"Yaah... aku ikut dong Kak," rajuk Agni saat ketiganya hendak berpisah dari galeri Kinanthi. "Memang kalian mau ke mana sih? Bosan di rumah sendirian."
"Ya mau pacaran lah. Untuk apa pacaran bawa-bawa bocah, merusak suasana!" tukas Dirga, menggodsa adiknya.
"Kakaak..." Agni merajuk manja.
"Tidak apa-apa, Agni ikut saja," bujuk Rania.
"Tuh, Kak Rania bilang boleh!" Gadis lincah itu bergegas hendak naik ke mobil Dirga. Tapi kakaknya yang memiliki jangkauan panjang, segera menahan lengan Agni dengan tanggap.
"Tidak boleh! Membuntuti orang pacaran itu bisa terkena kutuk, nanti kamu berubah jadi obat nyamuk," kelakar Dirga. Mau tidak mau Rania tertawa juga sementara Agni balik cemberut.
"Ya sudah, aku mau pergi ke klub saja!" ancam Agni dengan raut dibuat menyebalkan.
"Eh, awas ya kalau berani!" Raut Dirga menegas. Ia lalu menyeret Agni ke mobilnya di mana sudah ada sopir menunggu di sana. "Mang, tolong Agni diantar langsung pulang, ya. Kalau saya pulang Agni tidak ada di rumah, nanti Mang yang saya marahi."
Agni memang anak bungsu yang dimanja. Apalagi usianya terpaut cukup jauh dari kakak-kakaknya. Tetapi sebagai anak perempuan satu-satunya, Puspa tidak membebaskan Agni seperti kakak-kakaknya. Dan begitu juga dengan Dirga dan Raka yang sangat melindungi adik bungsunya itu. Agni cemberut dan menyunggingkan bibirnya saat mobil yang membawa gadis itu berlalu dari hadapan Dirga.
"Memang kita mau ke mana sampai-sampai Agni tidak boleh ikut. Beralasan mau pacaran segala, lagi," ujar Rania.
"Aku mau mengajakmu membeli cincin. Hampir saja lupa kalau bukan karena Agni bertanya tadi. Jangan sampai saudara-saudara yang lain juga menyadari kalau kamu sudah tidak mengenakan cincin."
Padahal, mereka hanya pura-pura. Tetapi agar memuluskan skenarionya, Dirga sampai harus melakukan banyak hal yang tidak perlu. Rania merasa tidak nyaman karenanya.
Sesekali, gadis itu melirik ke samping Dirga yang fokus menyetir.
"Ada apa, Ran?' tanya Dirga, yang ternyata menyadari sudah beberapa kali gadis itu melirik kepadanya.
"Uhm... tidak, itu.. Sinta. Dia..." Agak salah tingkah Rania membuka topik.
"Dia anak teman Papaku, kami kenal sejak kecil."
"Pasti akrab sekali ya, sampai dapat seragam juga."
"Iya."
"Dia cantik sekali ya?" pancing gadis itu, hatinya mulai panas.
"Iya."
Bibir Rania merengut, maju beberapa mili.
Dirga melirik, tersenyum tipis merasa geli. "Kenapa jadi cemberut?'
"Tidak! Siapa yang cemberut."
"Kamu cemburu?" lelaki itu memastikan.
"Siapa yang cemburu..! Ngaco!" tampik Rania. "Hanya penasaran saja, habis cantik sekali. Dia model? Sepertinya cocok jadi selebritis. Wajahnya juga tidak membosankan... Belum lagi lulusan luar negeri."
"Kamu naksir Ran?" tembak Dirga.
"Hah!?' Kalau sedang minum, mungkin minumannya sudah muncrat semua. "Gila kamu ya!?' Rania memukul gemas lengan Dirga, lelaki itu terbahak.
"Habis membicarakan dia terus," keluh Dirga. "Bosan."
Rania mengubah posisi duduknya, sedikit miring ke arah Dirga, menatap penasaran.
"Kalian pernah pacaran?"
"Tidak pernah," sanggah lelaki itu. Rania tidak mendeteksi kebohongan di sana.
"Kenapa? Dia kan sangat cantik. Maksudku... sempurna."
"Kenapa aku harus pacaran dengannya?" Dirga sepertinya menganggap pertanyaan tunangannya konyol. "Apa setiap gadis cantik harus aku pacari? Belum tentu juga mereka mau kepadaku."
"Tidak mungkinlah... pasti banyak yang menyukaimu," Rania berujar.
Dirga menoleh sejenak pada gadis di sampingnya. "Oh ya? Kenapa?"
"Ya... kamu kan... hmm... " gadis itu berusaha mencari jawaban yang tidak terlalu personal. "Kaya..."
"Oh..."
"Bu-bukan! Bukan! Bukan hanya kaya," Rania cepat-cepat menyanggah, "Kamu baik. I-iya, kamu baik kok, setia kawan, suportif...." gadis itu mengamati profil samping sempurna milik wajah lelaki yang fokus menyetir tersebut, tanpa sadar membiarkan dirinya terhanyut. "Kamu...." Ucapan Rania mulai berbisik. Tampan... wangi... hangat... keren...
Lamunannya buyar saat Dirga tiba-tiba menoleh, "Kamu kenapa Ran?"
"Eh!? Ah!!" Rania baru tersadar kalau dia mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu dan wajahnya sudah cukup dekat ke bahu Dirga. Dengan kikuk Rania mengusa-usap bahu Dirga. "Ku-kupikir tadi ada la-la-laba-laba di sini... hehehe..." gadis itu tertawa canggung.
"Mhh," Dirga mengangguk ringan, sementara Rania menempatkan dirinya kembali di jok dengan perasaan sangat malu, dan membuang wajahnya ke luar jendela.
Apa yang tadi dia hendak lakukan? Kenapa tiba-tiba terpesona dengan paras lelaki itu?
"Ayo, Ran," ajak Dirga.
"A-apa?" gadis itu menatap linglung dengan wajah masih merona.
"Kita sudah sampai."
"Eh!?" gadis itu menolah ke sekelilingnya bingung.
Benar saja. Dirga sudah memarkirkan mobilnya dengan mulus di sebuah mal. Pikirannya yang sempat kesana kemari membuat Rania lagi-lagi lupa diri. Dengan masih menahan malu, gadis itu turun dari mobil tunangannya.
Rupanya Dirga membawa Rania ke sebuah galeri perhiasan ternama. Bahkan hanya melihat merknya saja, Rania yang tidak familiar dengan dunia berlian sering mendengarnya.
"Kamu mau yang mana?" tanya Dirga.
Ditanya seperti itu Rania lebih bingung lagi.
Selain perhiasan yang terpampang di sana, Rania juga ditawari katalog untuk pemesanan khusus. Tetapi, karena darurat, keduanya sepakat memilih cincin yang sudah ada saja. Rania menyerahkan semuanya kepada Dirga.
Akhirnya Dirga memilihkan sebuah cincin berlian radiant cut berukuran sama seperti cincin sebelumnya, 1,5 karat. Alasannya, agar orang yang melihat tidak begitu menyadari bahwa itu cincin yang berbeda. Rania benar-benar sungkan, tetapi ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia keluar dari toko perhiasan itu dengan hati tidak tenang.
Tiba-tiba, langkah kaki Rania terhenti, mengamati model berlian yang wajah cantiknya terpampang di dinding toko tetapi sebelumnya tidak sempat dia perhatikan.
"Itu... Sinta ya?" tanya gadis itu tidak percaya.
"Iya," tanggap Dirga. "Tebakanmu benar, dia memang bekerja sebagai model di luar negeri."
"Ahh..." Rania mengangguk-angguk. Tidak heran memang. Seandainya Sinta pernah jadi Miss Universe pun, Rania pasti percaya.
***
Saat di dalam lift dan hanya ada mereka berdua, Dirga mengeluarkan cincin dari kotak dan memasangnya di jari Rania.
"Cantik sekali..." desah Rania, tidak bisa menahan diri dengan rayuan berlian di tangannya yang seakan-akan membuat kalimat itu keluar begitu saja. Ia mendongak. "Dirga, padahal... tidak perlu membeli cincin seperti ini. Cincin perak saja, atau—"
"Mana bisa aku membelikan sembarang cincin. Bisa-bisa tante-tanteku menertawakan keluargaku. Dengan nama Kamajaya di akta kelahiranku, aku masih tidak bisa memberikan cincin yang layak untuk calon istriku." Dirga mengangkat tangan Rania dan mengamatinya. Cincin itu berkilau dan berbinar-binar di jari putih Rania.
"Lagipula, cincin ini sesuai untukmu. Radiant. Berseri-seri, berkilauan. Sama sepertimu, yang belakangan sering terlihat berseri-seri." Dirga tersenyum. Menjerat perhatian Rania hanya kepadanya.
Wajah Rania menghangat. Mungkin Dirga tidak menyadari, bahwa lelaki itulah sumber dari semuanya. Ia mengamati Dirga tanpa mampu berkata-kata. Keduanya berpandangan dalam sepi yang tenang. Momen yang sering terjadi belakangan saat keduanya berduaan.
Lantas tiba-tiba pintu lift terbuka. Beberapa orang masuk ke sana. Keduanya terperanjat segera mengatur posisi mereka berdampingan. Walaupun sudah tidak saling memandang, namun tangan keduanya masih saling mengikatkan diri pada satu sama lain.
Rania menunggu lelaki itu melepaskan tangannya terlebih dulu, tapi Dirga tidak melakukannya. Apa dia juga menunggu Rania melakukannya terlebih dulu?
Gadis itu merasakan dadanya berdebar kian keras. Ia melirik, dan mendapati Dirga tengah menolehkan wajahnya ke arah lain. Rania menunduk, tak bisa menahan senyum yang terurai begitu saja di wajahnya karena rasa bahagia. Tanpa menyadari, bahwa Dirga juga sedang melakukan hal yang sama.