatangi kantornya seperti ini.
"Duh, kalian!" terdengar Anggun berdecak. "Memang tukang gosip semua! Itu urusannya Pak Dirga, awas saja dia dengar, bisa-bisa kalian semua dipindahkan ke perkebunan kelapa sawit!"
"Ih... Bu Anggun, namanya juga opini, 'kan Pak Dirga pernah bilang, kalau dia terbuka dengan semua kritik dan saran. Aku hanya mengkritik soal tunangannya, dan ingin menyarankan untuk jadi penggantinya."
Para pegawai wanita itu cekikikan mendengar celetukan salah satu temannya.
"Ah, aku jadi ragu, apa benar Pak Dirga suka yang seperti itu?"
Rania hampir saja keluar dan berseru, "yang seperti apa maksudmu!?" Kalau saja dia tidak mendengar sebuah kalimat berikutnya.
"Iya, aku suka perempuan seperti dia. Kenapa?" tanya Dirga datar, seraya mengamati keempat orang yang berkerumun di selasar, di dekat ruang meeting lima.
Keempat wanita itu tampak membeku seketika sebelum rautnya berubah panik. Tak ada satu orang pun yang berani menyahut.
"Saya tidak mau lagi mendengar ada yang bicara seperti tadi soal tunangan saya. Asal kalian tahu saja, dia juga mau sama saya karena saya paksa."
Para karyawati itu tampak tertegun. Sama halnya dengan Rania yang mendapat pembelaan di balik pintu.
"Kerja," tutup Dirga.
Tak perlu waktu lama sampai para pegawai wanita tersebut membubarkan diri sambil menggumamkan kata maaf, tanpa berani menatap Dirga lagi.
Anggun yang terakhir ada di sana. "Maaf Pak, saya tadi diseret mereka, karena penasaran dengan tunangan Bapak."
"Namanya Rania," ungkap Dirga. "Kali lain kalau ada yang bicara lagi soal tunangan saya, kamu ulangi keterangan saya tadi."
"Baik Pak," Anggun mengangguk dan permisi pergi.
Rania merasakan jantungnya berdebar-debar, gugup, juga senang karena mendapatkan pembelaan Dirga. Tunangan palsunya itu memenuhi janjinya untuk menjaga kehormatan Rania. Ia bisa mendengar langkah kaki Dirga mendekat. Tiba-tiba gadis itu jadi panik dan salah tingkah. Dia harus bagaimana? Duduk? Berdiri? Dia bahkan hampir lupa kenapa dia ada di sana.
Saat dia masih panik, pintu ruang meeting itu sudah terbuka. Dirga sepertinya juga cukup terkejut mendapati Rania berdiri tak jauh dari pintu.
"Mau kemana?" Dirga heran.
"Aku... mau menyusulmu! Karena kamu lama sekali!"
"Mhh.." Dirga mengangguk percaya, berbalik sejenak untuk menutup pintu dan kemudian membuka jasnya sebelum beranjak duduk di salah satu kursi tempat dia menyampirkan jasnya. Mata Rania mengikutinya. "Kenapa? Duduk." Dengan dagunya ia menunjuk kursi di dekatnya, sementara tangannya sibuk melonggarkan dasi dan membuka kancing kerahnya.
Sekali lagi Rania mengikuti kemauan lelaki itu.
"Aku ada urusan tadi sedikit, dan maaf aku tidak membawamu ke ruanganku, sedang pembersihan rutin," ungkapnya. "Jadi, ada apa?" sekarang pria itu sudah siap menyimak Rania.
"Itu, tadi, soal..." soal apa ya? Gara-gara digosipkan dan pembelaan Dirga, Rania jadi agak lupa masalahnya. Oh, iya! Tentang—
"Janu?" tembak Dirga.
"Iya! Benar! Pak Janu!?" emosi Rania terpantik lagi, dan dia segera berdiri. "Kamu bisa tidak, jangan seenaknya melakukan sesuatu seperti itu? Kamu mau merendahkanku!? Kamu pikir, aku tidak bisa menyelesaikan urusanku sendiri? Hanya karena kamu banyak uang, terus—"
"Sebetulnya masalahnya dimana?" potong Dirga, mendongak.
"Dimana!?" Rania menyilangkan lengan di dadanya, mulai mendelik mengelilingi Dirga seakan-akan Direktur Muda itu sedang berada di kursi pesakitan. "Pernah dengar tidak, pertolongan yang tidak dibutuhkan!?" Rania mengangkat dagunya keki. "Itu yang kamu lakukan! Kamu membuatku merasa direndahkan! Aku sudah bilang, aku tidak mau apapun darimu! Sekarang, aku jadi berutang padamu, dan itu membuatku... gadis itu tidak meneruskan ucapannya, mengatupkan rahangnya erat beberapa saat. Dirga masih mendengarkannya. "Merasa diremehkan! Aku tidak mau kamu merasa berhak melakukan apapun seenaknya kepadaku."
Lelaki itu mendengus tersenyum getir atas tanggapan terhadap niat baiknya.
"Baik, kita selesaikan sekarang," putus Dirga. "Duduk."
Otomatis Rania duduk. Lelaki itu menatap lekat gadis yang masih bersedekap di hadapannya.
"Aku minta maaf kalau aku..." jeda sejenak, "bukan, bukan, karena aku sudah salah, membuatmu merasa seperti itu. Benar?"
"Hm!" tunangannya mengangguk. "Juga karena sudah mencampuri urusan tanpa diminta," sambung Rania.
"Juga karena sudah mencampuri urusan tanpa diminta." Dirga membeo.
"Juga karena sudah memberi bantuan yang tidak dibutuhkan."
Lelaki itu menghela napas. "Juga karena sudah memberi bantuan yang tidak dibutuhkan."
Rania terlihat puas, raut wajahnya tampak lebih lunak.
"Lalu, sekarang apa maumu?"
"Aku mau membayar utangku."
"Baik," Dirga menengadahkan tangannya.
Gadis itu terkesiap sejenak. "Nanti aku transfer! Kirimkan saja rekeningmu."
"Baiklah," pria itu menurunkan tangannya lagi.
"Aku pasti bayar!"
"Aku tidak pernah bilang kamu tidak akan bayar."
"Tapi kamu—"
"Apa?" desak lelaki itu. "Aku melakukannya karena kupikir, kita ini teman. Aku juga tahu kamu akan melakukan hal yang sama untuk temanmu."
"Tapi aku... tidak mau kamu memanfaatkannya untuk menekanku."
"Aku tidak akan melakukannya. Apa aku begitu buruk di matamu?"
Rania menatap Dirga membisu. Tidak tahu saja dia. Alasannya berharap tidak berurusan lagi dengan lelaki itu, karena dia takut dengan permainan mereka yang kian tak terkendali, serta takut tidak bisa lepas dari jerat perasaannya sendiri.
"Aku tahu kamu tidak menyukaiku karena masalah pribadiku. Sepertinya kamu juga malas melihatku lagi. Tapi aku juga tidak biasa berutang kepada orang lain, dan kamu sudah membantuku di pesta ulang tahun Mama, bahkan sampai terseret menjadi tunanganku, sementara aku belum melakukan apa pun untukmu."
Rania tidak membencinya. Dulu, mungkin. Tetapi, dia sudah bisa membedakan antara perbuatan buruk lelaki itu dari pribadinya yang sesungguhnya. Gadis itu menghela napas, dan menurunkan tangannya yang bersedekap.
"Baiklah, waktu itu kamu sempat bilang, aku boleh minta apa saja, 'kan?"
"Oya?"
"Iya! Kamu bilang begitu saat di toko bungaku."
Dirga tersenyum tipis yang cukup memperlihatkan kejahilannya. "Iya, aku ingat. Kamu mau apa?"
"Aku ingin kamu terlihat bodoh."
"Apa?"
"Tampak bodoh. Kamu bilang akan memenuhi permintaanku. Dan aku akan memegang perkataanmu. Kalau kamu gentleman, kamu harus menepati ucapanmu," tekan Rania.
"Selama tidak mempermalukan nama keluargaku," tandas Dirga, menarik leher kemejanya agak gelisah, memamerkan tulang klavikula-nya lebih banyak.
"Begini maksudku," Rania mendongak. Bayangan jahil muncul di wajahnya. "Kamu itu... selalu terlihat tenang dan menguasai keadaan. Pokoknya menyebalkan! Nah, sekarang katakan kepadaku, apa hal yang tidak bisa kamu lakukan?"
"Yang tidak bisa kulakukan?" Dahi pria itu berkerut dalam. "Apa... ya, kira-kira? Aku ini sangat cekatan, hingga hampir semua hal bisa ku—"
"Berisik!" Rania meninju lengan kokoh lelaki itu. Dirga terkekeh kecil. Es di antara keduanya mulai mencair.
"Begini saja. Kamu katakan apa yang pandai kamu lakukan. Jika salah satunya ada yang tidak bisa aku lakukan, maka akan kulakukan untukmu."
"Ide bagus," gumam Rania mengangguk-angguk. "Aku pandai merangkai bunga."
"Aku tidak."
"Nah! Eh, tidak-tidak... apa yang memalukan melihatmu merangkai bunga? Yang lain." Rania berpikir lagi. "Membuat rajutan?"
"Hmm... belum pernah kulakukan, tapi bisa kucoba."
"Ah, tidak-tidak!" Rania mengibas-ngibaskan tangannya. "Aku tidak suka melihatmu percaya diri seperti itu!"
"Lalu apa? Masih ada urusan yang harus kuselesaikan," desak Dirga, melirik jam tangannya.
"Apa kamu bisa berenang?"
"Sangat pandai."
"Menyebalkan!" gerundel Rania. "Memasak? Ah! Itu tidak memalukan..."
"Aku tidak bisa naik papan selancar," ungkap Dirga. "Pernah mencobanya, payah."
"Aku juga tidak," Rania manyun dan Dirga tertawa. "Oh! Kamu bisa ice skating?"
"Ice... skating?" Dirga ragu-ragu, dan wajah Rania menyala.
"Nah, bagaimana!? Kamu bisa ice skating tidak? Aku cukup mahir. Aku sering melakukannya saat kuliah dulu."
"Tidak..." lirih Dirga tanpa kepercayaan diri.
"Nah, itu saja! Ice skating!" Rania menjentikkan jari, lalu menyodorkan telapak tangannya. Gigi rapi gadis itu terpamerkan sempurna.
Dirga mengeluh perlahan, tetapi diterimanya juga uluran tangan Rania. "Baiklah."
"Kapan?" tanya Rania, mendadak bersemangat karena dia akan melihat kebodohan Dirga sementara dia memamerkan kelihaiannya.
"Beberapa hari ini aku harus meninjau beberapa perkebunan di luar kota. Lalu aku ada sedikit urusan, mungkin..."
"Kapaaann?" desak Rania.
"Akhir pekan depan? Sabtu sore?"
"Setuju!" sambut Rania cepat.
"Setelah itu, kamu memaafkanku?"
"Kalau kamu bisa membuatku tertawa terbahak-bahak saat melihatmu," ujar Rania licik.
"Kamu itu... ternyata..." Dirga menyipitkan matanya pura-pura mengecam.
Rania tidak peduli, dia menanggapinya dengan tawa puas seorang penjahat.
"Baiklah, kurasa aku harus pergi sekarang." Dirga berdiri lantas membenahi pakaiannya.
"Tidak suka pakai dasi ya?"
Dirga membenarkan dengan gumaman saat membenahi dasinya.
"Sini," Rania mengulurkan tangannya, "biar rapi."
Dirga maju setengah langkah, membiarkan gadis itu meraih simpul dasinya untuk dirapikan. Gadis yang 23 cm lebih pendek darinya itu tampak agak mendongak.. Posisi mereka cukup dekat hingga Dirga bisa mencium aroma wangi bunga chamomile yang menenangkan dari Rania.
"Aku sudah tidak membencimu," aku Rania, membuyarkan lamunan Dirga yang sejenak sempat terhanyut. Gadis itu mendongak lebih tinggi untuk menatap tunangannya. "Aku hanya takut keadaan kita membawa lebih banyak masalah bagi lebih banyak orang," jujur Rania. "Bukannya aku tidak mau berteman denganmu."
Sudut bibir pria itu membentuk senyum. "Aku mengerti. Aku berjanji akan menyelesaikan semuanya tanpa melibatkanmu."
Gadis itu menurunkan tangannya. "Sudah rapi."
"Terima kasih." Dirga mengamati dasinya yang rapi dan mulai mengenakan jasnya. "Oh ya, ini," Dirga mengeluarkan sebuah kartu dari saku kemeja dan menyerahkannya pada gadis itu.
Rania menerimanya dengan penuh tanya.
"Itu kartu akses. Kamu bisa gunakan kali lain ingin menemuiku di sini."
"Ahh..." Rania mengangguk-angguk. Tidak bisa dicegah, hatinya merasa senang, merasa diistimewakan.
***
Mata para karyawan masih mengikuti Rania, penasaran, saat dia dan Dirga melewati meja-meja pegawainya hendak menuju lift. Dia hampir saja lupa! Sudah membuat heboh kantor Dirga. Diliriknya si tinggi yang tenang saja itu. Ah, sudahlah, percaya saja. Dirga bilang dia akan menyelesaikannya, berarti dia akan menyelesaikannya.
Saat hendak berbelok menuju lift, Rania agak terkejut karena mereka berpapasan dengan Pak Bayu. Rania sempat berusaha tersenyum, tapi tidak ada tanggapan berarti dari pria paling berkuasa itu.
"Kamu masih di sini?" tanya Pak Bayu pada Dirga.
"Ini mau berangkat, Pa..."
Pandangan Pak Bayu bergeser pada Rania.
"Rania tidak ikut, kami ada tujuan masing-masing."
Disebut namanya, Rania tersenyum lagi. Tetapi Pak Bayu tidak menghiraukannya, dan kembali bicara pada Dirga.
"Bereskan semua yang harus diselesaikan secepatnya, jangan tertunda-tunda."
"Iya Pa," Dirga tersenyum hangat.
Pak Bayu berlalu tanpa sepatah kata pada Rania.
Sepertinya benar, Pak Bayu kurang berkenan kepadanya. Rania tidak berani bertanya kepada Dirga. Buat apa? Tidak ada pengaruhnya juga pria konglomerat itu menyukainya atau tidak, toh dia memang tidak akan masuk ke dalam keluarga mereka.
"Papa memang begitu, jarang berbasa-basi kalau belum terlalu akrab," terang Dirga saat keduanya berada di dalam lift, seakan membaca kekhawatiran Rania. "Tidak usah terlalu dipikirkan. Maaf ya, kalau kamu merasa diabaikan."
"Tidak kok, aku tidak apa-apa," Rania melirih.
***
Sasti duduk dengan sabar di sofa lobi Gedung Timur Kamajaya Square. Orang yang dia tunggu-tunggu belum terlihat. Namun, saat kesabarannya hendak hilang dan dia akan beranjak, gadis itu melihatnya. Dirga berjalan mantap dari area lift.
Tapi, pria itu bersama mantan sahabatnya.
Terkejut, Sasti membalikkan badannya, dan memalingkan wajah, dia pura-pura menelepon untuk menghalangi wajahnya lebih banyak. Sepertinya berhasil, karena pasangan yang juga tampak menarik perhatian orang-orang itu, tidak mengenalinya.
Mereka berdua terlihat asyik berbincang, sambil keluar bersama melewati pintu geser otomatis gedung, diikuti lirikan mengekor Sasti. Gadis itu tidak menunggu lama. Dia ikut beranjak membuntuti mereka.