“Iya, kami sudah mau pergi, tadi ada masalah sedikit, iya… aku datang bersama Rania, Tante.”
Rania bisa mendengar obrolan kekasihnya di ponsel saat dia akhirnya sudah selesai mempersiapkan diri. Saat dia keluar dari kamar, Dirga baru saja menutup sambungannya.
Mata pria itu tampak berbinar melihat kecantikan di hadapannya. Rania sebenarnya cukup pandai berdandan, dia tahu bagaimana terlihat menarik walaupun tanpa melibatkan MUA profesional atau MUA pribadi seperti yang saudara-saudara Dirga miliki.
“Sudah ditunggu ya?” Rania memastikan, membuat Dirga yang sempat terpesona spontan mengerjapkan matanya, kembali tersadar.
“Iya, ayo. Ada yang ketinggalan tidak?”
Sejenak Rania mengamati dirinya. Lalu membuka isi tasnya, ada ponsel, tisu, bedak. Itu saja yang dia butuhkan.
“Sepertinya sudah,” terang Rania.
“Cincinnya mana?” Dirga akhirnya yang menyadari terlebih dahulu apa yang kurang dari tampilan kekasihnya.
“Oh, iyaa…!” Rania memukul tipis dahinya dengan telapak sebelum berlari kecil kembali ke kamarnya.
Saat muncul lagi, berlian itu sudah terlihat bersemat di jari lentik Rania.
“Aku baru ingat,” Rania berujar seraya berjalan bersama Dirga keluar rumah. “Sinta juga sempat bertanya kemana cincinku, karena saat dia datang kemarin, aku sedang tidak mengenakannya.”
“Makanya pakai,” tanggap Dirga singkat, sebelum membuka pintu mobilnya.
“Tetapi aku ini kemana-mana ‘kan naik motor atau taksi. Kamu pikir, aku bisa tenang berkeliaran seperti itu dengan menggunakan cincin berlian semencolok ini? Belum lagi, kalau di café. Ada banyak pelanggan di sana, aku juga sibuk ini itu. Kalau lepas atau apa… Ngeri rasanya. Entah aku sanggup memberikan ganti rugi kepadamu atau tidak.”
Salah satu sudut bibir Dirga tertarik tipis mendengar keterangan Rania.
“Apa kamu perlu mobil juga? Kamu bisa nyetir?” Dirga memastikan.
Gadis itu mendengus dan memandang Dirga judes, “Dengar ya, Tuan, aku tahu kamu bisa memberikan mobil, tapi aku—“
“Tidak mau!” sambar Dirga.
Sejenak Rania tertegun, lantas berujar, “Nah, itu sudah tahu!”
“Ini kan bukannya, buang-buang uang, pamer, atau hanya iseng. Ini PERLU, ada maksud dan tujuannya. Kalau kamu khawatir masalah keamanan, tidak ada salahnya mulai menggunakan kalau kamu memang bisa menyetir.”
“Kalau tidak bisa?”
“Berarti harus dicarikan dengan sopirnya.”
“Ck! Tidak terima kasih!” tolak Rania mentah-mentah. “Aku masih punya caraku sendiri mengatasi masalah ini.”
“Apa?”
“Lepas saja cincinnya, gampang ‘kan!?” sahut Rania enteng. “Lebih praktis dan efisien!”
Dirga menghela napasnya. “Terserah saja.”
Rania melirik tipis pada kekasihnya tersebut, menyadari bahwa Dirga sepertinya agak kesal. Entah karena masalah mobil atau karena dia lebih memilih melepas pakai cincinnya.
“Yah, bagaimana lagi, karena tunanganmu orang seperti aku. Aku masih harus berkeliaran di luar sendirian, aku masih harus mengerjakan pekerjaan rumah. Cincin semahal dan sebagus ini seharusnya diberikan pada Tuan Putri, yang kemana-mana naik mobil, dan turun di lantai berkarpet. Yang alas kakinya saja tidak pernah kotor, dan tangannya semulus sutra,” terang Rania.
Driga tak berkata apa-apa lagi, tetapi sepertinya emosi lelaki itu mulai melunak.
“Eh, omong-omong, Agni kemana?” Rania berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Dia sedang studi tour, ke Singapura. Katanya sekalian menjenguk Kakak dan Mama,” ungkap Dirga.
“Tante bilang, Mas Raka sudah membaik? Syukurlah, aku sangat lega mendengarnya.”
“Iya, hanya harus kontrol saja dan melakukan beberapa perawatan. Jika dalam dua minggu kondisinya terus stabil, sepertinya sudah boleh pulang,” imbuh Dirga.
“Hmmm… ya, kudengar juga begitu,” Rania melipat bibirnya tipis, agak gelisah. “Uhm. Dirga, ada satu hal yang membuatku agak bingung. Tante bilang, kalau mereka sudah kembali dari Singapura bersama Mas Raka, katanya mau mengadakan makan malam, keluargaku diminta datang,” gadis itu menatap gamang. “Memang kita belum tahu pasti kapan tepatnya hal itu terjadi, tetapi jika memikirkannya, aku jadi gelisah.”
“Sudahlah, tidak apa-apa, tidak perlu dikhawatirkan dari sekarang, karena tidak akan ada solusinya. Nanti saja hal itu dibicarakan lagi,” ungkap Dirga.
Rania pun menyetujuinya. Lagipula, sekarang ada masalah yang lebih nyata.
“Oh iya, omong-omong, Dirga, apakah aku pernah bertemu mereka semua saat ulang tahun Tante?” Rania memastikan, mengenai kerabat Dirga yang akan ditemuinya sekarang.
“Kurasa tidak, saat itu kamu hanya bertemu dua orang tanteku, Papa masih punya dua orang adik perempuan lagi.”
“Papamu, hanya punya adik perempuan?” Rania memastikan.
“Iya, benar, Papa lima bersaudara, keempat adiknya perempuan semua,” terang Dirga.
Berbeda dengan keluarga ibunya yang sederhana Lelaki itu lantas bercerita mengenai siapa saja keluarga dari pihak ayahnya, dan anak-anak mereka. Rupanya, adik-adik Pak Bayu juga menjadi keluarga pengusaha. Hanya saja, karena adiknya perempuan semua, hanya Pak Bayu dan keluarga intinya yang menggunakan nama keluarga Kamajaya sekarang, sementara sisanya sudah mengikuti suami mereka masing-masing.
Sedikit banyak informasi itu membuat Rania agak berdebar-debar. Dia belum memikirkan benar-benar apa yang akan dihadapinya nanti.
Rasa enggan itu kembali menggeliat di hatinya, entah kenapa. Saat dia menoleh menatap Dirga, dia berusaha menghentikan pikirannya yang berlebihan itu.
Kali ini lamunan Rania diinterupsi oleh suara perutnya sendiri yang agak mengejutkannya.
“Kamu mau makan dulu, Ran?” Tawar Dirga, saat mendengar perut gadis itu tiba-tiba berbunyi dan membuat si cantik agak bersemu.
“Ya, sejujurnya aku memang sangat lapar,” ungkap Rania terus terang, sembari meringis malu. “Tetapi kalau makan dulu, nanti semakin kemalaman sampai di tempat keluargamu. Aku semakin sungkan,” ungkapnya.
“Kita beli saja sesuatu untuk dimakan di jalan,” usul Dirga, sambil mulai melihat-lihat ke tepi trotoar pada beberapa warung tenda yang terdapat di sana.
“Eh, aku tahu ada warung sate maranggi yang enak, di dekat salah satu warung seafood favorite kakakku. Tidak begitu ramai, tetapi menurutku sih, enak sekali, karena memang agak tersembunyi dan hanya gerokan saja.” Gadis yang lapar itu merekomendasikan, yang disusul bunyi perutnya lagi. “Mengingatnya saja sudah membuat perutku semakin lapar,” imbuhnya, yang disusul tawa Dirga.
“Ya sudah di sana saja.” Lelaki itu setuju.
“Eh, benar, tidak apa-apa?” tanya Rania. “Kamu suka juga sate maranggi?” ia memastikan.
Dirga tersenyum tipis. “Tentu saja, jangankan makanan enak seperti sate, kalau terpaksa, jangkrik, tanah liat hingga cacing tanah bisa kumakan!” sahut lelaki itu.
Rania merinding mendengarnya, tetapi itu bukan hal yang aneh. Dia juga tahu benar bagaimana teman-temannya yang pecinta alam kerapkali melakukan hal itu. Bahkan, sepertinya itu bukan tantangan untuk mereka.
Selagi menunggu pesanan mereka datang, Rania menyadari bahwa lelaki itu berkali-kali berkomunikasi dengan keluarganya. Sepertinya Dirga memang sosok yang dekat dengan keluarganya.
Setelah mendapatkan pesanan satenya, Dirga kemudian kembali menjalankan mobilnya. Sesekali Rania memberikan setusuk sate untuk dinikmati pria itu. Tiba-tiba, saat Dirga sedang menikmatinya ketika lampu merah, sedikit bumbu jatuh menetes di permukaan paha lelaki itu.
“Euh…” keluh Dirga saat menyadari perbuatannya, lalu meletakkan sisa tusuk sate pada tempatnya, tangannya beralih meraih kertas tisu. Hal tersebut menarik perhatian Rania yang beralih memperhatikannya.
“Eh, jangan,” dengan cepat Rania meraih tisu di tangan Dirga. “Jangan digosok, nanti malah nodanya semakin banyak,” ungkap gadis itu, dan mulai mencubit noda di celana Dirga. Rania mendongak. “Kalau seperti ini nodanya tidak menyebar dan akan lebih mudah dibersihkan nanti,” terangnya.
Kalimat Rania tidak mendapat jawaban. Ia hanya mendapati lelaki itu tengah menunduk, menatapnya. Tatapan mereka bertemu, dan tiba-tiba jantung Rania mengalami percepatan. Berdebar keras dan kian mengeras. Apalagi saat menyadari jarak mereka kian berkurang.
“TIIIIIITT!!!” klakson mobil di belakang mereka memberi kejutan tak menyenangkan.
Rania segara menegakkan badannya dan demikian juga Dirga. Lelaki itu terburu-buru menjalankan mobilnya kembali.
Beberapa saat kemudian Dirga berkata, “Suapi aku, masih lapar.”
Rania menoleh dan melirik sate yang masih tersisa di pangkuannya. Tak banyak bicara gadis itu memenuhi permintaannya. Mereka sempat saling melirik dan entah kenapa, sama-sama tersenyum bahagia dengan malu-malu.