Satu hal yang Rania juga sangat sukai dari Dirga, adalah ketepatan waktu. Yah, mungkin itu juga hanya alasan yang dibuat-buat sebagai pembenaran perasaannya kepada Dirga.
Saat ini keduanya tengah berjalan menuju sebuah rink ice skating. Dirga tampak tampan dengan sebagian rambut terikat, terlihat santai dengan kaos biru langit yang dikenakannya. Lelaki itu juga membawa jaket seperti yang Rania sarankan.
Hampir dua minggu tidak bertemu, Rania heran kenapa bisa level ketampanan lelaki itu terus menanjak. Apa mungkin Dirga juga berdandan untuk dirinya? Sepertinya mustahil, tetapi gadis itu tak bisa mengelak kalau lelaki itu kian mempesona.
Keduanya lantas menyewa sepatu dan loker untuk menyimpan barang-barang mereka.
Seharusnya Dirga menyewa instruktur untuk kedatangan pertamanya. Tetapi karena sudah menjadi rencana Rania untuk membuat lelaki itu terlihat konyol maka mereka tidak melakukannya.
Setelah mengikat tali sepatunya kuat-kuat, keduanya mulai menghampiri tepi ring, dan berusaha meluncur. Rania sudah cukup lama tidak melakukannya, tetapi dia masih familiar dengan kelicinan permukaan es salah satu rink terbesar di Asean itu. Sebaliknya dengan Dirga, seperti yang diduga, lelaki itu tampak kikuk dan kesulitan walaupun hanya sekadar berdiri.
"Ayo, Dirga," tantang Rania.
"Se-sebentar, sebentar." Tubuh jangkung lelaki itu tampak goyah, bergoyang ke kiri dan kanan, depan, belakang. Rania menahan tawa melihatnya. Apalagi, tinggi tubuhnya membuat gerak-gerik canggungnya kian menyolok.
"Sini, berpegangan kepadaku." Rania mengulurkan tangan dengan senyum lebar di wajahnya. Dirga menerima uluran tangan tersebut. Lelaki itu berpegangan sangat erat kepada tunangannya.
"Licin sekali," keluh Dirga. "Adu-duh, aduh, eh!" Dirga kehilangan keseimbangan, kakinya terjulur sendiri dan bokongnya segera meluncur menabrak permukaan es.
Rania tak sanggup menahan diri, dia terkikik geli. Tubuh Dirga yang tinggi besar juga menjadi sangat menonjol, jika dibandingkan dengan anak-anak yang berseliweran di sekitar mereka. Dirga merasa bodoh dan malu, karena kalah mahir oleh anak-anak yang meluncur cepat melewatinya.
Dirga jatuh berkali-kali, dengan berbagai posisi. Setiap dia jatuh, tawa Rania semakin keras saja. "Sudah jangan tertawa terus! Kamu sama sekali tidak membantu!" hardik Dirga.
"Kamu tahu aku di sini bukan untuk membantumu," cebik Rania.
Dirga memberikan tatapan gemas kepadanya. Ia berdiri sekali lagi. Setidaknya kaki dan badannya tidak segemetar sebelumnya. Dirga meluncur pelan. Dan setiap ada anak kecil yang tiba-tiba menyalipnya—bukan satu dua orang, tapi banyak! Dirga jadi sangat jengah.
"Kamu sudah lumayan," puji Rania yang sedari tadi senyumnya tidak pernah hilang. "Lumayan ahli bangun dari jatuh," godanya, lantas tertawa bahagia.
"Sial," umpat Dirga sambil menyeringai kesal.
"Oh! Tuan Dirga mengumpat!" Sekali lagi Rania tertawa puas.
Dirga menoleh ke belakang, melihat pembatas rink yang masih tidak begitu jauh.
"Dari tadi jatuh bangun aku hanya mencapai sejauh ini!?"
"Wah, Tuan Dirga mulai mengeluh..." ejek Rania.
"Kamu lagi." Dirga menggeram gemas, menggeretakkan gigi-giginya. "Coba, aku ingin melihatmu meluncur," tantangnya.
"Oke," sambut Rania remeh. Dia mulai menjauh dari Dirga. Lelaki itu hanya diam, sambil berusaha berdiri tanpa goyah.
Rania berkeliling dari jarak jauh. Kakinya melangkah bergantian, lantas diam meluncur. Gadis itu melakukannya dengan mulus, wajahnya tampak ceria dan gembira. Semakin lama Rania meluncur semakin dekat kepada Dirga yang kepalanya turut berputar mengikuti gadis itu.
Tunangan palsunya itu tampak bercahaya saat melakukannya. Dia sepertinya benar-benar menyukai skate. Rania berputar semakin perlahan mengelilingi Dirga, semakin dekat dengan senyum sombong terpasang di wajahnya.
"Nah, seperti itu. Mudah, 'kan?" ujarnya, dengan raut tetap terlihat cerah walaupun napasnya lebih kerap dari sebelumnya.
"Baiklah, kamu hebat dan aku bodoh. Kamu puas sekarang?" Dirga mengeluh, dan Rania tertawa lagi. Gadis itu menggandeng tangan Dirga dan berdiri di sampingnya.
"Ayo, kita lakukan lagi. Sebetulnya, ketimbang saat kali pertama aku melakukannya, kamu jauh lebih baik," aku Rania. "Dulu aku bahkan tidak bisa lepas dari tepi rink." Gadis itu kembali tertawa mengingat masa lalunya.
Dirga tersenyum mendengar cerita Rania seraya mengamati rautnya. Wajah cerianya sangat menyenangkan untuk dipandang. Apalagi, hari ini Rania tampak lebih cantik dari biasanya. Mungkin, karena gadis itu benar-benar gembira.
Keduanya mulai meluncur berdampingan, dengan tangan saling bertautan. Rania bisa merasakan Dirga masih menggenggam tangannya sangat kuat.
"Saat SMP aku suka bermain rollerblade. Kurang lebih seperti inilah. Hanya saja, kenapa es ini licin sekali! Kakiku rasanya ada yang menarik-narik, seperti bukan milikku," sangat jarang, tetapi lelaki itu mengeluh lagi.
Seorang anak lewat di hadapan mereka dan menatap Dirga sambil tertawa mengejek.
"Sial," desis lelaki gagah itu, kikikan Rania terdengar lagi. Dirga tak pernah mengira bisa begini malu. Tetapi setidaknya, sekarang Dirga sudah bisa meluncur-luncur pendek. Rania pindah ke hadapan Dirga dan mengulurkan kedua tangannya.
"Aku akan memegangi sambil menarikmu, kamu tidak akan jatuh," janji Rania. Sepertinya sudah mulai lupa tujuannya membawa pria berkarisma itu ke tempat ini.
Sekarang kedua tangan mereka berpegangan. Rania meluncur mundur perlahan sambil menarik Dirga. Sesekali Rania menoleh ke belakang. Di tengah rink yang dingin sebuah kehangatan tercipta di antara mereka. Tiba-tiba gadis itu mulai merasa gugup karena lelaki itu terus menatapnya lekat. Menguncinya pada kedua mata Rania.
Tentu saja tidak aneh, karena dia jelas berada di hadapan Dirga. Namun Rania merasa tidak biasa mendapatkan perhatian penuh seintens ini dari Dirga, hingga beberapa kali susah payah ia mengalihkan pandangannya ke bagian lain tubuh Dirga, untuk mengerem detak jantungnya. Sayangnya, bagian mana pun itu, jantungnya tidak juga bisa tenang.
Setiap kali Rania mendongak, didapatinya Dirga yang tak lepas memperhatikannya.
Dengan matanya yang tajam, yang selalu menatap mantap.
"BUK!!" Tiba-tiba punggung Rania tertabrak seseorang. Gadis itu terkesiap, terhuyung ke depan.
"RAN!!" Dengan sigap Dirga meluncur maju menangkap Rania. Tindakan tanpa keahlian memadai, yang mengakibatkan keduanya terjatuh. Saat tersadar, Rania sudah menindih Dirga. "Kamu baik-baik saja?" Lelaki itu sungguh khawatir.
Dengan wajah masih terkejut, Rania mengangguk tanpa suara.
"Aku lupa menoleh," lirih Rania, mengevaluasi kesalahannya.
"Aku juga tidak sempat memperingatkanmu." Dirga baru menyadari, sedari tadi dia hanya memperhatikan Rania hingga tidak teringat sekitarnya.
"Akhirnya aku jatuh juga," tukas Rania konyol. Keduanya bertatapan, lalu tertawa.
Rania merasakan getaran dari paru-paru lelaki itu saat tertawa, tanpa sadar, tangan Dirga melingkar di pinggangnya. Mendadak gadis itu tertegun, menatap Dirga. Lelaki itu juga berhenti tertawa saat gadis itu berhenti. Keduanya bertatapan dalam diam. Hanya beberapa detik, namun waktu seakan melambat dan dunia menyepi untuk mereka. Hingga seorang instruktur laki-laki menghampiri.
"Kalian baik-baik saja?" tanyanya, mencuri perhatian keduanya.
Rania dan Dirga mendongak bersamaan. "Ya," jawab si lelaki singkat.
"Sebaiknya kalian cepat bangun," saran instruktur tersebut.
Rania dan Dirga segera memisahkan diri. Berbaring di arena tentu bisa mengganggu yang lain, atau malah bisa-bisa mereka juga tertimpa pengunjung lain yang belum mahir.
Keduanya bangun dan senyuman konyol sekali lagi tampak di wajah keduanya. Mereka menghabiskan dua jam di arena tersebut sambil meluncur dan tertawa. Di akhir waktu, Dirga sudah bisa meluncur dengan baik dan mengimbangi Rania saat keduanya bergandengan.
Dirga memang benar. Lelaki itu cekatan dalam melakukan sesuatu.
Rania tidak bisa menertawakannya terlalu lama. Namun, sebelumnya Rania belum pernah merasa sebahagia ini saat meluncur.
***
"Jadi kamu memaafkanku?" tanya Dirga, saat keduanya makan malam di sebuah restoran Jepang setelah kenyang meluncur.
"Uhm..." Rania mengerucutkan bibir, pura-pura berpikir.
"Hei! Tadi wajahmu sudah girang sekali melihatku tampak bodoh dan memalukan!"
"Hahaha...." Sekali lagi Rania tertawa, masih tidak berkurang girangnya. "Baiklah, baiklah, kumaafkan!" jawabnya murah hati.
Lelaki itu tertawa renyah. Dirga terlihat begitu santai dan tampan saat tertawa. Rania sangat menyukainya. Ah... sudah cukup dia mencari-cari alasan apa yang membuatnya menyukai Dirga. Rania menyukai apa pun yang diperbuat lelaki itu. Tentu saja, kecuali...
"Lalu bagaimana rencananya sekarang?" tanya Rania. "Kita... selesai?"
"Ya. Kita tidak perlu menjadi kekasih pals lagi."
"Kamu juga tidak akan... kembali pada..." suaranya sarat rasa cemas dan peringatan.
Dirga menggeleng. "Aku memutuskan untuk pergi ke New Zealand, kami bermaksud membangun perusahaan gabungan dengan salah satu perusahaan perkebunan di sana."
Rania mendadak tersedak. "Pe-pergi? Ke New Zealand? Maksudmu... tinggal di sana!?"
Dirga mengangguk.
Rania tertegun. Kabar yang begitu mendadak, membuatnya tak percaya. Gadis itu kehilangan kata-kata. Rasa tidak rela perlahan menggerogotinya. Dia tidak akan bertemu Dirga lagi?
"Kamu yakin?" Rania meragu. "Memang itu yang kamu inginkan?"
"Ya. Aku sudah memikirkannya. Ini bukan lagi soal mau atau tidak mau. Tetapi ini tentang apa yang perlu dilakukan. Itu jalan terbaik bagi kita. Akan kukatakan bahwa kamu tidak setuju dengan keputusanku ini, dan hubungan kita berakhir." Ia menatap dalam. "Aku akan bisa menjaga jarak sampai kakak menikah nanti, dan yang penting aku tidak akan menyulitkanmu lagi."
Rania terdiam. Saraf-saraf dalam tubuhnya tergetar rasa terkejut dan tidak rela, sementara dadanya merasakan sakit yang menekan tiba-tiba.
"Kira-kira, berapa lama?" Rania berusaha menekan emosinya.
"Aku akan tinggal di sana," jelas Dirga datar. "Setidaknya 5 tahun, mungkin permanen."
Jantung Rania berdenyut kian menyakitkan.
Berkali-kali. Berkali-kali Rania mengatakan kepada Dirga tidak ingin menjadi kekasih palsunya. Tidak ingin berbohong, tidak ingin menjalani hubungan palsu. Seharusnya, dia gembira saat Dirga 'membebaskannya.' Tetapi kenapa bukan itu yang dirasakannya? Sekarang Rania hanya merasa sesak, membayangkan tidak bisa bertemu Dirga lagi.
Selamanya.
Mungkin ini memang jalan satu-satunya seperti yang Dirga katakan. Rania bisa melihat kesungguhan hati lelaki itu menjauhi Padma. Dia bahkan rela memutuskan untuk pindah permanen ke luar negeri dalam waktu singkat untuk menjaga dirinya menjadi perusak hubungan kakaknya. Mungkin tuduhannya kepada Dirga selama ini terlalu kejam.
"Kapan, kamu pergi?"
"Sekitar minggu depan, hanya tinggal menunggu visa-nya turun saja."
Dan sekarang, apa yang bisa Rania lakukan saat lelaki ini mengatakan akan pergi? Bagaimana cara ia menghentikannya? Kalimat cinta tidak akan menahan Dirga, karena kalimat cinta darinya pastilah tidak berarti. Rania tahu siapa yang berharga bagi lelaki itu.
Matanya mulai terasa panas sementara kebisuan berkutat di antara mereka.
"D-Dirga..." Rania melirih, meletakkan sumpitnya. Cukup menarik perhatian lelaki di hadapannya.
"Kenapa Ran?" tanya Dirga, agak heran mengamati sumpit itu lalu mengamati Rania yang agak pucat mengkhawatirkan. "Kamu sakit?"
Gadis itu berusaha bicara, tapi tidak tahu apa yang harus diungkapkannya.
"Loh, Rania?" sapaan yang menusuk telinga tiba-tiba terdengar.
Rania menoleh ke arah suara dan mendapati Sasti di sana. Dengan beberapa kantong belanjaan barang-barang bermerk. Hobi Sasti sejak dulu.
Sungguh sial. Setelah pujaan hatinya mengatakan akan pergi selamanya sekarang muncul wanita yang ingin sekali dia cabik-cabik wajahnya. Bahkan Rania yang tidak menyukai kehebohan pun rasanya ingin sekali melompat dan mencakar wajah Sasti saat ini.