Dua Kali yang Pertama

1760 Kata
Sosok Dirga yang menawan dalam balutan jas cokelat kopi serta rambut gondrongnya yang terkesan seksi, tampak mencolok saat ia masuk ke sebuah restoran Thailand yang terletak di lantai 5 sebuah plaza dekat area kantornya. Di salah satu meja, Sasti menunggunya. Lelaki itu menghampiri dan duduk di hadapannya. “Aku tidak punya banyak waktu. Rania kenapa?” tanya Dirga langsung. “Aku juga tidak butuh waktu lama.” Sasti menghela napas, dan memasang wajah cemas. “Rania… saat kemarin kita bertemu itu, sepertinya dia cemburu.” “Cemburu?” Dirga mengerutkan alisnya. Tunangannya itu sama sekali tak mengatakan apa pun. “Ya. Dia pikir, kita ini ada apa-apa. Memangnya, kamu tidak bercerita tentang aku?” Sasti menatap polos. Dirga membalasnya dengan tatapan dingin. “Untuk apa? Bukan hal penting untuk diceritakan.” “Tapi Rania curiga kamu macam-macam denganku. Dia bahkan mengancamku.” Curiga? Mengancam? Hingga saat ini Rania tidak mengatakan apa-apa. Selama ini, Rania selalu mengutarakan pikirannya dengan lugas dan terus terang. “Brak!” Dirga menampar permukaan meja agak keras dan langsung berdiri. “Pembicaraan ini selesai. Jelas tidak ada hal yang penting. Kalaupun kami ada masalah, itu urusan kami. Aku tidak perlu bicara denganmu.” Lelaki dengan perawakan gagah itu memutar tubuhnya, membuat lawan bicaranya menjadi agak pani saat melihat Dirga hendak pergi. “Tunggu! Dirga! Tunggu! Tapi dia mengancamku! Aku takut sekali… dia benar-benar…” Sasti berusaha menahan lengan Dirga. Putra kedua Kamajaya segera menghempaskannya dengan cepat, dan melirik tajam dari sudut matanya. “Aku kenal Rania. Dia tidak akan menyakiti siapa pun. Dia bukan gadis seperti itu!” “Tapi dia pernah menamparku!” Sasti terus berusaha mencari cara menjatuhkan bekas teman kuliahnya itu. Dilihatnya Dirga memutar tubuh gagahnya dengan tatapan dingin yang tak berkurang. “Berarti kamu memang layak mendapatkannya. Kalau Rania saja sampai sanggup menamparmu, kamu pasti gadis paling tidak tahu diri yang pernah ada,” desisnya. Sasti terkesiap. Tidak ada lelaki sekasar Dirga yang pernah dia temui. “Aku tidak salah apa-apa! Dia yang salah paham kepadaku! Soal Aditya, soal toko, soal kamu, semuanya!” “Soal apalagi? Soal kamu yang krisis kepercayaan diri dan merasa kalah darinya? Soal kamu yang mati-matian menjiplak dia namun tidak pernah bisa menyamainya? Soal kekasihmu yang sepertinya masih mencintai dan membandingkanmu dengannya? Soal khayalanmu bisa merebut semua milik Rania?” Dirga mencondongkan tubuhnya melewati meja, dengan kedua lengan menahan tubuhnya. Ia menatap Sasti tajam. “Kamu bahkan tidak bernilai seujung kukunya.” Wajah Sasti merah padam. Rahang mungilnya tampak menegang dan kemarahan menggelegak tak tertahankan di d**a, mendengar penghinaan Dirga yang merendahkannya. Sasti tidak pernah merasa begini dilecehkan dan terhina sebelumnya. Namun dia sudah punya rencana di kepalanya yang harus berhasil. Saat Dirga beranjak dari kursinya Sasti ikut berdiri, ia tiba-tiba mengaduh. “Ukh…!! Kepalaku,” erangnya, limbung ke arah Dirga. Lelaki itu sangat terkejut dan sontak menangkapnya. “Sasti, kamu kenapa?” Sasti terengah pura-pura menahan sakit. “Ke-kepalaku…” Kakinya melemas, hampir roboh. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Dirga. Saat lelaki itu berusaha membantunya berdiri, ia memeluk Dirga. Dirga mulai merasa ada yang tidak beres, saat pelukannya semakin erat dan Sasti membenamkan wajahnya di dadanya. “Dirga…” desisan tajam terdengar dari arah belakangnya. Dirga menoleh, mendapati Rania berdiri di sana. Rautnya pedih dan kecewa. Gadis itu tidak berkata apa-apa dan segera berbalik pergi. “Rania!” panggil Dirga. Sekuat tenaga ia menjauhkan Sasti darinya. Gadis itu masih pura-pura merasa lemas sembari memegangi kepalanya. “Kamu perempuan SAKIT!!” kecamnya sebelum menyusul Rania. Dirga berlari mengejar kekasihnya. Lift yang dinaiki Rania pintunya sudah hendak menutup. Dirga merangsak, berusaha membuka pintunya lagi sekuat tenaga, membuat orang-orang yang ada di dalamnya cukup bingung dengan berkerasnya Dirga naik ke dalam lift. Akhirnya pintu lift itu terbuka lagi. Lelaki gagah itu segera masuk ke dalam lift penuh tersebut. Rania menatap nanar, lalu membuang muka. Dirga segera berdiri di sampingnya. Keduanya tidak ada yang bicara. Dirga masih mengambil napas, dan Rania tengah menahan tangis dan sakit di dadanya. Rupaya lift tidak beranjak naik, dan berhenti di lantai selanjutnya. Beberapa orang lainnya turun hingga tinggal mereka berdua. Rania hendak keluar, namun Dirga menahan pergelangan tangannya keras. Pintu lift tertutup kembali. “Lepas!!” desis Rania menuntut. “Apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu kira,” tegas lelaki itu. “Tutup mulutmu!” kali ini Rania tidak bisa menahan diri. Suaranya gemetar getir. “Awalnya aku tidak percaya apa yang Sasti katakan kalau kalian sedang dekat. Dia memberitahuku bahwa kalian akan bertemu dan memintaku datang untuk melihatnya sendiri. Aku menunggu di luar gedung sejak tadi, dan mengikutimu masuk, walaupun aku sempat ragu, tetapi akhirnya aku—a-aku… ternyata—“ perkataannya terpenggal rasa sakit, dan hanya itu yang bisa matanya pancarkan saat ini. “Dia menelepon saat aku sedang bekerja, mengajakku bicara dan mengatakan ada sesuatu yang penting berkaitan denganmu! Aku baru saja hendak pergi lagi meninggalkannya saat kamu datang!” tegas Dirga. Suara lift berbunyi, pintunya terbuka, beberapa orang tampak akan masuk. Rania buru-buru menghapus airmatanya. Ia kembali berusaha keluar dari lift, namun Dirga masih menahan pergelangannya. Lelaki itu mencengkeram sangat kuat sampai rasanya pergelangan gadis itu mulai terasa sakit. Upaya Rania hanya sekadar menggerakkan pergelangannya pun sia-sia saja. Keduanya tidak bicara saat masih ada orang bersama mereka, hingga yang lain kembali turun di lantai tujuannya masing-masing dan hanya menyisakan mereka kembali di dalam lift. Rania mendongak menatap tajam. “Tapi kamu memang sering bertemu dengannya ‘kan!? Lepaskan tanganku!” “Tidak akan!” tegas Dirga, melingkarkan tangannya lebih ketat di pergelangan Rania. “Aku pernah mencarinya saat kamu diusir dari tokomu, mencoba bernegosiasi untuk mengembalikan toko kepadamu. Aku juga mencari Pak Wira! Tapi saat aku tahu kamu menyukai toko yang baru, aku mengurungkan niat dan tidak menemuinya lagi.” “Dia bilang kamu pernah menghabiskan waktu dan makan bersamanya!” tukas Rania ketus.”Dan soal kamera itu, bagimana dia tahu kamu mencari kamera!?” Pertikaian keduanya kembali terpotong saat ada orang lain masuk ke dalam lift. Rania masih berusaha melepaskan dirinya, namun cengkeraman Dirga terlalu kuat. Rania malah merasa tangannya berbalik kesakitan. “Dia adalah anggota baru di klub berkuda tempatku berlatih. Walaupun kami mengobrol, kami bersama anggota lain. Bukan hanya aku dan Sasti, apalagi hanya makan berduaan. Aku juga tidak begitu menghiraukannya ” “Bohong!” desis Rania. Kejadian sebelumnya membayang di mata Rania. Hatinya berkedut sakit melihat Dirga dan Sasti berpelukan. Pembicaraan mereka kembali terputus karena kejadian yang sama. Rania sudah tidak berusaha melepaskan genggaman tangan Dirga di pergelangannya. Namun gadis itu masih tidak menatap Dirga. Setelah lift kosong, Dirga kembali bicara. “Hanya dua kali itu saja kami bertemu.” “Kenapa kamu tidak pernah cerita?” kecam Rania. “Karena menurutku itu tidak penting untuk diceritakan!” “Dan tadi itu apa!?” Kali ini tatapan nanar Rania menghujam Dirga. “Nyatanya kamu menemuinya!” Ia menangis. “Kenapa Sasti? Kamu tahu bagaimana perasaanku kepadanya.” Dirga mencengkeram kedua bahu Rania. “Dia mengatakan, ada sesuatu yang sangat penting mengenaimu. Hanya itu alasanku datang.” Dirga menatap tajam. “Pikirkan baik-baik, Ran... Aku yakin hatimu tahu. Kamu tahu dia menjebak kita. Kamu tahu aku tidak mungkin melukaimu.” Rania mengeratkan rahang, airmata membanjir di pipinya. Ia berusaha menghapusnya. Gadis itu menatap nanar dan berkata dengan bibir bergetar, “Kamu sanggup mengkhianati kakakmu, apalagi hanya aku…” Kalimat pelan itu terdengar tajam dan menyakitkan bahkan bagi Rania yang mengucapkannya. Lelaki di hadapannya terenyak, tak siap dengan serangan gadis itu, Ia menatap Rania dingin. Cengkeramannya perlahan melonggar. Rania hampir menyesal telah mengucapkannya. Ia tahu Dirga sangat terluka dengan apa yang telah dilontarkannya. Tetapi hatinya juga sakit, dan setelah semua yang terjadi, ia ragu Sasti tidak sanggup merebut apa pun miliknya. Pintu lift kembali terbuka, tapi tidak ada siapa pun yang naik. Dirga bergeming di tempatnya. Rania memutuskan melangkah keluar dari sana. Namun saat dia mencapai pintu, Dirga sontak menarik dan memutar bahu Rania. Sejurus kemudian, Dirga sudah mengecup bibirnya. Terlalu cepat, Rania tak lagi sempat mengantisipasi. Aliran listrik sontak bergerak ke sekujur tubuhnya. Gadis itu membeku di tempatnya seketika. Tak lama tubuhnya limbung, menumbuk pintu lift yang kembali tertutup. Bibir Dirga tak lagi menempel padanya, tetapi sisa kecupannya masih menghangatkan bibirnya. Mata Rania terbuka lebar, syok. Lift bergerak lagi. Dirga masih tak mengurangi jarak tubuh mereka, malah semakin merapat, mata tajamnya tak lepas menatap Rania membuat gadis itu benar-benar tak berdaya. Dan gadis itu merasakannya lagi. Bibir hangat Dirga yang kembali menyentuh bibirnya. Rasanya Rania seakan memasuki dunia mimpi. Ia bergeming, namun jantungnya berdebar sangat kuat. Walaupun tidak ada suara apa pun di antara mereka, namun telinga Rania mendengar semuanya; Debaran jantungnya yang memekakkan telinga, aliran darahnya yang deras dan gelisah, napasnya dan Dirga yang berirama. Saat lift berbunyi lagi, Dirga memisahkan dirinya. Rania kehilangan tenaga. Tubuhnya yang bersandar ke pintu lift, limbung ke belakang saat pintunya terbuka. Tangan Dirga menyusuri bahu ke lengan Rania, dan berhenti di pergelangan gadis itu, mencengkeramnya lagi, menahan Rania jatuh. Orang-orang masuk ke dalam lift, melalui keduanya dan heran melihat posisi Rania yang aneh. Tatapan Rania tidak beranjak dari Dirga. Masih tidak bisa berpikir, tidak bisa bergerak. Dunianya lumpuh seketika karena Dirga. Dirga menarik tangan Rania, menegakkan tubuhnya lagi. Keduanya berdiri berhadapan. Bertatapan lekat, tidak saling melepaskan. Keduanya membisu, hanya saling memandang. Orang-orang di sekeliling mereka mengamati heran, lalu saling memberi kode ‘mereka-sangat-aneh’ pada satu sama lain. Orang-orang itu masih mengamati heran keduanya saat mereka kembali mengosongkan lift dan meninggalkan sepasang mitra itu berdua di sana. Adegan semata-mata bertatapan tanpa bicara itu selesai saat lift yang berkali-kali naik turun berhenti di lantai LG. Dirga mencondongkan tubuhnya. Rania merasakan napasnya sesak melihat jarak Dirga yang mendekat. Lelaki itu menahan tombol lift agar pintu tetap terbuka. Dirga menoleh tipis kepada Rania, berbisik di telinganya. “Kurasa kita harus turun. Kamu mau jalan sendiri atau harus aku gendong?” Lemon, bergamot, biji tonka, kayu guaiac. Segar, maskulin, tenang. Rania hanyut total dalam pesona lelaki itu. Terlalu terlena hingga tidak mampu berkuasa pada motoriknya. Ia menggigit bibir dalamnya, menoleh pelan ke arah Dirga. “Gendong…” lirihnya. Dirga menarik salah satu sudut bibirnya lalu menggendong Rania keluar dari lift. Menarik perhatian beberapa orang karena mereka terlihat seperti tengah memerankan adegan penyelamatan. Beberapa pegawai dan satpam bahkan menghampiri, bertanya apa yang terjadi, atau apakah keduanya memerlukan bantuan. “Tidak apa-apa, hanya sedang manja,” tanggap Dirga. “Ohh…” para pegawai itu mengangguk sambil nyengir kuda mengamati Rania. Gadis yang diperhatikan merasa malu. Ia menyurukkan wajahnya di d**a Dirga. Dan Rania terkejut menyadari, tidak sebanding ketenangan sikapnya, debaran jantung lelaki itu memacu sangat cepat. Sepertinya, Dirga pun merasakan apa yang Rania rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN