Dengan matanya yang bulat, Rania menunggu reaksi kakaknya yang tengah mencoba cokelat praline buatannya. Hari ini Renjana memang sengaja datang berkunjung ke florist & café milik Rania yang sudah mulai berjalan.
"Jadi, kapan kamu akan memperkenalkan kekasih barumu kepada Ibu dan Bapak?" todong Renjana tiba-tiba.
Pertanyaan itu tidak terduga dan Rania langsung saja gelagapan.
Sejauh ini Ia memang belum memperkenalkan Dirga kepada keluarganya selain Renjana. Atau malahan, mungkin tidak akan pernah memperkenalkan tunangan palsunya itu.
Bahkan waktu itu saja Rania sebenarnya terpaksa memperkenalkan Dirga kepada Renjana karena acara reuni yang menghebohkan di f*******: kampusnya membuat kakaknya itu menyadari hubungannya dan Dirga. Hingga kemudian keduanya pada akhirnya bertemu pun, itu di luar kehendak Rania.
Setelah Rania sempat mendapat berondongan pertanyaan dari kakak satu-satunya itu, kedua orangtua mereka juga sempat bertanya-tanya apakah Rania sedang mulai dekat dengan seseorang. Rupanya kakaknya yang ceriwis itu juga yang memberitahu mereka bahwa Rania tengah memiliki kedekatan dengan seseorang yang istimewa.
“Aku sedang menunggu komentar soal cokelatnya, kok jadi melantur kemana saja,” protes Rania, berharap kakaknya itu kembali fokus pada jerih payahnya.
“Enak kok,” jawab Renjana enteng. “Sepertinya dibuat dengan hati berbunga-bunga, mungkin karena yang bikin sedang jatuh cinta.”
Omongan melantur kakaknya itu lagi-lagi membuatnya mati kutu. Rania mendadak jadi pemalu dan kehilangan kata-kata. Gadis itu hanya mencebikkan bibirnya tanpa sepatah kata pun.
“Eh, Ran, kakak itu punya feeling bagus sama Dirga. Menurutku—“
“Kakak sih dengan semua orang juga bagus terus!” protes si adik.
“Ini serius. SERIUS. Dia itu, kalau fisik semua bisa melihatnya. Tapi, sepertinya dia bukan orang yang suka main-main, bukan yang genit dan tahu cara menghargai orang lain,” imbuhnya.
Rania tidak bisa membantah hal itu dan mengangguk setuju.
Renjana menggeleng tidak percaya. “Benar-benar… seperti dongeng pula!”
Rania menunduk. Berpikir bagaimana agar kakaknya itu berhenti membicarakan Dirga.
Walaupun kakaknya sempat berkomentar kisah Rania dan Dirga seperti dongeng khayalan—dan memang benar! Rania bisa meyakinkan kakak perempuannya saat itu bahwa semua karangannya dan Dirga tersebut memang terjadi.
Namun berkali-kali pula Rania mengatakan masih enggan memperkenalkan Dirga pada orangtuanya karena mereka belum serius. Mana dia tahu kalau belakangan malah terjadi sampai ada lamaran dan bertunangan palsu segala. Bahkan terus bertahan sampai saat ini.
"Kamajaya..." Renjana menggelengkan kepala sambil menggigit cokelat praline yang isinya melumer. "Aku benar-benar tidak percaya adikku punya kekasih seorang Kamajaya! Padahal waktu itu, saat aku katakan soal rencana pernikahan kakaknya, kamu tidak berkata apa-apa!" wanita itu memicingkan matanya menuduh.
"Saat itu mana kutahu kalau dia juga dari keluarga yang sama, Kak!" tegas Rania.
"Dan sudah saatnya kamu mempertemukannya dengan Ibu dan Bapak! Sudah lebih dari sebulan kalian berpacaran." Paksa Renjana lagi.
"Baru sebulan! Lagipula, aku belum yakin hubungan kami... akan sampai ke mana." Suara gadis itu melemah.
Rania tidak ingin membuat keluarganya berharap banyak dan kembali merasa kecewa. Karenanya ia sama sekali tidak ada keinginan memperkenalkan Dirga hingga kapan pun.
"Tapi kalau menurutku sih, dia juga sepertinya dia serius kepadamu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia mengejarmu habis-habisan seperti ceritamu dulu. Bahkan, membiarkan kamu menempati tempat ini. Iya, 'kan?"
Rania terburu-buru mengambil sebuah cokelat dan menyibukkan mulutnya agar tidak perlu menjawab pertanyaan Renjana.
Dirga lelaki baik? Tidak bisa dipungkiri. Dia sangat baik. Tetapi, Dirga sangat mencintainya? Rania akan menjadi tertawaan jika dia sampai berpikir demikian. Rania tahu pasti untuk siapa hati Dirga sesungguhnya.
"Keluarga mereka juga baik?" Renjana menyelidiki.
"Baik. Tante Puspa, Mas Raka dan Agni sangat ramah. Hanya ayahnya, Om Bayu. Agak pendiam," terang Rania sedikit murung. "Atau mungkin memang tidak berkenan denganku."
"Jangan berpikir macam-macam. Yoga bilang, Pak Bayu Kamajaya itu sangat membuka hati kepada Padma. Bukankah Padma juga bukan dari kalangan mereka? Sudahlah, yang pasti Dirga mencintaimu."
Rania sekali lagi menggigit sisa cokelat di tangannya. Setiap kali Renjana berkata Dirga mencintainya, ia merasa dihantam palu. Juga merasa bersalah, karena Rania tidak pernah menutupi apa pun dari kakaknya itu.
Tapi yang satu ini, dia tidak bisa bercerita. Bahwa mereka sebenarnya hanya berpura-pura, walaupun Rania telah sungguh jatuh cinta kepada lelaki itu.
Teriakan ponselnya membuat Rania terperanjat. Ia melihat foto Dirga saat terakhir kali makan gelato terpampang di layar. Gadis itu segera mengangkatnya.
"Halo? Ya, aku baik. Tentu, bisa, bisa," Rania menyeringai lebar. "Oh, aku saja yang ke sana. Aku naik taksi saja. Tolong sms-kan alamatnya... Oke, sampai jumpa."
"Biar kutebak," tukas Renjana setelah Rania menutup ponselnya. "Dirga?" Rania mengerutkan alisnya heran. "Melihat wajahmu yang berseri-seri saja aku sudah bisa tahu."
"Hanya tebakan keberuntungan!" kilah Rania, sekali lagi melahap sebuah praline berbentuk hati dalam sekali lempar ke dalam mulutnya. "Kakak, aku pergi dulu ya."
"Kakak antar!" sambut Renjana antusias.
"Ha? Ah... tidak usah. Nanti lain waktu saja."
"Nanti, nanti, kapan?"
"Aku tidak enak Kak. Aku harus bicara dulu dengannya."
"Aduh, repot! Bilang saja, Kakak kebetulan sedang ada di sini jadi sekalian mengantarmu. Apa susahnya? Pokoknya kakak antar!"
Dan akhirnya, Rania tidak bisa menolak lagi.
***
Dirga menjejakkan kakinya di pijakan tembok panjat. Tangannya yang bertepung berusaha menjangkau sebuah pegangan. Ototnya terasa meregang saat dia menarik tubuhnya naik. Aktivitas ini sudah dia lakukan sekitar dua puluh menit.
Beberapa anggota panjat dinding lain yang lebih muda darinya duduk-duduk di sekitar lapangan sambil memperhatikannya. Dirga sudah selesai memberikan instruksi kepada juniornya, dan memutuskan menghabiskan waktu memanjat tebing sambil menunggu kekasihnya datang.
"Tadi katanya hanya menurunkanku saja," gerundel Rania sambil berjalan menuju lokasi Dirga berada.
"Kakak sudah bilang mau bertemu dia dulu," tukas Renjana enteng.
Rania lantas bertanya kepada seorang pria yang sedang meneguk minuman berion dingin sambil mengobrol dengan beberapa rekannya tentang keberadaan Dirga.
"Itu, Dirga sedang di atas," tunjuknya pada dinding panjat di tengah lapangan.
Tatapan Rania dan Renjana beralih ke sana, mendapati seorang lelaki bercelana sebatas lutut dan berkaos tanpa lengan yang sedang berusaha melewati bagian dinding yang hampir horizontal. "Dirga! Ada yang mencarimu!" seru pria itu.
Dirga, yang sedang berpose seperti laba-laba itu sempat mendongak dalam posisi terbalik, menatap Rania. "Tunggu sebentar!!" serunya.
"Tunggu saja dulu di sini," ujar pria itu.
"Apa saya boleh ke sana?" Rania berminat melihat Dirga lebih dekat.
"Boleh, boleh."
"Sebentar, Kak," Rania meninggalkan Renjana. Kakaknya itu langsung bergabung dan mengobrol dengan pria-pria itu. Seperti biasa, ibu dua orang anak itu memang sangat supel.
Rania mengamati Dirga lekat. Semakin dekat kepalanya semakin mendongak. Dirga dalam pose yang lucu sekaligus bahaya. Rautnya sangat serius mencari jalur-jalur untuk dijejaki hingga sampai ke atas. Otot-otot lengannya menegang, poni rambutnya diikat sementara sisanya berkibar-kibar disapa angin. Rania mematung di tempatnya. Apa yang dilihatnya jauh lebih keren dari model cowboy bersinglet yang pernah dia lihat di majalah.