Kisah Lama yang Kembali 2

1265 Kata
“Sudah diblokir?” Dirga memastikan saat Rania hanya mengamati ponselnya seraya terdiam. “Sudah diblokir belum?” Gadis itu menggeleng, mengangkat wajahnya menatap Dirga. “Takutnya ini salah satu pelanggan lama toko bungaku,” kata Rania. “Mungkin ponselnya rusak, jadi dia tidak tahu kalau aku tidak bisa mendengar suaranya.” “Tapi dia kan bisa kirim SMS kalau memang itu kasusnya, “ Dirga berujar. “Aku sudah mengirim pesan, juga tidak dibalas,” ungkap Rania, dengan nada sedikit cemas. “Baiklah, nanti kalau dia telepon lagi dan masih seperti ini, aku blokir saja nomornya.” Dirga tampak termenung sejenak. Ia merasa ada sesuatu. Sepertinya, Rania mengharapkan kalau panggilan itu datang dari seseorang. “Hei,” pemilik toko bunga itu melambai-lambaikan telapak tangannya di hadapan wajah Dirga, membuat lelaki itu mengerjapkan matanya agak terkejut. “Lalu bagaimana?” “Apanya?” “Soal Sinta!” Gadis itu terdengar gemas. “Jadi, akhirnya bagaimana? Apa kamu… benar-benar memutuskan begitu saja hubunganmu dengannya.” “Aku tidak memutuskan hubungan apa pun, karena kami memang tidak pernah punya hubungan apa-apa,” Dirga kembali melirik jam tangannya. “Kalau kamu memang tidak mau ikut ke pesta, aku akan menghubungi saudaraku dan mengatakan bahwa aku tidak bisa datang.” “Loh? Bukannya sepupumu mau pergi ke Amerika?” Rania mengingatkan. “Iya, besok saja, aku ikut mengantar ke airport,” putus lelaki berperawakan tegap itu. Tatapannya kembali beralih ke ponsel Rania. Sejujurnya, dia jadi agak mencemaskan Rania. Bagaimana kalau itu datang dari orang yang ingin meneror tunangannya itu, atau orang lain yang memiliki motif tidak baik kepadanya. “Kalau kamu tidak pergi, aku jadi merasa bersalah,” keluh Rania. “Tapi aku juga malas pergi… apalagi mungkin Sinta ada di sana, ‘kan?” “Sepertinya dia memang akan hadir di sana,” ungkap Dirga terus terang. “Memangnya, apalagi yang dia lakukan, sampai membuatmu enggan bertemu dengannya.” Rania membuang napasnya mendengar perkataan lelaki itu. “Aku tidak mau terdengar seperti mengadukannya,” keluh gadis itu. “Hanya saja, dia membuatku agak merasa bersalah dan waswas. Dia bahkan terang-terangan mengaku kalau dia curiga kalau kita hanya… tunangan bohongan.” Perkataan itu jelas mempengaruhi Dirga juga. “Dia bilang begitu?” Rania mengangguk. “Itu membuatku tidak nyaman, apalagi bertemu keluarga besarmu.” “Sinta memang agak manja… tetapi dia sebetulnya… tidak pernah terang-terangan mengatakan kalau dia menyukaiku. Aku hanya tahu, dia dari dulu akan melakukan apa saja untukku. Dan, dia juga katanya… suka mengancam gadis-gadis yang menyukaiku… Sampai aku SMA.” “Dirga, kalau ada Sinta, ke-kenapa… kamu tidak minta tolong dia saja, untuk menjadi pasangan palsumu saat itu? Atau mengatakan kepada Padma, bahwa kamu memutuskan memilihnya?” tanya Rania penasaran. “Aku tidak bisa,” Dirga menggeleng. “Karena aku tahu dia serius, aku tidak bisa menjadikan Sinta tameng seperti itu. Rasanya seperti mempermainkan perasaannya. Lagipula, kamu tahu sendiri situasinya seperti apa saat itu. Kalau mungkin, aku juga tidak ingin… memanfaatkanmu begitu.” Sejenak Rania tercenung. Penjelasan Dirga tidak ada yang tidak masuk akal, semua bisa diterima logikanya. Tetapi hadir di acara keluarga itu rasanya tidak nyaman, apalagi jika ada Sinta. Nanti dia pasti dibanding-bandingkan. Seperti saat dia menjadi bahan gosip di kantor Dirga. Apalagi saingannya kali ini supermodel internasional. Yang benar saja! “Omong-omong, bagaimana bisa, Sinta tahu jelas warna celana dalammu?” Selidik Rania curiga, mulai ingat lagi detail yang Sinta katakana. “Itu karena aku tidak mau ambil pusing kalau saat aku kecil dulu Mama mau belikan pakaian dalam, aku akhirnya selalu bilang, belikan saja warna abu misty. Akhirnya terbawa sampai dewasa. Efisiensi waktu yang harus dihabiskan memilah-milah hal kecil seperti itu. Jadi ya wajar saja Sinta tahu. Seperti kubilang, keluarga kami sangat dekat. Kami ke sekolah yang sama, berenang bersama, piknik bersama saat aku kecil. Ayahku dan ayahnya sempat satu sekolah dan bekerja bersama sebelum masing-masing merintis perusahaan sendiri-sendiri,” papar Dirga. “Ada lagi yang mau ditanyakan, Nona Rania?” Sejenak Rania termangu, lalu menggeleng. “Aneh saja, padahal Sinta seperti perwujudan gadis idaman semua pria, kok bisa—“ “Sudah jangan melantur lagi. Jadi kamu akan datang ke pesta atau tidak? Kalau tidak, aku akan mengabari Tante. Kalau mau, aku akan menunggumu.” Gadis itu terlihat berpikir sebentar. Sungkan karena hampir melanggar janjinya. Walaupun entah kenapa Rania merasa sangat enggan, akhirnya dia memutuskan memenuhi janjinya. “Baiklah, aku ganti pakaian dulu, apa tidak akan kemalaman?” “Tidak masalah, ini kan bukan pesta resmi. Hanya kumpul-kumpul saja,” kata Dirga. “Baiklah, tunggu sebentar,” akhirnya Rania beranjak menuju kamarnya. “Eh, kalau mau minum—“ “Nanti aku ambil sendiri,” sahut Dirga.   *** Aditya cukup terkejut saat dia masuk ke apartemennya dan mendapati sudah ada Sasti di sana. “Darimana?” tanya gadis mungil dengan kedua tangan bersilang di dadanya. “Aku kirim pesan tidak dibalas, aku telpon tidak diangkat. Apa maksudmu?” Adit membuka dan melemparkan jaketnya ke atas sofa, lalu beranjak ke lemari es tanpa menhiraukan gadis itu. Sasti tidak bersabar dia menyusul Adit cepat, menarik lengan pria itu yang sedang meraih sekaleng cola. “Adit!! Jangan mendiamkanku!!” “Memangnya kalau aku mau melakukan apa, mau kemana, aku harus lapor terus kepadamu!?” sentak Adit, yang jelas mengejutkan Sasti. Sejenak raut gadis itu tampak sangat terkejut bahkan seperti hampir menangis. “Kenapa kau berbicara kasar seperti ini….? Apa salahku? Aku hanya mengkhawatirkanmu…” ditatapnya lelaki pelontos berkulit bersih itu. Adit tampak menghela napas dan menghembuskannya keras, berupaya mempertahankan kesabarannya. Sejujurnya, melihat kehadiran Dirga di rumah Rania membuatnya benar-benar geram, marah, sekaligus sedih. “Aku butuh waktu sendiri,” Adit berujar perlahan. “Kurasa kita—“ “Kamu mau putus?” Sasti menatap dramatis. “Kamu mau mengakhiri hubungan kita. Iya, begitu!?” “Sasti, aku—“ “Kamu mau aku hancur seperti apa lagi, Dit!? Kamu mau aku mati!!? Kalau kamu mau aku mati, bilang Dit! Bilang!!” Sejurus kemudian gadis itu sudah merangsak ke arah pisau yang tersimpan di rak. Adit sangat terkejut, dan berusaha untuk mencegahnya. “Trang!!” pisau itu jatuh ke lantai, dengan jejak darah di sana. Adit sangat terkejut melihatnya, sepertinya pisau itu sudah berhasil melukai tangan Sasti yang sembarangan menggenggamnya. “Sasti… tanganmu,” Adit menjulurkan tangannya cemas, hendak membantu Sasti. Tetapi gadis itu menghempaskan tangan Adit dan menyembunyikan tangannya. “Jangan sentuh!! Kalau kamu mau meninggalkanku, kamu tidak usah peduli lagi kepadaku!!” suara Sasti terdengar gemetar, dan matanya berkaca-kaca. “Tapi tanganmu terluka,” bujuk Adit. “Kita obati dulu.” “Tidak! Tidak! Tidak!! Aku tidak mau berobat!!” Sasti menggelengkan kepalanya keras. “Aku tidak mau berobat, kalau kamu mau meninggalkanku. Aku tidak mau!!!” pekiknya. “Tenang dulu, Sasti, tenang,” pria itu berusaha membujuk. Sementara Sasti masih berteriak dengan histeris dan dramatis, mendesak Adit lagi-lagi harus mengikuti kemauannya. “Iya! Iya, Sasti! Iya, baiklah, baiklah… tenangkan dirimu… tenang! Aku tidak akan berbicara mengenai hal itu lagi. Tidak akan!!” Kedua telapak Adit yang kukuh mencengkeram bahu Sasti, berusaha menenangkannya. Mendengar ucapan kekasihnya, Sasti dengan sigap memeluk Adit erat. “Jangan  tinggalkan aku, Dit… jangan… Aku hanya punya kamu. Kalau kamu tidak ada, aku lebih baik mati saja…” “Sssh… sudah, sudah, jangan bicara yang tidak-tidak…!” Adit mengingatkan. Lelaki itu mengeratkan rahangnya pahit. Sementara Sasti tersenyum dingin. Dia tahu pasti kemana Adit pergi. Sasti sudah membuntutinya tadi. Sasti tahu Adit memata-matai Rania. Dia juga tahu Adit melihat kedatangan Dirga. Benar-benar… kenapa ada gadis seperti Rania, yang selalu mendapatkan hal-hal baik dalam hidupnya. Sasti benar-benar tidak mengerti. Tapi dia akan memastikan, bahwa Rania akan tahu bahwa hidupnya tidaklah seberuntung itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN