Sambutan Dingin

1072 Kata
Mobil Dirga akhirnya memasuki area sebuah rumah yang luar biasa besarnya. Dari kejauhan Rania bisa melihat parkiran mobil yang diisi deretan mobil-mobil mewah. Beberapa orang anak muda tampak berkumpul di teras sambil tertawa-tawa, Rania mengamatinya dari jendela mobil saat Dirga sedang memarkirkannya. “Kita tidak akan lama,” kata Dirga, seakan menenangkan Rania. “Kalau kamu tidak nyaman, bilang saja, aku akan pamitan.” Rania mengangguk, dan membuka pintu mobil itu sebelum menjejakkan sepatu berhak 5 cm yang digunakannya. “Mas Dirga!!” sapa seorang laki-laki yang tampaknya masih duduk di bangku kuliah, Dirga tersenyum tipis dan mengangkat tangannya tanpa berkata. Beberapa orang menghampiri Dirga, dan lelaki itu memperkenalkan Rania. Memang banyak wajah asing yang Rania belum sempat lihat. Dan jujur saja, tak banyak yang bersikap ramah kepadanya, walaupun sangat terlihat mereka sangat ramah dan sungkan kepada Dirga. Mungkin karena lelaki itu adalah putra dari anak tertua sekaligus keluarga yang paling ternama. Dan sepertinya, mereka juga tahu kalau Rania benar-benar tak seberapa jika dibandingkan dengannya. “Dirga!!” sapaan kembali terdengar saat lelaki itu dan kekasihnya memasuki ruangan rumah mewah bergaya Mediterania. Seorang wanita yang sangat cantik mengenakan gaun malam bewarna sampanye dengan belahan setengah paha menghampiri mereka. “Syukurlah kau datang, kukira tidak ada yang akan hadir dari keluarga Om Bayu,” ujar Aryani blak-blakan. Sekali lagi Dirga hanya menanggapi dengan senyum singkat, dan segera memperkenalkan Rania. “Oh, tunanganmu!? Baru sempat bertemu sekarang ya,” gadis itu tersenyum, memamerkan lesung pipi di sebelah kanan. Aryani memang cukup ramah, seperti yang Dirga katakan, dia salah satu sepupunya yang dekat dengannya. Mereka juga diperkenalkan dengan Ryan, pria bule asal Amerika yang akan memboyong Aryani ke sana. “Kalau kalian ada waktu, mampirlah ke rumahku di sana, ya?” ajaknya ramah, Rania hanya tersenyum dan mengangguk. “Sudah, sana, cepat makan dulu. Sepertinya tinggal kalian saja yang belum makan,” tawar Aryani. “Sebetulnya kami sudah makan dulu tadi di jalan, karena ada sedikit masalah, kami jadi keburu lapar,” Dirga berujar, sedikit meringis sembari memegangi perutnya, dan mengundang tawa Aryani. “Makan sama apa tadi?” tanyanya kepada Rania. “Kami beli sate tadi sambil lewat,” terang gadis itu. “Di sini makanan melimpah ruah, yang masak chef profesional, kok, malah beli makanan di pinggir jalan,” teguran bernada angkuh terdengar. Saat Rania menoleh ke arah suara, tampak Tante Mega yang pernah Rania temui saat ulang tahun Nyonya Puspa. “Tapi aku suka, kok,” tanggap Dirga singkat. Tante Mega mengulurkan tangannya dan Dirga mencium tangan tantenya itu. Tante Mega melirik sedikit saja pada Rania dan sepertinya enggan melihat lebih lama lagi. Rania mengikuti Dirga yang berkeliling ruangan, untuk menyapa orang-orang yang sudah terlebih dahulu tiba di sana. Semua orang tentu bersikap ramah kepada lelaki itu, tetapi dengan sebagian orang Dirga memang tak banyak bicara. Umumnya saudara-saudara Dirga memang seusianya, atau malah lebih tua. Katanya karena terlepas Pak Bayu anak tertua, hampir semua adiknya menikah terlebih dahulu. “Hei Sinta!! Kemana saja? Ini yang ditunggu-tunggu sudah ada di sini,” seru Citra, salah satu sepupu Dirga. Tak lama seorang gadis yang Rania sudah kenal menghampiri. Seperti layaknya finalis Miss Universe yang dipanggil maju untuk lolos ke babak selanjutnya, Sinta melangkah anggun dari tengah kerumunan mendekati mereka. “Hai, Dirga,” sapa Sinta lembut. Ia lantas menatap Rania dan juga tersenyum hangat, “Halo Rania, apa kabar?” “Baik,” Rania menanggapi seperlunya. Mereka saling menatap, diam-diam bertukar sorot mata mengandung tegangan listrik. Sinta mengamati Rania dari atas ke bawah, “Bajumu bagus,” katanya. Samar antara pujian atau sindiran, membuat Rania itu tak tahu bagaimana harus menanggapinya. “Ini salah satu baju Rania yang paling kusuka,” sahut Dirga tiba-tiba, dan sepertinya jawaban itu tidak disukai Sinta yang langsung merengut. Dirga meraih telapak Rania dan menggenggamnya. “Kami keliling dulu ya,” lelaki gagah itu berujar sembari menarik Rania bersamanya, membuat Sinta semakin merengut. Pesta itu diadakan lebih seperti acara keluarga semi formal. Di meja buffet terdapat berbagai masakan ala Eropa dan Asia, lengkap mulai dari pencuci mulut sampai penutup dengan berbagai pilihan menu. Ada sekitar 200 orang di sana, dari keluarga besar dan kerabat Aryani. Mereka menggunakan pakaian yang tidak terlihat terlalu mewah tetapi penuh merek di sana sini. Meskipun demikian, sebagian tamu wanita tampak terlihat lebih glamour. Mereka jelas terlihat berdandan dengan istimewa, dengan berbagai perhiasan berlian yang memukau mata. Rania bahkan melihat beberapa orang selebritis di sana. Seorang artis ibukota yang sedang naik daun, dan sempat dia dengar gosipnya sedang dekat dengan seorang pengusaha, ternyata pengusahnya itu Arya, adiknya Aryani, sepupu Dirga. Rania jadi ingat kepada pegawai cafenya yang sempat menggosipkan si artis cantik itu. Sebagian besar tamu yang beisi anak muda itu tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sibuk bermain dengan papan permainan dan games lainnya. Ada yang bernyanyi karaoke, banyak yang hanya berbincang-bincang sambil bersenda gurau. Banyak isi pembicaraan mereka juga Rania tidak paham. Mereka bicara mengenai saham dan peluang bisnis dengan Dirga. Ada juga yang membicarakan spot-spot menarik di Eropa, atau rencana arisan keluarga yang akan diadakan di Switzerland sambil main ski. Sejujurnya Rania merasa benar-benar tertinggal, tak banyak topik yang bisa membuatnya ikut bicara. Atau bahkan hampir tidak ada. Mereka pun tampaknya tak tertarik mengajaknuya bicara. Dipikir-pikir, memang tidak ada irisan urusan kehidupannya dan Dirga, yang akan memungkinkan mereka bisa saling mengenal sebelumnya. Jika bukan karena tragedi di Ciwidey dulu. Rasanya ia ingin segera saja memberi sinyal kepada kekasihnya itu untuk segera pergi. Rania melirik ke arah jarum jam, dan menyadari mereka belum sejam berada di sana. Bisa dibilang, suasananya cukup jauh berbeda dengan keluarga Dirga yang sangat ramah dan hangat. Tuhan…. Rasanya lambat sekali waktu berjalan. Rania sungkan jika mengajak Dirga segera pulang, karena mereka datang paling terakhir. Tiba-tiba, Tante Mega menghampiri Dirga. “Dir, bisa ikut Tante sebentar, ada yang mau dibicarakan,” ajak wanita bersasak cukup tinggi itu. “Oh, ya, Tante,” Dirga mengangguk, ia lalu menoleh kepada Rania. “Rania di sini dulu saja ya, karena ini urusan keluarga,” kata si Tante tanpa sibuk berramah tamah. Dirga tampak sedikit ragu, tetapi Rania berusaha menenangkannya. “Sudah tidak apa-apa, aku tunggu di sini.” “Iya, tidak usah khawatir, ‘kan bukan ditinggal di tengah hutan,” terdengar gelak tawa dari beberapa orang yang ada di sana. “Tunggu sebentar ya,” kata Dirga lembut, seraya mengusap perlahan lengan Rania. Gadis itu mengiyakan dan mengamati kekasihnya yang berlalu pergi mengikuti Tantenya, seperti hendak menuju ke sebuah ruangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN