Cincinnya Mana?

1446 Kata
Akhirnya Dirga semakin dekat ke puncak. Teriakan penyemangat terdengar dari sekelilingnya dan juga tepuk tangan keras. "Ayo, Dirgaa!!" seru mereka. Jantung Rania berdebar hebat, saat Dirga akhirnya berhasil meraih puncak. Lelaki itu berdiri dan merentangkan tangannya. Matahari yang bersinar tepat di belakangnya, membuat Dirga terlihat sangat gagah dan keren. Kalau boleh, Rania ingin sekali terpekik melihatnya. Dirga menunduk, mendapati Rania yang tengah mendongak menatapnya. Lelaki itu tersenyum. Ia lantas melompat, meluncur turun dengan cepat namun terarah. Rania tidak lekang menatapnya. Hingga kaki lelaki itu menjejak mantap dan mendarat tepat di hadapannya. Keduanya berpandangan dengan rasa senang yang diam-diam memberkas di mata mereka saat melihat satu sama lain. "Hei," sapa Dirga, suara maskulinnya melirih. Keringat membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Napasnya tampak terengah, namun Dirga yang jantan bukannya terlihat lelah. Ia lebih seperti hendak menerkam atau b*******h merobohkan tantangan. "Hei," sapa balik Rania yang aliran darahnya menderas seketika. Wajah gadis itu merona, mungkin karena matahari sore. Matanya yang selalu berbinar terlihat lebih cemerlang. Dan bibir Rania yang merekah lembut juga tidak pernah terlihat lebih menggoda dari sekarang. Sepertinya kecantikan dan cahaya matahari bisa menjadi kombinasi berbahaya. Momen sakral keduanya terusik suara lantang Renjana. "Rania!" Ia melambaikan tangan, mengingatkan eksistensinya yang hampir terlupakan. Dirga mengamati wanita yang melambaikan tangan penuh semangat itu. "Oh, Itu Kak Renjana. Tadi dia sedang main di toko dan memutuskan mengantarku." "Oh," Dirga mengangguk-angguk. "Kamu tunggu di sana saja, di sini panas." Dirga meletakkan telapaknya di atas kepala Rania. "Aku mau beres-beres dulu." Ia memberi tanda pada peralatan keamanan memanjat yang masih terpasang di badannya. Rania mengangguk dan berbalik menghampiri Renjana. Kakaknya itu sudah berhasil berteman dengan para pria yang ada di sana. "Katanya Dirga sudah sering ikut kompetisi panjat dinding dan sering naik gunung, ya? Dia juga menjadi instruktur di sini," terang Renjana. "Iya, dulu hampir setiap minggu dia ke sini, kalau tidak sedang mendaki. Belakangan semakin sibuk. Paling hanya sebulan sekali, atau paling sering dua minggu sekali," imbuh pria bernama Rangga. Mereka mengobrol beberapa lama sebelum Dirga kembali muncul sudah dalam keadaan bersih dan rapi, tampak jauh lebih segar. Sebelah tangannya memanggul sebuah tas olahraga merk terkenal. Dirga dan Renjana saling menyapa. "Ya sudah, kita berangkat sekarang saja? Agni sepertinya sudah menunggu," ajak Dirga kepada Rania. Ketiganya berpamitan pada teman-teman Dirga yang ada di sana. Sempat terdengar godaan-godaan teman Dirga untuknya. "Wah, kamu punya kekasih juga akhirnya," serta, "ditunggu undangannya, ya!" dan lain sebagainya. Renjana mesem-mesem sembari mengerling iseng kepada Rania yang pura-pura tidak mendengar godaan itu. "Kapan-kapan, main ke rumahku ya, rencananya mau ada pesta kecil-kecilan buat ulang tahun putriku," Undang Renjana saat sudah duduk lagi di belakang setirnya. "Paling hanya teman-teman sekolahnya Gendis. Yaa sama Kakek dan Neneknya." Orang tua Rania. "Aduh, Kakak, Dirga sedang sibuk-sibuknya sekarang," tukas Rania cepat. Panik. Bagaimana bisa dia membiarkan Dirga bertemu orang tuanya? Seharusnya, Rania juga tidak memperkenalkan Dirga kepada Renjana! Ia sudah cukup ngeri dengan apa yang harus dia hadapi saat hubungannya dan Dirga kandas nanti. "Kan bukan sekarang, Ran! Masih nanti!" paksa Renjana. "Baiklah," Dirga memotong perdebatan adik kakak tersebut. "Kalau tidak ada acara nanti saya datang bersama Rania." "Wah, bagus sekali!" sambut Renjana riang, mendelik penuh kemenangan. Dia memasang kacamata hitamnya dan melambaikan tangan. "Ya sudah. Sampai bertemu lagi." Rania menghela napas. Sepertinya ada lebih banyak orang yang harus dibohongi nanti. "Padahal kamu bisa menolaknya," tukas Rania saat berada dalam mobil Dirga. "Tidak apa-apa. Kami juga kan sudah saling mengenal. Tidak ada salahnya." Dirga menyalakan mobilnya keluar dari sana. "Bukan hanya Kakak. Ada Mas Cahya, iparku. Orang tuaku juga. Mungkin tante dan keponakan juga akan datang semua. Apa kamu mau tragedi di ulang tahun mamamu terulang?" "Maksudmu, aku melamarmu lagi begitu?" kelakar Dirga. "Tidak lucu! Kamu tahu, tragedi pernikahanku dulu itu pukulan untuk kami semua. Mereka akan berharap terlalu banyak kalau kamu muncul di ulang tahun Sekar!" ia tercekat. Kesunyian kembali hadir di antara mereka sebelum Dirga kembali membuka mulutnya. "Tapi, jika keluargamu melihat kamu sudah mulai membuka hatimu kembali. Bukankah mereka akan merasa lebih senang?" Dirga bergumam lembut. Ucapan Dirga menyadarkan Rania akan sesuatu yang hampir dilupakannya. Ia tahu keluarganya diam-diam prihatin melihat Rania yang bertahan sendirian. Ia yakin, Renjana yang tadi terlihat antusias dan senang saat bertemu Dirga, tidak kurang mewakili perasaan keluarganya saat mengetahui Rania sudah berani b******a lagi. "Kalau mereka tidak menyukaimu, tidak masalah. Kalau mereka menyukaimu bagaimana? Apa yang harus kukatakan saat kita putus nanti?" "Katakan saja kamu yang memutuskan dan bersyukur berpisah dariku. Mereka bersedih karena mereka pikir kamu sedang bersedih. Mereka akan baik-baik saja jika melihatmu kuat." Atau, kita buat saja semuanya jadi kenyataan. Imbuh Dirga tanpa mengucapkannya. Rania diam membisu. Sebuah pertanyan tercetus di benaknya. Saat dia berpisah dengan Dirga, apa dia akan kuat? Kedua telapaknya saling meremas resah. "Sudahlah, masih lama juga. Mungkin saja saat itu kakakmu berubah pikiran kalau dia tahu makanku banyak" Rania tak bisa menahan tawanya mendengar celotehan lelaki itu. Tapi gadis itu tahu pasti, kakaknya tidak mungkin membatalkan undangannya untuk Dirga. *** Saat keduanya tiba di butik seorang desainer ternama, Kinanthi, Rania sangat terpesona dengan karya-karya desainer tersebut yang dipajang di sepanjang ruangan. "Mas Dirga!" sambut Agni yang sedang membaca majalah. "Sudah datang yang seorang lagi?" desainer kebaya bernama Kinanti itu bertanya. "Sudah Tante, ini, Kak Rania namanya." "A-aku? Bukannya..." dia menatap Dirga bingung. "Dirga yang hendak diukur?" "Memang Kak Dirga tidak bilang? Kak Dirga menjahitnya bukan di sini. Ini 'kan khusus untuk kebaya," Agni tergelak. "Dia nanti pakai batik." "Mama mau kamu juga ikut di acara lamaran nanti," terang Dirga. Rania jelas terkejut. Ikut ke acara lamaran Raka dan Padma? Ia benar-benar sungkan. Ia mendelik tipis kepada Dirga karena tidak memberitahukan hal sepenting ini sebelumnya. Tapi lelaki itu sudah tenggelam dalam majalah yang dibacanya. Agni menjelaskan beberapa kerabat yang lain sudah diukur, dan Kinanthi memang langganan keluarga mereka. "Wah, panggulnya pas ini. Bagus jika gadis panggulnya lebar, lebih mudah saat melahirkan," kata Kinanthi saat tengah mengukur Rania. "Bagus ya Tante? Kak Dirga beruntung ya?" celetuk Agni sambil cengengesan. Dirga dan Rania tertegun, keduanya saling melirik rikuh. "Kamu ini bicara apa," tanggap Dirga sekadarnya, menahan jengah. "Ihh... kakak malu-malu," goda Agni lagi sambil tergelak. "Nanti kalau kalian sudah menikah pasti mau punya anak. Jadi beruntung punya istri seperti Kak Rania yang katanya mudah melahirkan. Jadi mau punya lima, tujuh, sembilan anak juga tidak masalah. Iya 'kan Tante?" Mau tidak mau celotehan Agni membuat sekelilingnya tertawa. "Maksudnya, proses kelahirannya cenderung tidak bermasalah. Kalau soal banyaknya, ya tidak ada hubungan dengan ukuran panggul," imbuh Kinanthi saat kekehannya mereda. "Ada, Tante, kalau melahirkannya enak jadi tidak kapok punya anak," tandas Agni. "Mana ada melahirkan yang enak!?" sanggah orang-orang di sekitarnya bersamaan. "Ah, curang! Mainnya keroyokan!" protes Agni manyun. Sekali lagi sekelilingnya tertawa. "Wah, ramai ya..." tiba-tiba suara seorang gadis yang baru saja datang menghampiri terdengar. Rania tidak mengenal gadis yang tampak sangat cantik itu. "Kak Sinta!" Agni segera menghampiri. "Makin cantik saja." "Kamu juga," gadis semampai berkulit putih bak manekin itu tersenyum hangat. Tatapannya lalu beradu dengan Dirga, saat senyumnya belum lepas, gadis itu menghampiri Dirga yang juga berdiri dari tempat duduknya. "Apa kabar? Sombong sekarang, selalu menolak kalau diundang makan ke rumah," Sinta terdengar ramah seperti biasa. "Belum sempat," jawab Dirga. Rania bisa melihat lelaki itu kenal baik dengan gadis yang seperti transparan tersebut. Kalau bidadari ada wujudnya, ya mungkin Sinta ini orangnya. "Oh, ya, perkenalkan, ini kekasihku," Dirga mengalihkan perhatian Sinta kepada Rania. Rania yang sedari tadi sedang mengamati gadis itu terperanjat saat pandangan mereka beradu. Sinta melangkahkan kaki jenjangnya yang seperti supermodel mendekati Rania. Semakin dekat, semakin jelas perbedaan tinggi mereka. Rania terpaksa mendongak menatap gadis bertinggi 175 cm itu. "Sinta," dia mengulurkan tangan, memulas senyum. "Rania," suaranya lebih perlahan dari yang dia maksudkan. "Kak Sinta ini dulu teman main layangannya Kak Dirga loh!" terang Agni. "Hush! Jangan bongkar rahasia!" tukas Sinta, seraya tertawa riang. Rania melirik Dirga yang memasang wajah datar saja. Tiba-tiba tatapan Agni jatuh ke tangan Rania. Agni meraih telapak gadis itu dan mengamatinya. "Eh, Kak Rania, cincinnya mana? Kok, cincin tunangannya tidak dipakai?" Deg. Rania kaku seketika. Ia melirik gugup kepada Dirga yang juga memperhatikan tangannya. "Oh, iya! Semalam habis membersihkan kamar mandi. Cincinnya dilepas dulu. Lupa dipakai lagi," kilah Rania cepat. "Jangan dilepas-lepas Kak, nanti ada lelaki lain yang menggoda, kasihan Kak Dirga. Nanti dia tidak bisa senyum-senyum sendiri lagi, tidak sering bersiul-siul lagi di rumah." Agni yang periang itu cekikikan lagi. Tapi sepertinya celotehan Agni kali ini tidak membuat Dirga tinggal diam. Lelaki itu beranjak dari duduknya dan membekap mulut Agni. "Kamu ini bicara apa? Harus dibuat pingsan, ya, sepertinya," tukas Dirga gemas. Agni tertawa-tawa sambil berusaha membebaskan diri dari kakaknya. Sekali lagi tingkah kedua orang itu membuat sekelilingnya tertawa. Tatapan Rania dan Sinta kembali bertemu, dan sekali lagi, Sinta tersenyum kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN