Rania terbangun, agak bingung mengamati sekelilingnya. Dia berada di atas tempat tidurnya. Berusaha mengingat-ingat sejenak. Ah.... ya, dia sempat tertidur di atas sofa, Dirga membangunkannya saat pamit pulang, mengingatkan Rania mengunci pintu dan gadis itu langsung nyenyak di tempat tidur.
Rania merentangkan kedua tangan dengan senyuman lebar mengembang di bibirnya. "Hhh..." ia menghela napas puas. Kemarin, dia dan Dirga sempat 'berkencan'. Menghabiskan banyak waktu bersama, dan bercerita tentang banyak hal. Saling mengenal lebih dalam.
Berkat interogasi Renjana, sekarang dia tahu bahwa Dirga menyukai film action dan thriller. Makanan kesukaannya adalah makanan yang dibakar—dia bilang, saat kemping dan naik gunung, Dirga sering makan makanan semacam itu, karenanya dia sangat menyukainya. Dirga menyukai Bon Jovi dan komik Tintin. Kartun Lion King dan film lainnya tentang hewan.
Rasa bahagianya sejak main ice skating, masih bertahan hingga ia bangun pagi ini. Benar. Rania sama sekali tidak pernah merasa begitu bahagia setelah selesai berkencan dengan seseorang.
Padahal, yang mereka lakukan hanya mengobrol dan saling mengenal.
"Haaa... Dirga..." Rania menjatuhkan kembali kepalanya ke atas bantal. Memandangi langit-langit dan mengingat kekasih bohongannya itu. Gadis itu lantas cekikikan sendiri.
Rania lantas teringat dengan kedatangan Renjana yang mengantarkan BPKB semalam. Dia memang bermaksud menggadaikan mobil itu besok, untuk menambah kekurangan uang membayar kontrak.
Gadis itu baru saja hendak sarapan, saat tiba-tiba seorang pegawai menghubungi Rania dengan panik dan membuat gadis itu bergegas ke tokonya.
Alangkah terkejutnya Rania, melihat kondisi toko bunganya. Beberapa orang tengah mengeluarkan barang-barangnya, dan kedua pegawai Rania tampak tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sangat geram melihat tumpukan bunga-bunganya yang rusak di halaman. Rania merangsak masuk.
"Ada apa ini!? Apa yang kalian lakukan?" Merentangkan tangan. "Turunkan itu!" perintahnya galak dengan suara bergetar, kepada dua orang yang mengangkut vas-vas bunganya.
"Eh, Rania, apa kabar?" sapa Sasti yang tiba-tiba muncul dengan santai dari halaman belakang.
"Sa-Sasti!? Apa yang kamu lakukan di sini!?"
"Pak Wira belum bilang? Mulai hari ini, aku penyewa baru tempat ini." Sasti tersenyum penuh kemenangan. Rania terperangah mendengarnya. Benar-benar tidak percaya.
Tapi mustahil Sasti berbuat sejauh ini jika dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Rania memang sedang berusaha bernegosiasi dengan Pak Wira, dan sudah meminta tambahan tenggat hingga minggu depan. Walaupun belum ada kesepakatan, karena Pak Wira juga tak ada reaksi apa-apa lagi, Rania pikir semuanya akan baik-baik saja.
Gadis itu tidak mengira, setelah berhubungan baik selama ini, ia akan diusir dengan cara seperti ini. Padahal, dia berencana menemui Pak Wira sore nanti untuk membicarakan langsung masalah ini.
"Ran, kalau kamu belum punya tempat baru bagaimana kalau isi tokonya aku beli juga?"
"PLAK!!!" Rania menampar Sasti sekuat tenaga. Wajahnya merah padam, rautnya geram. Tangan Rania terasa panas dan gemetar. Dia tidak berkata apa-apa karena emosi yang memenuhi d**a dan kepalanya. Rania segera beranjak dari sana. Meninggalkan Sasti yang syok sembari memegangi pipinya yang terbakar.
***
Rania terduduk di sofa. Dibenamkan wajahnya di kedua telapak tangan. Menangis tergugu. Marah, kesal, benci dan kecewa begitu menguasai. Ia tidak mengerti kenapa Sasti terus-menerus mengusik hidupnya. Rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya.
"Aku benci kamu! Aku sangat membencimu Sastiiiii!!" sumpah serapah menghambur dari bibir Rania sementara tangannya meremas dan memukuli bantal-bantal sofa, sebelum kemudian dilemparkannya bantal-bantal itu.
Lantas ia berhenti mengamuk dan kembali menangis. Membaringkan tubuhnya dan membenamkan wajahnya di permukaan bantal.
"Ran?"sebuah teguran tertangkap telinganya. Rania tahu siapa itu.
Dirga? Ia terkesiap. Tidak sanggup menahan isakan, ia tetap menyembunyikan muka.
"Ran, kamu baik-baik saja?" sentuhan telapak Dirga lembut menyentuh bahunya. Rania tidak kunjung menjawab. "Aku tadi ke tokomu, tapi tokomu dibongkar. Ada apa? Ceritakan kepadaku." Dirga menarik bahu Rania hingga bangun dan menghadap kepadanya.
Rania bangkit dan langsung membenamkan wajah di dadanya, memeluk Dirga. Ini kedua kalinya Dirga mendapati Rania menangis seperti ini. Rania tidak sempat menghapus airmatanya. Biarlah dia tertangkap basah. Saat ini ia benar-benar butuh sandaran.
"Ada apa?" Dirga resah melihat Rania tersedu-sedu di dadanya. Rania tidak menjawab, gadis itu menggelengkan kepalanya dan terus menangis. Akhirnya Dirga memutuskan untuk tidak memaksa. Ia memeluk Rania dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.
Lengan Dirga berhasil memberi kenyamanan yang Rania butuhkan. Perlahan tangisnya mereda hingga tersisa isakan-isakan kecil. Rania mendongak. Dirga menunduk menatapnya, menebalkan rasa canggung yang sebelumnya samar.
"Maaf," Rania menjauhkan diri. "Kemejamu jadi basah," sesalnya seraya mengusap pelan d**a Dirga. Lelaki itu masih tidak berkata apa pun. "Sebentar, aku ambilkan minum."
Dirga menahan lengan Rania. "Biar aku ambil sendiri." Ia lantas berdiri dan beranjak ke dapur Rania. "Kamu mau minum apa?" Sepertinya, tuan rumah mulai pindah tangan.
"Aku mau teh chamomile hangat." Rania tidak melewatkan layanan istimewa yang ditawarkan. Setidaknya, dia bisa menggunakan sesi chef Dirga untuk menenangkan diri.
Saat Dirga kembali, Rania sudah merasa lebih baik. Kemeja basah lelaki itu kembali mengingatkan Rania dengan kehangatan yang tadi sempat membuatnya nyaman lebih cepat.
"Terima kasih." Rania segera menyeruput teh chamomilenya, beberapa tisu tampak tergeletak di atas meja. Bantal-bantal yang tadi berhamburan dikembalikan ke tempatnya. Tapi isakan Rania masih bersisa di dadanya.
"Jadi, ada apa?" Dirga bertanya sekali lagi, saat mengambil tempat di sampingnya. "Kamu menangis... masalah toko?"
Rania mengangguk pahit. Sepertinya dia tidak punya pilihan, selain memberitahu Dirga apa yang terjadi.
"Sekarang Sasti yang menempati toko itu."
"Apa!?" Dirga terperanjat, tidak ingat melihat gadis itu tadi di sana.
"Sebelumnya Pak Wira mengatakan sewa tempatnya dinaikkan. Untukku, itu terlalu mahal." Rania kembali mengusap airmata dengan tisu. "Aku sudah minta perpanjangan tenggat seminggu, tapi belum ada tanggapan. Aku hubungi tidak diangkat, aku sempat mendatanginya, dia tidak di tempat. Aku bermaksud menemuinya hari ini untuk bernegosiasi, karena besok aku bermaksud menggadaikan mobil untuk menambah kekurangannya. Aku tidak mengira dia sudah langsung mengalihkan sewanya kepada Sasti. Saat aku datang, barang-barangku sudah dikeluarkan ." Rania menunduk dan kembali mengusap matanya dengan tisu.
"Kurang ajar!" Dirga geram. "Bagaimana bisa dia melakukan itu? Ayo," Ia meraih pergelangan tangan Rania. "Kita temui Pak Wira."
Rania bergeming. "Percuma, Dirga. Uang sewanya jatuh tempo. Aku sudah minta keringanan, juga sudah mengatakan akan menemuinya hari ini. Tidak ada tanggapan apa-apa, dan tahu-tahu..." ia mendesah getir.
"Kenapa tidak ada toleransi sama sekali? Kamu bahkan tidak mendapat pemberitahuan?" Dirga menatap seakan memberi dorongan agar gadis itu berbuat lebih dari sekadar menangis.
"Sudahlah." Rania berusaha berbesar hati walau jelas gagal. "Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Lagipula, Sasti sudah langsung menempatinya." Menyebut nama Sasti, gusar menggurat di wajah Rania.
"Lalu barang-barangmu?"
Rania mengangkat sebelah pundaknya pasrah.
"Ran... aku harus bagaimana?"
Gadis itu menatap heran. "Ini bukan masalahmu, tidak ada yang harus kamu lakukan," Rania menghela napas dalam. "Terima kasih, sudah menemaniku... kamu... ada apa mencariku?"
"Aku sudah mengatakan lewat sms, tetapi sepertinya kamu tidak membacanya. Aku memesan rangkaian bunga untuk pembukaan salah satu supermarket, tapi tidak ada tanggapan darimu. Jadi aku langsung ke toko."
"Maaf..." sesal Rania. "Kamu jadi melihatku begini."
"Sudahlah..." Dirga menyelipkan rambut Rania yang berantakan ke telinganya. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu. Dengan cepat Dirga menarik pergelangan tangan Rania. "Ikut aku!"
"Ha? Kemana?" mustahil menolak, Rania terseret dari duduknya di atas sofa. "Kemana Dirga?"
***
Dirga membawa Rania memasuki sebuah kawasan tempat usaha. Ia memarkir mobil di halaman sebuah unit bekas cafe yang tutup. Rania mengikuti Dirga turun dari mobil.
"Apa ini? Café?" Rania mengedarkan pandangannya. Di ruangan yang cukup luas itu terlihat beberapa meja dan kursi yang sepertinya sudah lama tidak digunakan. Dindingnya dihiasi wallpaper bergaya retro dan sebuah open kitchen terlihat di sana.
"Ya. Dulu aku dan temanku sempat membuka café ini. Tempat ini milikku dan dia yang mengelolanya. Tapi setelah menerima beasiswa S2 di Jepang, tidak ada yang mengurus café ini lagi. Sudah hampir empat bulan tempat ini tutup dan tidak digunakan."
Rania menatap Dirga tidak percaya, setelah berhasil mengira-ngira apa maksud Dirga.
"Daripada terbengkalai, kurasa kamu bisa menggunakannya. Setidaknya, barang-barangmu bisa dipindahkan dulu ke sini."
"Memangnya tidak apa-apa? Kamu kan... bermaksud membuat café di sini." Rania sungkan. Tentu saja alasan utamanya, karena dia jadi melibatkan Dirga dalam masalahnya.
"Tidak apa-apa. Jauh lebih baik kamu memanfaatkannya daripada jadi terbengkalai."
Rania berpikir sejenak, mengedarkan pandangannya lagi. Tempatnya lumayan besar. Bahkan lebih besar dari tokonya. Walaupun tidak ada halaman luas seperti di tempat sebelumnya yang bisa digunakan untuk rumah kaca. Setidaknya, ini lebih baik daripada Rania mengalami kerugian karena semua produknya rusak.
"Baiklah. Tapi, aku tidak akan menggunakannya dengan gratisan. Aku akan bayar setiap bulan. Jika aku sudah menemukan tempat baru, atau kamu hendak menggunakannya kembali, kontraknya bisa diakhiri." Rania menyambung saat Dirga hendak menyanggah. "Pokoknya, aku bayar atau tidak bisa menerima tawaranmu." Ia mengulurkan tangan.
Dirga menghela napas tidak puas namun akhirnya menerima uluran tangan Rania.
"Terserah kamu saja. Sekarang kurasa lebih baik segera benahi tempat ini dan angkut barang-barang di tokomu kemari."
"Ya. Kamu benar." Rania tersenyum. Walaupun masih marah karena kelakuan Sasti, namun apa yang Dirga lakukan untuknya, sudah membuat Rania merasa jauh lebih baik. Rasa haru berkembang di hatinya. "Dirga, terima kasih ya..." ucapnya lembut.
Dirga hanya menanggapinya dengan senyuman. Sebuah senyuman yang sekali lagi mengadiksi Rania untuk lebih sering melihatnya.
"Biar kubantu kamu membereskan tempat ini."
"Sudah, kamu jangan repot-repot lagi. Aku bisa melakukannya sendiri. Nanti kuminta tolong pegawaiku," sergah Rania.
"Kenapa kamu selalu sungkan meminta bantuan? Jangan selalu berpikir meminta tolong itu menyusahkan. Aku juga merasa senang jika aku bisa membantumu," ujar Dirga.
Kalimat sederhana yang bekerja laksana embun. Terasa tulus dan menyejukkan.
Dirga tampak membuka beberapa pembungkus yang menutupi beberapa furniture, dan menepuk-nepuknya dari debu. "Kamu pilih saja, mana furniture yang bisa digunakan dan mana yang tidak, aku bisa minta orang untuk mengangkut barang-barang yang sekiranya tidak terpakai."
Rania mengamati Dirga, dan melipat bibirnya. Lelaki ini sangat baik. Terlalu baik.
Perlahan gadis itu menggapaikan tangannya, meraih lengan kemeja Dirga. Lelaki itu tertegun, berhenti bergerak, saat menyadari perbuatannya. Ia mengamati tangan Rania, sebelum beralih melihat wajahnya.
"Ada apa?" tanyanya cemas.
Rania bisa merasakan jantungnya berdebar cepat, dan wajahnya menghangat. "Dirga... ji-jika aku bersedia jadi kekasih palsumu lagi, kamu akan tetap tinggal di sini?" gadis menatap lekat.
Kejut tampak di mata Dirga yang balas menatapnya tak kalah kuat.
"Kamu tidak harus melakukannya. Bukankah kamu sudah—"
"Kalau aku bersedia, kamu akan tetap tinggal?" Rania bersikukuh.
Mungkin, sama halnya seperti Rania yang sering melarikan diri ke suatu tempat saat ingin menenangkan diri, itu juga yang Dirga lakukan. Tetapi, tetap saja, itu pengorbanan yang terlalu besar. Tinggal permanen di New Zealand? Belum lagi, Rania rasanya semakin tidak rela harus kehilangan lelaki itu.
"Demi aku?" Dirga tidak mengira. "Kamu mau melakukannya demi aku?" Ia mengamati mata bening Rania bergiliran. Mencari canda atau ragu di sana.
Ia tidak menemukannya. Rania serius.
Gadis itu memberengut. "Ini sudah bawaan lahir. Aku memang tidak tegaan."
"Terima kasih. Kamu memang gadis yang baik. Tapi kamu tidak usah memaksakan diri. Aku sudah memutuskan. Ini yang terbaik bagi semuanya."
Tapi tidak untukku, batin Rania, menahan rasa pilu dalam hatinya.
Rania menggenggam pergelangan Dirga lebih erat.
"Kalau pilihan lainnya kita pura-pura pacaran lagi. Baiklah. Begitu saja. Karena menurutku, pengorbananmu tidak setimpal jika kamu sampai harus pergi selamanya dari sini. Lagipula, dengan apa yang kamu lakukan sekarang, artinya aku berutang lagi kepadamu."
"Kamu 'kan bayar sewa," tampik Dirga.
Rania memasang wajah tegas. "Tawarannya tidak akan kuulangi dua kali! Aturannya tetap sama. Kamu harus menghormati dan memperlakukanku dengan baik. Tidak boleh genit selama statusmu masih kekasihku. Semuanya berakhir jika salah satu dari kita jatuh cinta kepada orang lain. Perjanjiannya sampai lamaran, paling lama sampai mereka menikah. Iya kan?"
Dirga terpana. Dan itu bukan karena Rania masih hapal dengan persyaratannya.
"Jika aku sakit, kamu harus menjenguk dan menjagaku. Awas saja kalau kamu bersikap tidak acuh kepadaku. Jangan menyebalkan. Pokoknya, kamu harus membuat hatiku senang."
"Kurasa... persyaratannya semakin bertambah banyak," Dirga tergelak kecil.
Rania juga tertawa, wajahnya menyala di tengah sisa tangisnya.
"Setuju tidak?"
"Kamu yakin?" tanya Dirga sekali lagi, serius.
"Kamu setuju dengan persyaratannya?"
"Baiklah, setuju," keduanya bersalaman. "Terima kasih. Aku janji akan memperlakukanmu dengan baik," ucap Dirga.
Rania sangat lega mendengarnya. Terima kasih, karena tidak pergi...
***