Kisah Lama yang Kembali 1

1207 Kata
Dirga terlihat rapi saat turun dari mobil MPV hitamnya. Ia mengenakan kemeja hitam yang dilapisi vest cokelat serta dipasangkan dengan denim hitam. Kaki jenjangnya tampak melangkah melintasi pagar dan halaman sebelum kemudian menyalakan bel di pintu rumah kekasihnya itu. Sekian detik berlalu sebelum pintu akhirnya terbuka, menampakkan wajah polos Rania. Heran tak bisa disembunyikan dari wajah Dirga saat mendapati tunangannya tampak belum siap memenuhi undangan. “Kamu belum selesai berdandan?” tanya pria itu memastikan. Rania berbalik enggan dan menjawab malas, “Setelah kupikir-pikir sepertinya aku tidak mau pergi,” ungkapnya, seraya melangkah masuk memasuki rumah diikuti pasangannya. “Kenapa?” Selidik Dirga tanpa melepaskan tatapannya dari rambut Rania yang digulung asal saja. “Kalau tidak mau kan bisa bilang dari kemarin atau tadi. Kenapa tiba-tiba?” Rania tak bicara, duduk diam di sofa sambil membuang muka. Lelaki itu mulai hapal, sepertinya si gadis sedang merajuk. “Apa ada sesuatu?” selidik Dirga lagi. Rania masih memilih bungkam dan tak mau bicara. Ah, kadang perempuan memang rumit begini? Padahal tinggal katakan saja isi kepalanya seperti sebelumnya. “Biasanya kalau ada apa-apa langsung bilang, kenapa mendadak pendiam begini? Hei, ada apa?” kali ini Dirga mendorong pelan lengan Rania dengan pergelangannya, agak mendesak. Ia juga melirik jam tangan sejenak untuk memastikan masih ada waktu. “Kalau tidak mau pergi, tidak apa-apa, tidak usah ikut,” Dirga berujar, seraya mengamati reaksi gadis itu. “Tetapi sepertinya ada sesuatu yang membuatmu marah, jadi jika aku pergi begitu saja pasti masalahnya tidak selesai.” Dirga yang biasanya tak banyak bicara saat tidak perlu, kali ini terkesan sedikit bawel saat berusaha membujuk Rania yang tampak merajuk karena sesuatu. Tiba-tiba, Dirga teringat dengan pembicaraan terakhir mereka. “Apa ini berkaitan dengan pembicaraan terakhir kita, soal… celana dalam?” Dirga memastikan dengan nada heran. Barulah saat itu Rania melirik ke arahnya sembari merengut. “Ah, benar ternyata! Ada apa?” Dirga sedikit memiringkan kepalanya, untuk membujuk Rania dan melihat wajahnya lebih jelas lagi. “Kamu mau melihat celana dalamku?” “Ih!” Rania segera meraih bantal sofa di sampingnya dan menghantamkannya keras ke arah Dirga hingga menumbuk dadanya. Lelaki itu menangkapnya dan tertawa. “Lalu kenapa? Ada apa? Jangan diam saja begini, kamuu membuatku bingung. Biasanya kalau marah, marah saja tanpa disaring. Kenapa jadi pendiam begini habis tanya-tanya soal celana dalamku?” Akhirnya gadis itu menatapnya garang. “Karena lagi-lagi kamu bohong kepadaku!” sembur Rania, tanpa berusaha menahan kemarahannya lagi. “Kamu bilang, tidak ada hubungan apa-apa dengan Sinta, tidak pacaran, hanya teman masa kecil.” “Yang bilang sebaliknya siapa?” Dirga balik bertanya. “Dia sendiri yang bilang kepadaku, kemarin dia datang ke tempatku, ingin mencarimu. Akhirnya kami bicara, dan dia bilang kau pernah berjanji mau menikahinya. Dan kalau bukan karena aku, kalian sudah bertunangan! Dia juga bilang—“ “Sudah, cukup,” potong Dirga, menutup mulut Rania dengan telapak tangannya. Ia mulai mengerti masalahnya. “Jadi, dia yang membuat kamu bertanya soal celana dalam kemarin?” tebak lelaki itu, dan mendadak rautnya berubah lega. “Hh… syukurlah. Kupikir kamu punya obsesi tersendiri dengan warna celana dalam tertentu dan ingin mengoleksinya.” “Dirga!!!” Rania kian geram dan memberengut kian dalam, sementara lelaki di sampingnya itu kembali tertawa saja. “Jadi, kenapa kamu tidak menceritakan hal yang sebenarnya, kalau kamu punya Sinta?” “Punya Sinta?” Dirga mengerutkan alisnya, kurang setuju dengan pilihan diksi Rania. “Sinta bukan punyaku dan aku bukan punya Sinta.” “Maksudmu dia berbohong, begitu? Tetapi dia bisa membuktikan semuanya. Dia benar-benar hapal, sampai-sampai…” ucapan Rania terhenti, mendadak ingat omongan Sinta mengenai tanda lahir Dirga. Saat itu matanya spontan terarah ke arah yang disangkakan menjadi lokasi adanya tanda lahir tersebut. Di perut bawahnya, dekat tulang panggul. Dirga ikut menunduk mengikuti arah pandangan gadis di hadapannya. Rania tersadar, segera mengangkat wajahnya dan bertabrakan dengan tatapan penuh selidik Dirga. Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya tanpa berkata apa-apa. Entah kenapa wajah Rania memerah seketika dan merasa malu. “Bukan begitu!!” sanggahnya, sontak membuang wajah dari lelaki itu. “Aku tidak berkata apa-apa…” “Tetapi sepertinya kau menuduhku yang tidak-tidak!” “Perasaanmu saja,” tanggap Dirga santai. “Lagipula dari tadi yang menuduh macam-macam kan kamu. Aku sudah bilang, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Sinta. Hanya teman masa kecil.” Dirga membenahi duduknya, dan bersandar di sofa. “Sudahlah, kalau kau tidak mau pergi, tidak usah pergi.” Sejenak Rania terdiam, akhirnya dia kembali memutar wajahnya menatap Dirga. “Apa benar kamu pernah berjanji mau menikahinya?” selidik Rania. “Pernah. Tapi itu bukan hal yang serius.” “Hah!? Bagaimana mungkin kamu berjanji dan—“ “Diam dulu sebentar. Kamu mau mendengar penjelasanku atau tidak?” Rania akhirnya membungkam mulutnya. “Dulu aku belum punya adik perempuan. Dia itu setahun lebih muda dariku. Memang kami sangat dekat waktu anak-anak, dan dia benar-benar lengket kepadaku. Kak Raka sering sakit-sakitan sejak kecil, jadi Papa lebih sering mengajakku kesana kemari. Sinta satu sekolah denganku, dan sering mengikutiku ke sana kemari. Malahan, dia susah diatur orangtuanya dan lebih mendengarkanku,” papar Dirga terus terang. “Hal ini sering dimanfaatkan oleh orangtuanya, mereka suka memintaku untuk meminta Sinta melakukan ini itu, karena dia lebih menurut kepadaku. Soal janji menikah itu, karena Sinta sakit dan tidak mau berobat ke dokter. Dia bilang, dia mau ke dokter kalau aku janji mau menikah dengannya nanti. Aku iyakan saja—Aduh!” Cerita Dirga terpotong cubitan Rania di pinggangnya. “Saat itu umurku baru sekitar 7 tahun, mana aku paham dia serius atau bercanda, aku iya iyakan saja seperti perintah orangtuanya! Lagipula, dulu dia suka menemaniku main layangan dan sangat tomboy. Kupikir dia melantur. Mana aku tahu dia benar-benar menganggapnya serius dan mengingatnya sampai saat ini.” Rania menatap Dirga serius. “Tapi kamu tahu kan, kalau dia menyukaimu?” “Aku tahu,” aku lelaki itu tanpa mengelak. “Lalu?” “Apanya?” “Lalu bagaimana? Apa dia menyatakan perasaan kepadamu? Apa kau menerimanya? Kalau tidak, kenapa kau tidak menerimanya?” “HHhh…!” Dirga menghempaskan napasnya. “Kamu jadi terdengar seperti kakakmu yang kamu bilang senang menginterogasi.” Tentu saja, ia kan harus tahu perihal saingannya. Rasanya, jika gadis seperti Sinta saja ditolak Dirga, presentase kemungkinan hubungannya dan lelaki itu jadi nyata pastilah sangat-sangat kecil. Tiba-tiba, ponsel Rania yang sedari tadi membisu terdengar berdering. Gadis itu meraihnya dan mengamati nomor yang tampak di layar. “Dia lagi,” keluh Rania. “Siapa?” Selidik Dirga. “Tidak tahu, selalu menelepon tetapi tidak pernah terdengar apa-apa.” Sejenak Rania berpikir, sebelum akhirnya memutuskan menerima panggilan itu. “Halo…?” sapanya. Tidak ada jawaban. Rania mengulang sapaanya beberapa kali tetapi masih nihil. Tiba-tiba, Dirga merebut ponselnya dari kekasihnya. “Halo, ini siapa? Mau apa?” tanya Dirga tegas. Lelaki itu tertegun, alisnya berkerut bingung. “Dimatikan.” Tak lama ponsel itu kembali ke genggaman pemiliknya. “Nomor ini sudah dua tiga kali menelepon tapi tidak pernah bersuara. Pernah tidak kumatikan, ternyata dia juga tidak mematikannya.” Ucapan Rania cukup membuat Dirga waswas. “Jangan diangkat lagi, blokir saja nomornya,” perintahnya.   Adit mengamati layar ponsel, dan menurunkan tangannya lunglai. Dari kejauhan ia mengamati rumah Rania. Sepertinya mantan calon isterinya itu, sekarang sudah benar-benar membuka lembaran baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN