Tertidur

1821 Kata
"Loh, Rania?" sapaan yang menusuk telinga tiba-tiba terdengar. Rania menoleh ke arah suara dan mendapati Sasti di sana. Dengan beberapa kantong belanjaan barang-barang bermerk. Hobi Sasti sejak dulu. Sungguh sial. Setelah pujaan hatinya mengatakan akan pergi selamanya sekarang muncul wanita yang ingin sekali dia cabik-cabik wajahnya. Bahkan Rania yang tidak menyukai kehebohan pun rasanya ingin sekali melompat dan mencakar wajah Sasti saat ini. Sasti mengundang dirinya sendiri dan duduk di meja yang sama dengan keduanya. "Kamu sedang apa? Aku habis belanja. Biasa. refreshing." Senyumnya berkembang lebar. Ia lantas menoleh kepada Dirga. "Hai, Dirga, apa kabar?" Bertingkah akrab berlebihan seperti biasa. Rania sudah tidak asing dengan hal itu. Dirga mengamati Sasti dua detik dengan wajah datar. "Kamu siapa?" "Eh!? Aku, Sasti." Gadis itu melirik Rania beberapa kali, memasang senyum kikuk namun pura-pura antusias. "Kita bertemu di reunian kampusku waktu itu. masa lupa sih Dirga?" Kikikan centil terdengar darinya. "Oh," lelaki itu membuang pandangannya tak acuh, "mungkin karena tidak penting." Sasti mengerucutkan bibirnya. "Dirga kok, jahat sih..." ujarnya manja. Membuat Rania muak. "Kami sedang membicarakan masalah penting," tukas Rania tajam. Ia sudah tidak bisa bersabar lagi. "Tolong tinggalkan kami." "Aku mengganggu, ya?" Sasti memasang raut segan. "Hanya ingin menyapa. Tapi kalau niat baikku tidak disambut, ya..." wajahnya meredup, kecewa. Rania menelan ludah. Merasa tidak enak hati sudah bersikap dingin. Sekarang dia merasa dirinyalah penjahatnya. Tetapi, Rania sudah belajar dari masa lalu. Ia meyakinkan diri bahwa Sasti layak diperlakukan demikian. Setelah apa yang gadis itu lakukan pada hidup Rania, dia masih bisa muncul di hadapannya dengan sikap tidak bersalah. "Ran, aku ingin meluruskan kesalahpahaman di antara kita," Sasti melirik Dirga sekilas. "Aku bisa jelaskan apa yang terjadi. Aku sama sekali tidak pernah berniat—" "Ya Tuhan, Sastii..." Rania membenamkan wajah di kedua telapak tangan, dan tampak lagi dengan raut lelah. "Aku-sudah-tidak-peduli! Terserah! Terserah!" desisnya kesal. "Aku masih punya banyak hal yang menyita perhatianku! Aku tidak peduli pada kamu dan Adit!" "Lalu kenapa kamu masih tidak mau berteman denganku lagi?" rajuknya. Rania menggeleng dan tersenyum pahit. Sampai kapan Sasti hendak berakting naif? Tidak kembali ke tempat yang sama, adalah caranya menyembuhkan luka. Mungkin Rania tidak memiliki hati sempurna, karena bagaimana pun, dia tidak akan bisa lagi berteman dengan Sasti. Tidak bisa lagi! Dirga memahami kekesalan di hati Rania. "Hei, kamu! Cepat pergi dari sini. Keberadaanmu sangat mengganggu." Lelaki itu mengusir. Sasti kembali memasang wajah terluka mendengar ucapan Dirga. "A-aku..." Dirga menatap Sasti sangat dingin, bibirnya terkatup tegang sebelum berkata geram, "Pergi!" usirnya dengan raut yang membuat bulu kuduk berdiri. "Atau kamu menunggu diseret?" Wajah Sasti merah padam. Ia berdiri, menatap Rani. "Aku selalu menganggap kamu temanku," ucapnya lirih namun tidak kurang dramatis, lantas berbalik pergi. Rania menghempaskan napas kasar dan memutar bola matanya sebal. "Apa dulu kamu dekat dengannya?" tanya Dirga setelah gadis itu berlalu. Cukup dekat untuk membuat hatinya teramat sakit walaupun setahun telah berlalu. "Dia salah satu teman dekatku," terang Rania."Tidak banyak yang menerimanya sebagai teman, dan banyak yang memperingatkanku agar tidak terlalu dekat dengannya. Mereka bilang, walaupun dia anak orang berada, dia suka menginginkan milik orang lain. Tapi, aku dan Sasti sangat dekat. Dia juga baik kepadaku. Aku tidak bisa membenci orang tanpa alasan. Aku sudah menganggap dia seperti adikku sendiri. Sampai setahun lalu..." tangan Rania yang saling mencengkeram gemetar. "Aku masih tidak mengerti, bagaimana dia sanggup mengkhianatiku." Dirga mengeratkan rahang. Dia bukan Sasti. Tuduhan Rania, juga bukan ditujukan kepadanya. Namun, Dirga mulai merasa dia dan Sasti tidak ada bedanya. Tangan mereka sama kotor karena pengkhianatan. Rania terenyak, menyadari pikiran lelaki itu. "Dirga, aku tahu kamu punya alasanmu sendiri saat bersama Padma. Aku bukan mau membelamu. Tapi, kamu berbeda dengan Sasti. Kamu—" "Sudahlah," senyum hambar tampak pada wajah tampan Dirga. "Kami tidak ada bedanya. Aku tidak heran kamu membenciku." "Dulu," tukas Rania cepat. "Sekarang, sedikit banyak aku mengerti keadaanmu. Sekali lagi, bukan aku membela perbuatanmu. Bagiku, jauh lebih baik jika kamu memperebutkan Padma dengan kakakmu secara jantan! Tetapi, aku juga menghormati keputusanmu yang hendak menjauhi Padma dan Raka. Kamu bahkan... berpikir untuk pergi keluar negeri." "Tapi aku memang pengecut," tukas Dirga, kecut. "Aku terus menjadikanmu tameng, tanpa memikirkan perasaanmu. Aku hanya tidak ingin mempertaruhkan pernikahan mereka." Keduanya bertatapan dalam diam. Atmosfer yang menyesakkan terasa di d**a Rania. Dirga serius dengan ucapannya. Dia akan pergi... "Tetapi bukan berarti kamu harus pergi. Rasanya terlalu banyak pengorbanan untuk itu. Jika masih bisa berada di sini, kamu akan tetap tinggal?" "Tentu saja. Jika masih ada jalan lain aku lebih memilih tetap tinggal di sini. Tapi..." sudut bibirnya tersenyum pahit. "Kurasa ini yang terbaik untuk semua pihak. Aku tidak mau lagi ada yang terluka." Rania menatap sendu, dia benar-benar kalut. Mungkin membiarkan Dirga pergi memang yang terbaik bagi semua orang. Tapi kenapa perasaannya sangat tidak rela? Dia benar-benar tidak sanggup merasa begitu kehilangan Dirga. *** Seperti biasa, Dirga mengantarkan Rania hingga ke rumahnya. "Turun dulu?" tawar Rania. "Kalau sibuk, tidak perlu," tukasnya, saat melihat Dirga menimbang tawarannya. "Kamu basa-basi?" Dirga memastikan. "Tidak!" sanggah Rania cepat. "Hanya jangan berharap aku menyambutmu dengan hidangan istimewa." Lelaki itu mendengus, dan tersenyum tipis. "Sudahlah, kita sudah seharian bersama. Nanti kamu bosan." "Kalau kamu yang bosan, jangan menuduhku bosan!" keki Rania. "Aku tidak bosan." Dirga menyanggah "Aku juga tidak." Lantas keduanya terdiam, saling bertatapan, dan tersenyum geli. "Ayo, masuk dulu," tawar Rania, sembari turun dari mobilnya. "Ada yang ingin kuberikan." Lelaki itu mengikuti si gadis, turun dari mobil dan mengekor di belakangnya. Saat itulah, ada sorot lampu dari sebuah mobil menyilaukan keduanya. Mobil itu mendekat dan memberi klakson. Saat lampu sorot dimatikan, Rania bisa melihat mobil siapa itu. "Hei!" Renjana dengan cekatan turun dari mobilnya, menghampiri pasangan tersebut. Jantung Rania berdegup keras, melirik waswas kepada Dirga. Padahal dia tidak ingin keduanya berjumpa. Renjana sendiri matanya berkilat-kilat melihat lelaki yang bersama adiknya. "Ini pasti Dirga, ya?" tebaknya antusias, seraya mengulurkan tangannya. Dirga tersenyum tipis, membalas uluran tangan itu. "Renjana, kakaknya Rania." "Oh..." Dirga tersenyum lebih lebar. Renjana tampak senang, melirik pada adiknya, "pacarmu tampan begini, pantas saja disembunyikan terus, maunya disimpan sendiri saja." "Ada apa kak?" potong Rania, tampak tak tenang, "kok tidak bilang mau datang?" "Ya sekalian lewat tidak apa-apa. 'kan? Apa aku mengganggu waktu pacaran kalian?" "Kakak!" gadis itu merajuk, sementara Dirga hanya tersenyum simpul. Ketiganya lalu masuk ke dalam rumah Rania. Gadis itu tidak tahu apa yang hendak kakaknya bicarakan, tetapi hanya dalam waktu singkat saja, Renjana sudah berhasil mengorek banyak hal dari Dirga. Dulu kuliah dimana? Kerja dimana? Hobinya apa? Terus serangkaian pujian untuk kekasih palsunya itu sembari mulutnya tak berhenti mengunyah singkong keju dari toples. Renjana juga bertanya soal aktivitas Dirga, keluarganya, juga saran bisnis. Bahkan Dirga sempat merekomendasikan beberapa temannya yang memiliki usaha catering untuk menjadi rekan wedding organizer Renjana. Lelaki itu sangat sabar dan menanggapi semua pertanyaan ibu dua anak tersebut. "Lalu, kamu serius pada Rania?" akhirnya pertanyaan itu terlontar juga. Deg! Keduanya membisu. Rania panik bukan main. "Kak! Sebetulnya kakak ke sini mau apa?" Rania memotong interogasi kakaknya. "Ah, iya, soal itu," Renjana seakan diingatkan akan sesuatu. "Yah, terlalu asik mengobrol sampai lupa," dia terkekeh geli. "Habisnya, Rania tidak pernah mau menjawab kalau ditanya apa pun soal hubungan kalian," keluhnya. "Jadi, bagaimana? Kamu serius?" "Kakak... kok balik lagi ke sana?" tegur Rania. Dirga pun belum menjawab pertanyaan Renjana saat wanita itu lanjut berkata, "Tapi aku senang melihat Rania sekarang. Setahun belakangan kami terus mengkhawatirkannya, syukurlah sekarang Rania sudah bisa membuka hatinya lagi. Takutnya kalau trauma seumur hidup, bagaimana? Iya 'kan?" "Kakak! Ih!" Rania mulai gemas pada kakaknya itu yang tidak bisa berhenti bicara. Saat ia melirik Dirga, lelaki itu tengah mengamatinya, membuat Rania kikuk. Apa dia, sedang mengasihaninya? pikir Rania, tidak senang. "Oh, iya! Kan lupa lagi..." Renjana bergegas membuka tasnya, memberikan BPKP mobil box pada Rania. "Kamu sudah melunasi cicilan terakhirnya 'kan? Tadi sudah kuurus pengambilan BPKB-nya. Untung hari Sabtu masih buka." "Iya Kak, terima kasih," Rania mengambil dan mengamati BPKB di tangannya. "Aku kredit mobil untuk operasional toko bunga sejak masih dipegang nenek, atas namaku, tapi Rania yang mencicilnya setiap bulan," ungkap Renjana kepada Dirga. Rania sekali lagi mendengus, padahal tidak harus kakaknya itu membongkar semua hal kepada Dirga. "Oh ya? Bagus sekali," puji Dirga simpatik. "Terus? Jadi kamu gadaikan?" tembak Renjana, yang sontak membuat Rania membulatkan mata dan berdecak tipis memberi peringatan. Dia benar-benar berharap kakaknya tidak akan membahas masalah keuangannya di hadapan Dirga. "Kak, sudah malam. Pulang sana, sudah ditunggu anak-anak!" usir Rania. Renjana tertawa, "Iya, iya, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi." Wanita itu beranjak berdiri dan kemudian berpamitan kepada keduanya. "Kapan-kapan main ke rumahku, ya, Ibu sama Bapak juga sudah tidak sabar mau bertemu," pesannya yang terakhir kali. Dirga hanya tersenyum sopan dan mengangguk mengiyakan. "Maaf ya, kakakku memang bawel. Dulu mau jadi polwan tidak kesampaian karena tingginya kurang, tapi hobi menginterogasinya masih dipertahankan," ujar Rania saat kakaknya itu sudah meninggalkan pintu rumah. Dirga hanya tertawa kecil mendengarnya. Rania lantas beranjak ke lemari dan mengeluarkan sebuah DVD. "Ini yang mau kuberikan, rekaman reuni waktu itu, sudah kukopi. Ya... siapa tahu kamu ingin menontonnya sewaktu-waktu," ungkap Rania, mengangsurkan DVD itu, dan Dirga menerimanya. Pria itu tersenyum lagi, sejenak hening mengisi di antara mereka sebelum Dirga mengangsurkan kembali DVD itu kepada Rania. "Aku ingin menontonnya sekarang," ujarnya, "apa terlalu malam?" Rania mengamati jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 9 malam. "Masih ada waktu 2 jam sebelum waktunya beauty sleep," seringainya menggemaskan. Keduanya lantas menyaksikan kembali acara reuni dan mengomentari beberapa momen, lantas menertawakan momen lainnya. Hingga terlihatlah Aditya. Sejenak Rania tertegun dan menegang seketika. "Dia 'kan?" Dirga memastikan. "He em," itu saja tanggapan Rania, lantas berusaha mempercepat tampilan videonya, tapi remote dvdnya tidak mau kompromi. Apalagi, setelah itu muncul Sasti, melingkarkan tangannya di lengan Adit, sontak rasa sakit hati dan kemarahan Rania muncul lagi. "Ukh! Ini remote kenapa sih?" tukasnya kesal, dengan suara gemetar. Dirga dengan tenang meraih remote itu dari tangan Rania dan meletakannya di atas meja, sementara tangan lainnya menggenggam telapak gadis itu. Lelaki itu kemudian menggamit dagu Rania dan menolehkan wajah gelisah gadis itu kepadanya. Rania terkesiap, debaran amarah dan gelisahnya berganti debaran lain saat berhadap-hadapan dengan wajah lelaki itu. Lantas tatapan Dirga berubah sungguh-sungguh. "Ran, kalau sebelum aku pergi, masih ada yang bisa kubantu, katakan saja." Jujur Rania tersentuh dengan perkataannya. Gadis itu membuang napas, berusaha tersenyum menenangkan diri, "Terima kasih, Dirga, aku baik-baik saja." Tampilan di layar mulai berubah pada saat Dirga kembali bernyanyi di atas panggung. "Oh! Bagian favoritku!" Rania dengan cepat berusaha menghilangkan kegalauannya dan fokus pada penampilan Dirga yang menyenangkan. "Oh, iya! Mereka pergi!" serunya spontan, saat baru menyadari dari kejauhan ada adegan Sasti mengejar Aditya yang keluar ruangan. Sepanjang Rania menikmati video reuninya, tidak terasa kantuk datang juga sebelum waktunya. Mungkin karena seharian ini ia lelah bermain ice skating. Gadis itu tanpa sadar tidur bersandar di lengan Dirga yang membiarkannya. "Jangan pergi..." bibir Rania bergumam, membuat Dirga tertegun. Apakah gadis itu masih memimpikan mantan kekasihnya? Lelaki itu mengamati wajah tidur Rania lekat. Terasa sedikit sendu, memikirkan dia akan meninggalkannya. Juga khawatir, apakah gadis itu akan baik-baik saja setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN