Rania tampak sibuk merangkai bunga sambil menunggu Dirga yang katanya sedang berada di dekat cafenya dan hendak mengajaknya makan. Café Rania kini sudah semakin ramai. Saat ini ia sudah menambah tiga pegawai. Sehingga ada tujuh orang total pegawainya. Itu pun Rania masih harus turun tangan jika cafenya sedang sangat ramai seperti sekarang.
Saat Dirga datang, Rania tengah mengobrol dengan pelanggan. Sosok lelaki itu yang mencolok segera menarik perhatian Rania. Gadis itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Dirga menghampiri.
“Aku pergi dulu ya, silahkan dinikmati minumannya,” Pamit Rania pada pria di hadapannya. “Dan terima kasih untuk bunganya,” ia memperlihatkan buket di tangannya.
Pria itu mengamati Dirga sebelum beralih pada Rania. “Oke, sampai jumpa lagi ya.”
Saat Rania hendak keluar, beberapa pria juga menyapa dan bertanya hendak ke mana gadis yang tampaknya sudah menjadi primadona di florist cafenya itu.
Dengan ramah Rania menanggapi mereka. Dirga hanya diam saja mengamati.
“Mau ke mana kita?” tanya Rania.
“Makan di sekitar sini saja, sepertinya kamu sangat dinantikan para pelangganmu,” tukas Dirga. Keduanya memasuki sebuah café yang menyajikan masakan fusion Eropa dan Asia.
Dirga mengamati lima tangkai mawar merah yang dibawa Rania dan tergeletak di atas meja. “Kamu sering mendapat bunga?” selidiknya.
“Tidak juga. Tapi Rangga, yang tadi itu, belakangan setiap hari datang. Selain pesan minuman, dia juga sering membeli bunga dan memberikannya kepadaku,” terang Rania sambil membaca menu. Dirga melakukan kesibukan yang sama. “Aku tidak mungkin menolak. Dia ‘kan pelanggan.”
“Kalau nanti tambah pegawai lagi, kamu harus mencari pegawai yang lebih cantik darimu,” ujar Dirga. Jadi mereka tidak jelalatan kepadamu.
Gerakan tangan Rania berhenti. Ia memberengut menatap Dirga. “Dasar mata keranjang!” hardiknya salah paham.
Dirga terkejut mendengar hardikan itu. “Maksudku—“
“Rania, hei!” Sapa sebuah suara bass yang mendekat pada keduanya.
“Hei, Banyu!” sapa Rania riang. Banyu? Dirga menoleh pada sosok pria kurus tinggi berkulit putih pemilik café yang mereka tempati saat ini.
“Loh, Dirga!?” pria itu terkejut melihat siapa yang bersama Rania. “Sudah lama tidak kelihatan. Kemana saja? Wah, keren! Sekarang mengenakan jas segala!”
“Kalian saling kenal?” Rania mengangkat alisnya.
“Tentu saja. Bukannya Dirga pemilik café sebelum kamu tempati?”
“Oh, dia memang masih pemiliknya, aku hanya menyewa saja,” terang Rania. Ketiganya sempat mengobrol sebentar sebelum Banyu permisi.
“Enjoy your stay, ok?” Banyu berujar kepada Rania. “Kamu juga Dirga. Glad to see you again, bro!” ia menepuk bahu Dirga.
“Banyu tampan,” ujar Dirga saat pria itu beranjak.
“Ha!? Kamu suka kepadanya?” Rania melongo.
“Hah!?” Dirga tertegun. Saat Rania terkekeh, Dirga memicingkan matanya, sebelum tersenyum kesal karena dikerjai.
“Jangan cemburu begitu, kamu jauh lebih tampan, Sayang,” Rania tersenyum menggodanya. Dirga mengamati Rania lekat, membuat gadis itu merasa rikuh.
Apa ia keterlaluan? Atau Dirga bisa menangkap ucapannya serius?
Untunglah saat itu pelayan datang membawakan pesanan mereka, sehingga suasana canggung itu bisa dipatahkan dalam waktu singkat.
“Kenapa kamu tidak mengenakan cincinnya?” tatapan Dirga beralih pada jari manis Rania yang polos.
“Oh, itu…” Rania menghela napas. “Kurasa aku tidak kuat mental mengenakannya. Harganya sama seperti sebuah mobil baru, lebih dari sewa toko selama dua tahun! Rasanya jariku jadi berat sekali mengenakannya. Dan aku selalu waswas takut menghilangkannya.”
“Tapi kalau kamu tidak mengenakannya, keluargaku bisa curiga.”
“Tapi aku sangat jarang bertemu keluargamu.”
“Kalau tidak sengaja bertemu di jalan, bagaimana?”
“Kemungkinannya sangat kecil,” seloroh Rania ringan.
“Pakai saja, oke!?” Suara Dirga tiba-tiba menegas, membuat Rania terkejut. “Kamu memintaku jadi kekasih yang baik. Aku juga meminta hal yang sama darimu. Sebagai kekasih yang baik, kenakan cincinmu.” Nada memerintah itu terdengar lagi.
Rania mengamati Dirga heran. “Baiklah, tapi kalau ada apa-apa dengan cincinnya, jangan menyalahkanku.” Ia mengingatkan.
Setelah selesai makan di café milik Banyu—yang terlihat sangat ramah kepada Rania, Dirga memutuskan akan segera kembali ke kantornya.
Di tempat parkir, Rania mengamati sebuah mobil yang berada di samping mobil Dirga. Ia merasa kenal dengan mobil itu. B 545TI. Perut Rania mulas seketika.
Apalagi, saat ada seruan, “Dirga!” Suara manja menusuk itu terdengar.
Dirga dan Rania menoleh ke arah suara. Gadis mungil kinclong berlari kecil mendekati mereka. Rambutnya mendadak panjang bergelombang. Sepertinya Sasti mengekstensi rambutnya. Mirip Rania. “Dirga, sedang apa di sini?”
Sasti menyapa Dirga dan hampir tidak menghiraukan Rania. Itu agak mengejutkannya.
“Kami selesai makan siang,” tanggap Dirga datar.
Sasti menoleh kepada Rania. “Hei, Rania, apa kabar?” sapanya. “Tidak kukira bertemu lagi di sini.” Ia mengibaskan rambutnya. Alis Rania berkedut tidak nyaman.
“Aku pergi ya, jaga dirimu baik-baik,” Dirga memotong pembicaraan agar Rania tidak harus menjawab Sasti dan mereka bisa segera berpisah.
“Eh, Dirga, tunggu dulu!” Sasti tiba-tiba menahan siku Dirga. Mata Rania melebar melihatnya dan Dirga menyentakkan lengannya risih dari genggaman Sasti. “Aku hanya mau memberi tahu, kamera yang kamu cari itu, ada temanku mau menjualnya. Dia beli langsung di Jepang dan belum sempat pakai. Kalau kamu mau, aku bisa berikan nomornya padamu.”
Kamera? Kamera apa? Rahang Rania mengerat. Apa yang Dirga dan Sasti bicarakan?
“Tidak perlu. Aku sudah titip beli kepada temanku,” sahut Dirga sembari melengos. Ia lantas beralih kepada Rania. “Sayang, aku pergi dulu. Kamu juga harus cepat kembali. Tokomu sedang ramai sekali sekarang.” Dirga sengaja bersikap mesra dan menyinggung soal toko Rania yang ramai. Rania mengangguk-angguk dengan perasaan tidak menentu.
“Sampai jumpa!” seru Sasti, ikut melambaikan tangannya kepada Dirga.
Rania mendelik. Ia tak mengerti kenapa Sasti suka bersikap lemah dan pura-pura menjadi korban lalu kemudian bertingkah menyebalkan dan tidak tahu malu. Ia sudah kehabisan kata-kata untuk gadis memuakkan itu dan memutuskan segera beranjak pergi.
“Toko bungaku sudah mulai beroperasi.” Sasti bicara nyaring, memastikan Rania mendengarnya. “Maaf Ran, aku tidak tahu Pak Wira mengusirmu. Aku hanya ditawari dan kupikir toko itu kosong. Aku bahkan tidak tahu itu tokomu. Kalau tahu, tidak mungkin aku setuju dengan tawaran Pak Wira.”
Bohong. Bohong. Bohong. Rania tahu benar yang keluar dari mulut Sasti hanya dusta. Ia merasa tidak bisa membiarkannya, tetapi dia juga lelah selalu berurusan dengan Sasti.
“Jangankan toko, sudah tahu Aditya tunanganku saja kamu masih menginginkannya ‘kan?” Rania berbalik, wajahnya marah dan kecewa.
“Ran! Sumpah, Adit yang mengejar-ngejarku! Aku mengingatkannya berkali-kali. Dia tunanganmu! Kamu sahabatku! Aku tidak mau merusak persahabatan kita dan aku ingin dia membahagiakanmu!” tukas Sasti. “Tapi dia bilang dia mencintaiku. Dia terus mendekati dan, bahkan mengatakan tidak bisa hidup tanpaku. Aku tidak bisa apa-apa. Saat kalian hendak menikah, aku baru tahu kalau aku hamil.” Sasti menahan isakan. “Aku tidak meminta dia meninggalkanmu. Aku hanya mengatakan aku hamil dan akan mempertahankan anak itu. Aku tidak tahu dia meninggalkanmu di hari pernikahan. Dan… tidak lama aku keguguran.”
Rania membisu, mengamati Sasti yang kini menangis di hadapannya. Gadis ini pernah Rania anggap adiknya. Sasti dulu manja kepadanya, sering menginap di kosannya, ke mana-mana minta ditemani Rania. Ia pernah sangat menyayangi Sasti. Dan karenanya, apa yang Sasti lakukan benar-benar melukai hati Rania begitu dalam. Namun, entah kenapa ia masih tidak tega melihat Sasti berwajah sendu begitu.
Ia tidak tahu mana yang harus ia percayai. Versi yang berbeda pernah ia dengar bahwa Sasti yang mendekati dan menggoda Aditya. Tetapi yang mana pun, bukankah sama saja? Dua orang yang pernah ia begitu percaya dan sayangi, telah mengkhianatinya. Begitu tega menikamnya tepat di jantung. Rania pernah ingin mati karena mereka.
Rania mengeratkan rahangnya dan mengepalkan tangannya erat-erat. Berusaha tega.
“Aku tidak peduli lagi pada kalian dan apa yang kalian katakan. Aku bahkan tidak yakin, bisa mempercayai satu kata pun yang kamu ucapkan.”
Rania berbalik lagi hendak pergi. Tetapi kata-kata Sasti berikutnya membuat langkahnya terhenti. “Dirga juga sama saja!” serunya. “Kamu pasti tidak tahu, kalau dia sudah beberapa kali menemuiku.”
Deg. Tubuh Rania sontak membeku. Dirga? Apa maksudnya?
“Mungkin jika di depanmu, dia bersikap tidak acuh dan dingin. Tetapi, Dirga sudah beberapa kali mencari dan mendatangiku. Belakangan, kami juga sempat makan bersama. Kurasa… dia sedang berusaha menarik perhatianku.”
Rania tertohok mendengarnya. Mungkinkah Sasti berbohong? Tapi dia tahu Rania bisa mengonfirmasi Dirga kapan saja, jadi untuk apa Sasti berbohong?
Dan tadi, mereka membicarakan hal yang Rania tidak mengerti. Apakah mungkin….
“Aku mengatakannya hanya karena aku masih menganggapmu temanku.”
“Tidak perlu!” pungkas Rania, tanpa menoleh. “Aku tidak percaya ucapanmu sedikit pun!” Ia segera beranjak dari sana. Di belakangnya, ia mendengar Sasti naik ke mobilnya.
Ucapan Sasti mengenai Dirga terus terngiang-ngiang. Rania berusaha mengenyahkannya. Meyakinkan diri Sasti hanya ingin melukainya. Namun mau tak mau rasa curiga dan tak percaya menghantui kepalanya.
Sasti pernah merebut calon suaminya. Dan Dirga… lelaki itu bahkan tidak mencintainya. Dirga sebetulnya seorang lelaki tanpa kekasih.
Namun, jika benar Dirga mampu mengkhianatinya dengan Sasti, Rania akan sangat terluka. Memikirkannya saja rasa perih sudah terasa di dadanya. Berkali-kali Rania berpikir mengonfirmasi kepada Dirga. Namun, ia khawatir Dirga tersinggung dan mereka berselisih. Bagaimana jika itu memang tujuan Sasti? Rania tidak ingin tujuan Sasti tercapai. Jika dia mempercayai Dirga, artinya, Sasti telah kalah. Ya, Rania harus percaya Dirga. Tetapi…
***