Saingan yang Sempurna

1456 Kata
Rania menghitung keuntungan dari penjualannya. Senyumnya mengembang. Lumayan juga untuk toko yang baru buka. Penjualan gelato pun sangat membantu. Memang belum banyak keuntungan yang dia dapatkan mengingat kerugian yang terjadi akibat ulah Sasti. Tetapi, dia cukup optimis dengan kinerja tokonya kalau seperti ini. "Selamat siang... selamat datang di Maharani Florist dan Café," sapa salah seorang pelayan. "Sudah ganti ya?" terdengar suara tajam seorang wanita, yang anehnya terasa familiar bagi Rania. "Restoran Steak yang sebelumnya kemana?" lanjutnya. Rania cepat-cepat menghampiri ke arah pintu untuk menjelaskan. Alangkah terkejutnya dia mendapati seseorang di sana. Keduanya terperangah bersamaan. "Sinta...?" "Kamu... Rania?" kejut di raut Sinta perlahan berubah senyum. "Kebetulan, mungkin kita bisa sekalian mengobrol secara pribadi." *** "Silahkan, ini menu terbaru kami," Rania meletakkan banana split gelato di hadapan gadis cantik itu. "Wah, porsinya besar juga, hmm... terpaksa absen dulu dietnya," Sinta menghela napas pasrah, lantas menyuap sesendok gelato dan pisang. "hmm.. enak..." model itu mengangguk-angguk. "baguslah kalau kamu suka," Rania terlihat benar-benar senang. Sinta mengamati gadis di hadapannya, lantas meletakkan sendoknya tanpa lepas mengamati Rania. "Dirga memberikan tempat ini kepadamu?" Tertegun sejenak, Rania menggeleng. "Aku sewa." "Oh..." Mata Sinta berkeliling mengamati sekitarnya, sebelum kembali menatap Rania. "Aneh, kalau tunangannya, kenapa tidak diberikan sekalian?" Alis Rania bertaut tidak suka. "Apa kaitannya? Walaupun aku tunangannya, aku tidak pernah minta apa-apa." "Ohh..." Sinta mengamati Rania tertarik. "Lalu, cincinnya mana? Cincin tunanganmu?" ia penasaran. "Aku simpan, tidak aku pakai, takut hilang," terang Rania. "K-kamu... kenapa menginterogasiku?" tanya gadis itu akhirnya, setelah sedari tadi sukarela menjawab semua pertanyaan model internasional tersebut. "Coba berdiri," Sinta mengedikkan dagu memberi isyarat. Lagi-lagi Rania menurut saja. Dia berdiri dengan wajah bingung. Sinta mengamati Rania dari atas ke bawah lagi, lalu meringis, tampak benar-benar keheranan. "Apa yang Dirga lihat darimu?" wajahnya penuh teka-teki, berhasil membuat Rania melongo, dan mendengus tersinggung. "K-kamu... sebetulnya ada apa ya? kenapa datang-datang menghinaku." "Padahal, aku jauh lebih cantik darimu, badanku lebih bagus, keluargaku jelas lebih kaya, pergaulanku lebih luas. Aku juga lebih sepadan dengan Dirga." Perkataan Sinta yang diucapkan biasa saja itu sebenarnya terasa seperti panah dart yang dilemparkan satu per satu tepat ke hati Rania. "Aku juga sudah mengikuti apa yang dia mau dariku, bahkan belajar memasak makanan kesukaannya. Kenapa tiba-tiba kamu jadi tunangannya?" "Hah? Kamu..." Rania masih berusaha mencerna semuanya. "Apa kamu hanya tunangan palsu?" tembaknya. "Hiks!" Rania langsung cegukan saking terkejutnya. "K-ke-ke-kenapa kamu menuduh begitu?" "Jangan-jangan dia sengaja menyewamu untuk menghindari perjodohan kami." "Hah!? Kalian dijodohkan!? Hiks!" Cegukannya kian menjadi. Sementara Sinta seperti sibuk sendiri dengan isi kepalanya. Tidak ada satupun pertanyaan Rania yang ditanggapinya. "Kupikir, dulu Dirga ada hati dengan Padma," gumamnya. "Ternyata Padma malah dengan Kak Raka. Terus tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu Dirga tunangan dengan perempuan model begini." "Model begini apa maksudmu!?" sembur Rania. "Hei! Jawab pertanyaanku," desaknya saat Sinta masih tampak bergelut dengan pikirannya sendiri. Akhirnya Sinta menatap Rania dengan lekat. "Kalau bukan karenamu, saat ini aku yang sudah menjadi tunangannya. Tapi, kalau mendengar ceritanya dari Agni, kurasa hubungan kalian mencurigakan sekali." Rania menelan ludahnya, dan matanya berkedip kerap karena salah tingkah. "Kamu main pelet ya?" "Enak saja!" sembur Rania. "A-apa tidak terpikir olehmu kalau Dirga memang benar-benar jatuh cinta kepadaku!?" gadis itu mengangkat dagunya. "Apa Agni tidak cerita, bagaimana dia mengejar-ngejarku dan memaksaku menerima perasaannya?" "Justru itu terdengar lebih mencurigakan," tembak Sinta, sangsi. "Aku sudah mengenal Dirga sejak kecil. Malah kami sudah tidur seranjang." "Hah!?" "Saat kami sama-sama kena cacar di TK dulu," ungkapnya. "Lagipula, aku yakin, kamu tidak mengenal Dirga seperti aku." Rania terdiam, agak lega mendengar mereka hanya seranjang saat TK. "Hei, apa yang kamu tahu tentang Dirga?" "Apa kaitannya denganmu?" kilah Rania. "Masa tunangannya tidak tahu apa-apa?" tantang Sinta. "Benar, 'kan, kamu tunangan palsunya?" "Aku tahu! Aku sudah pernah datang ke rumah pribadinya. Dia suka kemping, naik gunung, berkuda, panjat tebing. Dia suka makanan yang dibakar, suka membaca dan menonton National Geographic. Dia suka menonton film dengan tokoh hewan, dia juga suka film Batman. Dia pernah juara speed climbing, sering menjadi instruktur—" "Apa kamu tahu apa warna celana dalamnya?" "Hah!?" Hampir mata Rania copot mendengar pertanyaannya. "Tahu tidak?" "Pertanyaan tidak penting!" "Tentu saja penting," ujar Sinta. "Yang kamu katakan tadi, itu pengetahuan umum. Bisa kamu dapatkan di majalah atau buletin yang memuat profilnya. Kalau kamu memang dekat dengannya, kamu pasti tahu." Rania melirik waswas kesana kemari. Jangan sampai pembicaraan mereka di pojok ruangan itu terdengar tamu lain atau pegawainya. "Itu informasi yang tidak penting. Aku tidak pernah ada urusan dengan celana dalamnya," Pengelola café itu berdesis waspada, merasakan wajahnya memanas. "Warnanya abu misty," terang Sinta dengan bangga. "Warna terang di siang hari, dan warna gelap untuk di malam hari." "Aku tidak peduli." "Kamu peduli," Sinta meraih ponsel Rania dan menyodorkan ke hadapannya. "Ayo, tanyakan kepadanya. Dia akan menjawab tepat seperti itu. Abu misty." Rania merenggut ponsel itu. Bukan karena dia benar-benar ingin tahu warna celana dalam kekasihnya, dia hanya ingin membuktikan gadis di hadapannya ini bukan sekadar membual. Tidak berapa lama panggilannya diterima. "Halo Ran?" suara maskulin Dirga terdengar "Dirga, apa warna celana dalammu?" "Hah!? Warna..." "Apa? Jawab!" Paksa Rani, tanpa melepaskan tatapannya dari Sinta yang sedang melahap gelato di hadapannya. "Mmh.... Abu misty," lelaki itu menjawab juga walaupun terdengar heran. Jawabannya membuat Rania terkejut. "Kenapa? Kamu mau membelikannya untukku?" Dirga terdengar sangat bingung "Tanyakan, terang atau gelap," bisik Sinta. "Te-terang atau gelap?" Rania menurut saja. "Terang." Sinta tersenyum bangga, "Kalau malam?" bisiknya. "Kalau malam?" Rania membeo. Dirga semakin curiga. "Ada apa Ran? Kamu sedang mengerjaiku atau apa? Sebentar lagi aku harus meeting dengan klien." "Jawab saja!" desak Rania. "Abu-misty-gelap. Cukup? Atau mau lihat sendiri?" Rania mengeratkan rahangnya, sementara Sinta tersenyum besar kepala. "Kita harus bicara," Rania berkata datar. "Masalah celana dalam?" Dirga bingung, namun segera menyambung. "Besok malam aku akan menjemputmu ke pesta Aryani, kita bicarakan saat itu? Hari ini jadwalku agak padat." "Baiklah." Gadis itu menutup teleponnya. Tidak ada waktu bagi Dirga bertanya lagi karena Anggun mengetuk pintu mengantarkan seorang tamu kepadanya. "Masih tidak percaya?" tanya Sinta, tersenyum bangga. "Asal kamu tahu Ran, tidak ada yang lebih mengenal Dirga dari aku. Aku juga sudah melakukan banyak hal untuknya. Jadi, kalau ada yang paling pantas menikah dengan Dirga, itu aku." Rania mendelik kesal kepada Sinta, alisnya terangkat. "Terus selama ini kemana saja? Tiba-tiba muncul seperti ini." "Aku tidak tiba-tiba muncul. Dari dulu aku ada dalam kehidupannya. Dia sudah berjanji akan menikahiku dulu." Rania sangat terkejut mendengarnya. Ucapan Sinta sangat bertolak belakang dengan apa yang Dirga katakan. Gadis itu sampai tak bisa bicara. Berjanji menikahi? "Kamu yang tiba-tiba muncul. Benar-benar mencurigakan," Sinta berdecak, kembali mengamati Rania. "Saat aku mendengar Dirga melamar perempuan, aku shock bukan main. Tapi saat itu aku masih punya pekerjaan. Aku lalu mencari profil tentangmu. Sama sekali nihil. Tidak ada seorang sosialita pun mengenalmu. Benar-benar di bawah radar. Makanya aku terbang ke sini mau melihat sendiri seperti apa gadis pilihan Dirgaku tercinta." Bibir Rania berkedut geli sekaligus kesal. "Lalu apa maumu sekarang?" "Aku mau minta kamu tahu diri. Mundur sekarang. Apapun motifmu menipu Dirga, aku akan membongkarnya." "Aku? Menipu!?" "Kamu bukan gadis pertama yang mencoba memanfaatkannya. Asal kamu tahu saja, dari dulu Dirga itu sudah punyaku. Pada akhirnya, dia akan melihat kalau hanya aku yang cocok untuknya." Sinta berdiri, mengelurkan selembar uang dan meletakkannya di hadapan Rania yang belum mampu berkata-kata. "Ambil kembaliannya." Dengan anggun sekaligus angkuh Sinta berjalan melewati Rania. Gadis itu mengeratkan rahangnya, lalu meraih uang di atas meja dengan kasar. "Hei!" seru Rania, membuat langkah sepatu hak tingga Sinta berhenti, gadis itu berbalik dengan elok seperti merak. Rania meraih telapak Sinta dan menamparnya dengan uang seratus ribu yang ditinggalkannya. "Tidak perlu bayar. Gratis! Aku sedang ingin beramal," desis Rania sembari melotot. Baru kali ini senyum Sinta hilang. Rahangnya mengerat. Dia balik menggenggamkan uang itu pada Rania. "Tidak perlu malu-malu, aku tahu kamu suka uang!" Rania mengembalikannya. "Tapi sepertinya kamu lebih membutuhkannya untuk membeli makanan bergizi!" "Haaah!? Kau—" Sinta terbeliak. "Untukmu saja! Untuk smoothing rambut!" "Aku suka rambut ikalku!" tangkis Rania. Adegan saling berebut mengembalikan uang itu berlangsung beberapa lama Rania memaksa memasukkan lembaran itu ke kerah belakang baju Sinta. Gadis itu sangat terkejut dan kesal karena tidak bisa meraih uang itu di dalam punggungnya. "Sekarang, kau mau keluar sendiri, atau aku minta pegawaiku mengantarmu?" Sinta mendengus mengamati Rania. Tiba-tiba gadis itu tersenyum licik. "Oh satu lagi," sosialita itu berbisik di telinga Rania. "Dirga punya tanda lahir di perut bawahnya, dekat tulang panggul," gadis itu menegakkan kembali badan tingginya dan menatap saingannya, "seksi sekali..." godanya. Sinta mengurai senyum penuh kemenangan dan beranjak pergi dari sana, meninggalkan Rania yang ditelan kesal. Gadis itu merasa Sinta tidak mungkin berani berbohong sejauh itu. Kalau Dirga benar pernah berjanji menikahinya, kenapa lelaki itu malah terus-menerus memanfaatkan Rania menjadi tunangan palsunya, dan tidak menjelaskan mengenai hubungan mereka. Padahal, Rania sudah terang-terangan bertanya, dan Dirga jelas-jelas membantahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN