Gelato dan Rumah Kaca

2171 Kata
"Jadi, kamu membatalkan kepergianmu ke New Zealand karena Rania?" Pak Bayu memastikan pada Dirga, saat putranya itu menyampaikan maksudnya pada ayahnya yang sedang membaca majalah di salah satu ruang duduk keluarga. "Tidak semuanya karena dia," Dirga membantah dengan tenang, "Aku memang sedikit ragu, karena sebenarnya aku masih ingin mengembangkan usaha di sini, Pa. Apalagi, dengan kondisi kakak sekarang. Tapi... karena Rania, aku jadi semakin yakin untuk membatalkan kepergianku ke sana." Bayu Kamajaya menghela napas, perut tambunnya agak menyusut. "Kamu benar-benar serius dengannya?" tanya konglomerat itu di antara tarikan napasnya yang berat. "Tentu saja. Jika tidak, aku tentu tidak melamarnya," ungkap Dirga, tampak meyakinkan dengan tatapan heran yang dilayangkannya kepada Pak Bayu. Bayu juga tahu, Rania satu-satunya gadis yang secara resmi pernah Dirga perkenalkan sebagai kekasihnya. Apalagi, sampai dilamar di acara keluarga. Tetapi yang putranya itu belum tahu, tidak semua keluarga dengan mudah merestui mereka berdua. "Papa merasa kamu terlalu terburu-buru. Lagipula kalian belum lama saling mengenal." "Kami belum akan menikah dalam waktu dekat," tanggap Dirga tenang. "Jadi bisa saja kau berubah pikiran, 'kan?" sorot mata Pak Bayu mencari kepastian. Raut Dirga sedikit saja berubah, tapi aura defensifnya sangat kentara. "Sebenarnya kemana arah pembicaraan ini Pa?" tanya si putra kedua tajam. Konglomerat itu kembali menghela napas. "Kamu ingat Sinta?" Ah, dia... Dirga menyadari kemana tujuan ayahnya. "Dia sudah kembali dari luar negeri. Makin cantik sekarang." "Papa mau menjodohkan kami?" Narasi lama. "Kalian sudah kenal sejak kecil, dan Papa pernah berjanji dulu. Ini baik untuk keluarga kita. Lagipula, Sinta cantik, cerdas, gadis yang menyenangkan, dia juga--" "Aku sudah punya Rania." "Sebelumnya juga kau menolaknya." Pak Bayu mulai terdengar tidak sabar. Saat itu ada Padma. Ayahnya saja tidak tahu. "Kamu bilang tidak siap dengan ikatan. Sekarang, Papa rasa kamu sudah mulai berpikir ke arah sana 'kan?"  "Aku sudah punya Rania," ulang Dirga. "Pikirkan saja," Pak Bayu berujar, seraya menutup majalah bisnis di tangannya. "Kalau papa boleh jujur... rasanya Sinta lebih sepadan denganmu." "Papa tidak mengenal Rania seperti aku," tangkis Dirga. "Jadi ini bukan hal untuk diperdebatkan. Kita punya perspektif berbeda." Dari ketiga anaknya, Dirga si tengah memang paling keras kepala. Dari dulu susah diingatkan jika tidak merasakan sendiri kesakitannya. "Akhir pekan ini, kamu datang ke pesta perpisahannya Aryani?" Pak Bayu menyebut nama keponakannya. "Mungkin." "Ajak Rania," titah Pak Bayu."Kalau kamu serius, cepat lambat dia harus mengenal lingkungan keluarga besar kita." Dirga terdiam sejenak. Mau tidak mau dia menjawab,"Baiklah." *** Beberapa hari ini Rania sibuk dengan toko barunya. Uang sewa yang tidak terbayarkan kepada Pak Wira dia gunakan memperindah toko. Apalagi, Dirga tidak memasang tarif khusus untuk menggunakan tempatnya. Sekarang tokonya sudah mulai beroperasi lagi. Dirga akan datang siang ini ke tokonya. Rania sangat antusias memberi tahu Dirga apa yang dia lakukan dengan tempatnya. Beberapa hari ini keduanya sering berhubungan dan memberi kabar. Rania sangat berterima kasih dan itu ia tunjukkan dengan perhatiannya. Dirga pun menyambut perhatiannya dengan tangan terbuka. Keduanya sudah bisa dikatakan berteman baik sekarang. Hari ini tokonya mengadakan grand opening. Lumayan ramai di akhir pekan ini. Saat Rania melihat mobil Dirga terparkir, gadis itu berhambur menyambutnya. "Dirga!!" Ia melambaikan tangan, menghampiri. "Halo, Tuan tanah!" sapanya riang. Dirga senang melihat wajah riangnya. Rania pasti sangat senang sampai-sampai ia mengadukan kedua pipi mereka. Hal yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Tatapan Dirga mengitari toko baru Rania. Gadis itu menolak memperlihatkan foto-fotonya saat café itu tengah direnovasi. "Kamu harus lihat sendiri nanti!" itulah yang selalu Rania katakan. Dirga melihat tiga buah meja bundar di depan toko bunga tersebut. Ada beberapa orang sedang menikmati es krim dan teh di hadapan mereka. Melihat wajah heran Dirga, Rania menyeringai. Ia lantas menggandeng Dirga ke dalam. "Ayo!" ajaknya. Di bagian dalam, selain Dirga melihat bunga-bunga yang terpajang cantik, ia melihat freezer es krim dan papan tulis menu. Lalu di bagian dapur ada buah-buahan untuk juice dan minuman lainnya. "Awalnya, kupikir tetap membuatnya menjadi café resto seperti sebelumnya yang digabungkan dengan florist akan menarik. Tetapi, aroma masakan akan mengalahkan aroma bunganya. Jadi, aku memikirkan menu lain yang bisa cocok dengan bunga-bunga yang kami jual," Rania menerangkan dengan wajah berbinar. "Jadi, kupikir menu-menu dessert atau minuman lebih baik. Akhirnya kuputuskan juice, teh dan kopi ini akan lebih sesuai. Lalu aku juga menambahkan menu es krim dan cokelat. Bagaimana menurutmu?" tanyanya antusias. Dirga takjub dengan wajah riang Rania. Sangat jauh berbeda saat ia menemukannya tengah menangis saat itu. "Bagus sekali!" puji Dirga. "Kamu jenius." "Ah, bisa saja... tapi iya sih," Rania cengengesan, dan Dirga tertawa. "Ayo, ke sini, aku sudah menyiapkan meja untukmu." Ia menarik Dirga ke area duduk. "Tunggu sebentar, oke?" gesit Rania berlalu dan kembali dengan sebuah nampan. Ia menyajikan dua skop gelato mixberry dan segelas mango smoothies. "Aku kurang suka makanan manis," goda Dirga. "Tapi melihatmu bersusah payah, aku akan mencobanya." "Harus!" tegasnya. Ia mengamati Dirga menyuap gelato dan mengulumnya. Pikiran Rania sempat mengembara dan berharap dia adalah suapan gelato itu sebelum Dirga berujar, "Enak." Ia tersenyum. Dengan cara yang membuat pipi Rania memanas. Apakah gelato punya efek samping membuat seseorang tampak lebih menawan? Rania segera mengalihkan pikirannya sebelum mulai lagi bertingkah aneh. "Aku coba frozen blueberrynya," Dirga meraih butiran blueberry beku pada gelato dan melahapnya. "Enak." Sekali lagi. Rania beku dalam keterpesonaannya dan tidak berkata apa-apa. Saat kesadaran menegurnya, gadis itu menunduk malu. Tiba-tiba sebutir blueberry sudah ada di hadapannya. Rania mengangkat wajahnya lagi, Dirga menyodorkan butiran buah itu kepadanya. Rania melahapnya dan mengangguk-angguk puas. "Siapa yang membuat gelato ini?" "Aku," sahut Rania. "Dulu aku suka membuat untukku sendiri. Seminggu ini, aku menggunakan gelato untuk mempromosikan tempat ini, dan ternyata mereka menyukainya. Karena itu, uang sewa yang tidak jadi kubayarkan kepada Pak Wira, kugunakan sebagai modal untuk membuat menu-menu ini." Rania menarik napas diantara antusiasmenya. "Yah, mau tidak mau aku kehilangan pelanggan dengan perpindahan tempat ini. Juga, banyak bunga yang terpaksa dibagikan gratis daripada membusuk. Tidak apalah, untuk promosi." "Sebagai Tuan Tanah, aku bangga kepadamu," seloroh Dirga. Rania sekali lagi tertawa riang. Dia lantas menggenggam telapak Dirga. "Terima kasih banyak," ketulusan memancar di matanya. "Sungguh. Kalau kamu tidak datang hari itu, dan berpikir cepat mengajakku ke sini, mungkin kerugianku bukan hanya kehilangan sebagian pelanggan." Rania menggenggam erat jemari Dirga. "Its means a lot to me," ucapnya haru. Dirga mengamati Rania lekat, merasakan telapak lembut gadis itu menggenggamnya hangat. Tanpa sadar Dirga juga sudah balas meremas jari Rania. Walau tenang, Dirga terpana. Melihat Rania belakangan selalu terasa menyenangkan. Kesadaran Dirga mulai terusik sebuah fakta yang semakin nyata. "Oh, ya, kalau ada yang tidak kamu sukai dengan perubahan yang kulakukan dengan tempat ini, katakan saja," Rania menukas lamunan Dirga. Dirga menghela napas tipis dan berujar seakan baru mendapatkan sebuah pencerahan. "Kurasa, aku sangat menyukai apa yang aku lihat sejauh ini." Dirga menatap Rania lekat dan tersenyum samar. Deg. Sontak rasa rikuh menyandera hati Rania. Entah cara Dirga memandang, atau caranya bicara. Rania jadi merasa seperti gelato lumer yang sempat dia bayangkan. Dan dia tersadar, kedua tangan mereka sudah bergenggaman untuk waktu yang cukup lama. "Oh ya, ada satu lagi yang ingin kutunjukkan kepadamu," Dirga berkata penuh rahasia. Rania tertegun penuh tanya. "Apa?" mata bening gadis cantik itu penasaran. *** Dirga membawa Rania ke sebuah rumah yang dikelilingi kebun yang luas. Sebetulnya, rumah yang terletak di sana juga tidak bisa dikatakan kecil, tetapi ketimbang rumah keluarga Kamajaya dan juga kebunnya, rumah ini tidak terlihat terlalu besar. Dirga menjelaskan rumah tersebut adalah rumah pribadinya. Kadang, jika sedang ingin menyendiri atau menenangkan pikiran, Dirga menghabiskan waktunya di rumah ini ketimbang di apartemen. Keluarganya sudah hapal dengan kebiasaan Dirga, dan mereka jarang mengusiknya jika tahu ia sedang berada di sini. Namun kejutan untuk Rania tidak ada di bagian depan rumah. Dirga mengajak Rania ke bagian belakang rumah di mana ada halaman luas terbentang dan mereka tiba di sebuah bangunan rumah kaca. Alis gadis itu berkerut penuh tanya. Saat Rania masuk, ia mulai mendapatkan petunjuk. Pot dan bunga-bunga di rumah kaca itu, banyak yang persis dengan pot dan bunga-bunga di rumah kacanya dahulu. "Di tokomu yang sekarang, tidak ada lahan cukup untuk rumah kaca. Jadi aku memperluas rumah kaca ini dan menambahkan varian tanaman dari rumah kacamu dulu." Rania menatap Dirga penuh haru. "K-kamu... melakukan semua ini untukku?" "Kamu bisa ke sini kapan saja kamu mau. Kamu juga bisa minta pegawaiku mengirimkan bunga-bunga di sini ke tokomu. Bagian yang masih kosong bisa kamu manfaatkan sesuai kebutuhan. Kamu pasti lebih mengerti—" Kalimat Dirga terpotong saat gadis beraroma chamomile itu memeluknya. Rania menyurukkan dirinya di d**a Dirga yang kokoh dan selalu dapat diandalkan. Sekali lagi Rania terisak haru dan mengucap terima kasih. Dirga lantas balas memeluk sama eratnya. "Sama-sama. Kamu tidak perlu sungkan..." jawabnya lembut. Jantung Rania mulai lepas kendali lagi saat merasakan kehangatan Dirga kepadanya. Rania mendongak sejenak, merasakan tatapan teduh Dirga yang penuh perhatian terarah kepadanya. Setiap sel tubuhnya menegang. Apalagi, saat ia merasa Dirga mendekatkan wajahnya kepada Rania. Hatinya langsung kalang kabut. Hingga Rania teringat kejadian di pondok dahulu, saat ia mempermalukan diri sendiri karena mengira Dirga hendak menciumnya. Rania memalingkan wajahnya yang merona dan menghapus air matanya. "Eh, a-aku mau melihat kebun binatangmu itu. Boleh?" pinta Rania, gugup. Mereka perlahan melepaskan pelukan masing-masing. "Tentu saja," sambut Dirga. Di bagian belakang rumah tempat Dirga terkadang menyepi itu memang ada banyak kandang bermacam-macam hewan. Agni menyebutnya Dirga's Private Zoology. Ia punya beberapa pegawai untuk mengurus semua hewan dan tanaman. Di sana juga terdapat sebuah klinik kecil. Dirga menerangkan bahwa sebelumnya, ini adalah salah satu proyeknya dan teman-temannya di kampus dahulu. Beberapa temannya yang mempelajari dunia hewan, memanfaatkan tempat ini untuk mempraktekkan ilmu mereka. Misalnya beberapa hewan di dalam klinik sedang dalam pengawasan temannya yang dokter hewan. Atau kolam ikan yang sering didatangi teman-temannya dari perikanan. Ada juga bagian penangkaran hewan. Begitu juga tanaman di sini, sering menjadi percontohan kasus bagi temannya yang mempelajari hama dan penyakit tanaman. Ada juga beberapa tanaman hasil perkawinan silang dan menghasilkan bunga atau malahan buah baru yang unik. "Karena itu kadang ada teman-temanku atau adik kelasku yang datang ke sini saat membutuhkan sesuatu," Dirga menjelaskan kepada Rania yang mendengarkan saksama. "Aku ingin melihat semuanya!" sahut Rania antusias. Dirga menemani Rania dalam turnya. Gadis itu terlihat riang dan berbinar-binar. "Aih... lucu sekali," Rania mengusap-usap seekor kelinci gemuk bermata merah. "Itu Utari," kata Dirga sambil mengangsurkan sebuah wortel. Rania meraihnya dan memberikannya kepada Utari. Dirga berjongkok di samping Rania, ikut membelai punggung Utari. Sekali dua kali tangan mereka bersentuhan, dan keduanya saling bertukar senyum. Dan Rania lebih antusias lagi saat Dirga mengajak Rania ke tempat tanaman hasil persilangan. Gadis itu sampai terbelalak melihat Mawar yang setiap kelopaknya berbeda warna. Atau cabe dan tomat berwarna ungu. "Kamu memiliki rumah paling hebat yang pernah kutahu!" Rania menobatkan. Dirga tergelak. "Terima kasih. Ayo, kita masuk dulu, kamu pasti lapar." Dirga lantas menggandeng Rania ke dalam rumahnya. Rumah itu lengang dan sangat sejuk. Jendelanya juga besar-besar, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitarnya. "Kamu hanya sendirian di sini?" tanya Rania ingin tahu. "Aku memang kemari jika sedang ingin sendirian. Tapi seperti kamu lihat, ada beberapa pegawaiku di sini. Teman-temanku juga sering kemari," terang Dirga. "Apa... Padma pernah ke sini?" gumam Rania perlahan dan hati-hati. "Pernah. Tapi bisa dihitung dengan jari. Dia takut pada hewan dan ada alergi pada beberapa bulu binatang," terang Dirga, tanpa emosi yang dapat ditebak. Rania menelan ludahnya. Padahal, dia yang mengangkat topik soal Padma, tetapi sekarang dia jadi cemburu sendiri mendengar Dirga membicarakan gadis itu. "Kalau kamu suka tempat ini, kamu bisa datang ke sini kapan saja. Walaupun aku tidak ada, kamu tinggal bilang saja, nanti kukatakan kepada pegawaiku agar mereka menerimamu." Rania menahan dagunya. "Apa kamu berencana tinggal di sini setelah menikah?" "Mungkin," Dirga tersenyum. "Tempat ini tidak terlalu buruk, bukan?" "Sudah kubilang, tempat ini luar biasa!" tandas Rania, kembali menegakkan tubuhnya. "Ya. Mungkin. Tapi hanya segelintir gadis yang bisa menikmati tinggal di tempat seperti ini," Dirga mengendikkan bahunya. Rania mengangguk. "Tapi kamu tidak perlu 'segelintir' untuk menikah. Kamu hanya perlu satu orang yang tepat saja," koreksinya seraya menelan potongan daging iga. Dirga mengulum senyum, mengamati Rania. Gadis itu benar. Ia hanya perlu seorang saja. Satu orang. Yang benar-benar tepat menjadi belahan jiwanya. Dan menganggap rumah seperti ini hebat. "Kok, melamun?" tegur Rania. Dirga tersenyum tipis dan menggeleng. "Ran, akhir pekan ini kamu sibuk?" "Asyik! Mau kemana?" tembak Rania, yang membuat Dirga tertawa kecil. "Sepupuku ada pesta perpisahan. Dia mau ikut suaminya ke Amerika. Aku diminta datang mengajakmu." Ragu terpancar di wajah Rania. "Siapa yang meminta?" "Papa," ungkap Dirga. "Katanya, mau tidak mau kamu harus mulai belajar mendekatkan diri dengan keluarga besarku." Rania menghela napas enggan. "Nanti kalau tidak betah, aku bisa mencarikan alasan agar kamu bisa lekas pulang." "Bukan soal betah tidak betah, kamu tahu, kan? Karena hubungan kita hanya sebatas perjanjian, sebenarnya aku ingin sebisa mungkin tidak melibatkan terlalu banyak keluarga kita." "Aku tahu. Tapi sekali ini saja? Hanya aku yang dapat hadir, dan Papa meminta langsung kamu ikut." "Aku tidak sesupel Kak Renjana," ungkap Rania."Tapi bagaimana lagi, kamu sudah melakukan banyak hal untukku, sampai membuatkan rumah kaca segala. Hanya datang ke pesta sepertinya bukan hal besar." "Terima kasih, ya," Dirga tersenyum hangat. Kalau melihatnya seperti ini, siapa yang bisa menolak? Batin Rania, tanpa menyadari konsekuensi dari persetujuannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN