Intervensi

1054 Kata
Dirga mengikut Tante Mega memasuki sebuah ruang keluarga. Keempat tantenya, Tante Utami, Mega, Ayu dan Sukma serta para suami mereka sudah ada di sana. “Halo Dirga, Ponakan tersayang, makin ganteng saja kamu…” Tante Sukma si bungsu memang selalu terkesan paling baik dan pengertian. Dia dan Tante Mega sudah bertemu dengan Rania di pesta ulang tahun Puspa sebelumnya. Sayangnya, jika dibandingkan kakak-kakaknya, suara Tante Sukma yang paling bungsu itu paling jarang didengar. “Ada masalah apa, Om, Tante?” tanya Dirga, tanpa basa-basi seperti biasa. “Kenapa buru-buru sih, Dirga, kan kita sudah lama tidak bertemu, jarang sekali ada kesempatan kumpul-kumpul seperti ini,” Tante Utami yang tertua, berusaha menampakkan sifat bijaknya. “Aku sama Rania tadi, kasian kalau ditinggal terlalu lama, takut merasa tidak nyaman,” ungkap Dirga terus terang. “Ya mana mungkin merasa nyaman, kalau anak kucing kampung masuk ke kandang macan!” cetus Tante Ayu, yang di balik namanya memiliki lidah setajam pisau. “Apa maksudnya, Tante?” Dirga jelas tersinggung, balik bertanya tak kalah tajam. Sejenak suasana di ruangan menegang, seakan baru saja ada angin dingin menusuk tulang setiap orang. “Eh, sudah, sudah, sini, duduk dulu, duduk, sini…” bujuk Tante Sukma, menarik lengan Dirga yang masih enggan, hingga akhirnya terduduk di sofa. “Jadi begini, Dirga, Tante tahu kamu tidak suka basa basi,” Tante Utami membuka sidangnya, menarik tatapan Dirga ke arahnya. “Kamu tahu ‘kan, kalau kami sangaaat menyayangi dan menghormati Mas Bayu, sebagai Kakak tertua, sekaligus yang selama kami belum menikah, sudah banyak sekali menjaga kami. Jadi ya wajar, kalau kami juga menaruh perhatian, dan menginginkan yang terbaik buat keluarga kalian. Karena ya, ini soal kelurga besar kita juga.” “Jadi sejujurnya, kami pernah mengobrol soal niat keluarga Mas Wisnu yang ingin menjodohkan Sinta denganmu.” Dirga menghela napas dan segera memasang wajah tak acuh. Bosan sekali rasanya dia mendengarkan hal ini berulangkali. Lelaki itu menutup kuping dari berbagai bujukan dan promosi para tante serta dukungan mereka agar Dirga bisa berakhir dengan Sinta. “Aku sama sekali tidak berniat untuk bersama siapapun selain Rania saat ini,” ungkap Dirga. “Aku hargai, kepedulian Om dan Tante semua. Tetapi aku sudah punya pertimbanganku sendiri. Bagiku, Rania adalah yang terbaik. Jika… menurut Om dan Tante, Rania tidak sesuai, seharusnya itu pun bukan masalah. Karena Rania itu akan menikah denganku, dia akan menjadi tanggung jawabku dan tidak akan merepotkan siapa pun.’ Para Tante saling melirik, jelas terlihat suasana hati buruk Dirga yang tergambar di wajahnya. Tante Utami berusaha bicara dengan halus, “Dirga, dengar…. Raka memilih menikah dengan Padma, kami bisa pahami. Tetapi kamu… Mas Bayu selalu mengatakan dia sangat berharap kepadamu. Tentunya, termasuk masalah calon istri di masa depan. Sebaiknya, jangan terburu-buru, bersabar dulu…” Tante Sukma ikut bersuara, “Iya, benar… coba pertimbangkan baik-baik—“ “Tapi kalau dengan Sinta, kalian akan merestuiku untuk menikah kapan saja?” Dirga bertanya dingin, melemparkan tatapan pada para Tante yang kali ini saling menoleh pada satu sama lain. *** Saat Dirga tengah diintervensi dan disidang, Rania hanya berdiri saja sendiri untuk beberapa saat. Dia benar-benar sangat merasa seperti orang asing. Jika saja perannya sebagai public relation perusahaan, tentu dia bisa bergaul dengan baik. Tetapi berada di sini, sebagai seorang individu, Karaniya Parameswari, di tengah keluarga konglomerat, rasanya seperti benar-benar berada di dua dunia yang berbeda. “Rania, hei! Rania, sini!” tiba-tiba suara seorang gadis memanggilnya, dan ternyata itu Citra. Wanita awal 20-an dengan rambut dicat cokelat yang bergelombang cantik terurai ke punggungnya. Glitter riasan di wajahnya paling mencolok dari tamu yang lain. Dia bersama Devi, sepupu Dirga lainnya. Rania menghampiri. Di situ juga ada Dwita, gadis yang Rania dengar sempat mau dijodohkan dengan Dirga oleh Tante Mega tetapi tak beranjak kemana-mana. Rania pun menghampiri mereka, seraya tersenyum. “Dirga kemana? Kok sendirian?” tanya Dwita dengan raut nyinyir. “Tadi dipanggil oleh Tante Dewi,” jawab Rania seadanya. “Oh… ditinggal sendirian ya… pantas terlihat kaku seperti batang sapu,” sindir Devi, yang ditimpali cekikikan Dwita dan Citra. Melihat hal itu, Rania baru menyadari bahwa dia sepertinya menjadi bahan olok-olokan mereka. Gadis itu sejenak tersenyum basa-basi dan tak mengatakan apa-apa lagi. “Pakaianmu tidak kukenali, merek apa?” tanya Citra yang jelas terlihat seperti manekin Louis Vuitton dari atas sampai bawah. “Entahlah, aku lupa,” kata Rania. “Ohh.. sudah lama ya belinya? Pantas kupikir apa mataku yang buram, atau memang gaya berpakaianmu sangat ketinggalan jaman,” kali ini Devi yang melemparkan sindirannya. “Aku suka kok,” tegas Rania. “Ya… Pantas kok, buat kamu. Cuma yaa… tidak pantas ada di sini saja,” seloroh Devi yang ditimpali cekikikan oleh sepupu dan temannya. “Omong-omong… kamu berkarir di bidang apa?” sinis Dwita. Rania menghirup napas menyabarkan diri, mengangkat sedikit dagunya. “Aku memiliki usahaku sendiri, aku membuka bisnis toko bunga dan café,” ungkapnya. “Hmm… berapa penghasilanmu per bulan?” Dwita kembali bertanya. “Cukup untuk memenuhi semua kebutuhanku,” jawab Rania lagi, yang mulai letih diinterogasi dan berharap Dirga segera datang kembali. “Tapi sepertinya… tidak cukup untuk bisa membeli pakaian yang layak, ya?” sindir Devi. Rania hanya menelan ludahnya. Tak mengira, sepupu-sepupu Dirga bisa bersikap seperti ini terhadapnya, Jauh sekali dari yang Ia bayangkan. “Oh, tunggu dulu… iya ya, kamu kan yang Sinta ceritakan, mengisi tempatnya Mas Dirga?” selidik Citra. “Benar, aku menyewanya setiap bulan.” Gadis itu tak menutupi apa pun. “Menyeewaa??’ Devi mengolok tak percaya. “Memangnya kamu mampu membayar sewanya?” Mengingat toko tersebut cukup luas, bahkan berada di kawasan bisnis yang terbilang elit dan strategis. “Atau… jangan-jangan…” Devi berputar, sembari mengamati Rania dari atas ke bawah. Lantas mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga kekasih Dirga. “Sebagian sewa… dibayar tubuhmu?” Otot rahang Rania mengeras. Wajahnya panas dan dia benar-benar geram!! “Apa maksudmu?” geram Rania. “Tidak usah pura-pura polos… gadis seperti kamu, tiba-tiba saja menjadi kekasih Mas Dirga. Tidak jelas asal-usulnya, siapa keluarganya, kenapa mendadak jadi tunangannya? Aneh sekali…” Dwita berdecis. Gadis yang memang sempat tergila-gila kepada Dirga itu, masih tak terima, jika dia harus dikalahkan oleh gadis seperti Rania. “Kalau bukan karena kamu gadis murahan, hal yang paling mungkin lainnya… kamu pasti memakai pelet!!” tuding Devi tanpa ampun. “Cukup!!” Rania sudah tidak bisa lagi menerima penghinaan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN