Suara alarm mobil terdengar, Dirga lalu mendudukkan Rania di kursi penumpang.
“Aku akan mengantarmu pulang,” putusnya, dan Rania hanya sanggup mengangguk kikuk tanpa bisa mengatakan apa pun.
Lelaki itu lantas berputar lalu duduk di balik setir. Sejenak melirik kepada Rania yang tampaknya masih tak sanggup memandangnya. Dirga pun menjalankan mobil mereka parkiran gedung plaza.
“Sepertinya, kalau aku mendapat bayaran setiap kali aku menggendongmu, mungkin aku sudah sangat kaya raya,” celoteh Dirga, berusaha menyingkirkan rasa kikuk di antara mereka.
Rania melirik tipis dan berujar, “Masih kurang kaya? Dasar tamak!” tukasnya.
Keduanya lantas tertawa sejenak, sebelum tatapan mereka beradu lagi dan memicu degupan tak terkendali di d**a mereka.
Apalagi, saat gadis itu tak sengaja menatap bibir Dirga lagi dan sepertinya lelaki itu juga menjatuhkan tatapannya ke bibir Rania. Keduanya membeku, dan Rania dengan cepat membuang wajahnya ke jendela. Benar-benar gugup bukan main. Bahagia, tapi malu bukan kepalang. Ia tidak tahu kenapa salah tingkah begini.
Gadis itu menelan ludah. “Di-di luar panas ya,” katanya, seraya mengamati langit yang cerah hari itu.
“Iya,” jawab Dirga singkat.
Setelah itu, keduanya hanya membisu selama dalam perjalanan. Lelaki itu menyalakan radio dan membiarkannya meriuhkan suasana di antara mereka.
Baik Rania dan Dirga kembali tidak ada yang bicara. Keduanya membisu. Entah kenapa Rania tidak sanggup bertanya kenapa Dirga menciumnya. Rasanya canggung sekali membahas hal itu.
Apakah itu berarti… perasaan mereka identik?
Apakah Dirga juga mencintai Rania seperti gadis itu mencintainya?
Entah apa yang mengunci mulutnya. Apakah takut, atau Rania belum benar-benar terjaga dari mimpinya? Rasanya tidak percaya dengan apa yang terjadi di lift tadi.
Ia takut jika membahasnya, semua akan kandas.
Apalagi, reaksinya tadi benar-benar di luar kendali dan rasanya cukup memalukan.
Dirga menurunkan Rania di cafenya.
“Terima kasih ya,” ujar Rania, lagi-lagi hanya bisa melirik sejenak saja sebelum buru-buru turun.
“Ya,” jawab Dirga singkat.
Gadis itu bergegas, melangkah terburu-buru ke arah cafenya. Namun sebelum masuk, Rania berbalik, mengarahkan pandangannya ke mobil Dirga. Tunangannya itu masih di sana, dan sekali lagi gelombang listrik itu menyerangnya, saat menyadari Dirga ternyata masih memandangnya.
Rania mengangkat tangannya sebatas d**a dan melambai kecil diiringi senyum canggung. Lelaki itu balas melambaikan tangannya sambil tersenyum sebelum akhirnya pergi membawa senyum menawannya.
“Mbak Rania sudah pulang?” tanya Asri, saat melihat bosnya sudah kembali.
Rania tak berkata apa-apa, hanya membalas dengan senyuman berseri yang semakin lebar. Membuat pegawainya itu heran, karena tadi sebelum berangkat, Rania terlihat sangat muram dan sepertinya marah bukan main. Tetapi pulangnya sudah sangat bahagia. Bahkan seharian gadis itu masih saja terlihat berbinar-binar melakukan pekerjaannya.
Efek kecupan itu memang sangat dahsyat. Sekarang kepala Rania hanya dipenuhi Dirga—sebelumnya juga begitu, tetapi sekarang lebih lagi. Perasaan gadis itu kacau. Bahagia, bingung, ragu, percaya, berharap. Dan entah apalagi.
Saat menjelang tidur, Rania memutuskan mengirim pesan kepada Dirga.
“Have a lovely dream,” pesannya.
Baru saja pesannya terkirim, dia menerima pesan juga dari Dirga.
“Sedang apa?” tanya pria itu. Sepertinya mengirim pesan lebih cepat dari Rania.
Jantung Rania berdebar keras, dan badannya panas dingin hanya karena menanti balasan Dirga. Saking tegangnya, saat ponsel berbunyi, Rania terlonjak dan merasa seperti hendak pingsan. Apalagi, saat dia membaca pesan berikutnya yang kembali masuk ke ponselnya.
“I already have one. You.”
Rania terkesiap. Matanya membulat, napasnya tersendat.
“KYAAAAAA………!!!!” dia terpekik girang dan tumbang ke atas tempat tidurnya.
***
Dirga kembali cukup larut ke rumahnya setelah beberapa hari ini tidak tinggal di rumahnya. Semua tahu jika Dirga tidak pulang ke rumah dan lebih memilih diam di zoology, biasanya suasana hatinya sedang buruk.
“Kakak!” Sambut Agni, saat melihat kakaknya hendak menaiki lift untuk menuju ke kamarnya. Tumben sekali, biasanya Dirga selalu memilih naik tangga. Mungkin ingin menghindari sesuatu.
Lelaki itu menoleh, mendapati adiknya menghampiri dan kemudian memeluk Dirga erat.
“Kangen…” katanya, sambil menekankan pipinya ke d**a kakaknya itu.
“Tumben,” ujar Dirga, tersenyum lebar.
Dari sana Agni bisa melihat kakaknya itu sedang memiliki suasana hati yang bagus.
“Jangan sering-sering tidak pulang, Kak… di sini sepi… hanya ada aku dan Papa.”
“Loh, yang lain tidak dianggap orang?” Dirga mempertanyakan mengenai para pekerja di rumah mereka.
“Bukan begitu …” rajuk Agni. “Kakak tahu apa maksudku,” katanya.
Dirga sekali lagi menekan tombol lift yang tadi belum sempat dia naiki. Setelah pintunya terbuka, Agni ikut naik bersamanya.
“Papa juga belakangan kusut terus kalau pulang ke rumah. Sudah dibuatkan makanan kesukaannya, masih saja terlihat seperti itu,” keluh Agni, yang selalu merasa paling tegang dan tidak nyaman saat ada hal menegangkan di rumah mereka.
Dirga menghela napasnya.
“Aku sudah dengar apa yang terjadi di pesta Aryani,” ungkap Agni, saat pintu lift terbuka.
Dirga menoleh ke arah adiknya sejenak sebelum melangkah keluar dari lift dengan dibuntuti Agni.
“Dari siapa?”
“Sinta.”
Dirga tak berkata apa-apa, hanya wajah tampannya yang kembali terlihat menegang.
“Kak… Jangan khawatir, aku mendukung Kakak. Aku juga sangat menyukai Kak Rania,” bujuk adiknya yang pandai mengambil hati.
Wajah Dirga sontak cerah kembali mendengar nama gadis itu, dan tak bisa menahan senyum di sana.
“Terus, kamu mau apa? Sepertinya adikku ini ada maunya,” kata Dirga saat memasuki kamarnya, dan Agni masih saja membuntuti.
Adiknya itu nyengir kuda, sepertinya motifnya ketahuan.
“Kak, teman-temanku mau ada camping, aku mau—“
“Tidak boleh!”
“Kakak!!”
“Tidak boleh!!”
“Kakaaak... kami ada yang menemani kok, yang lebih paham dan—“
“Tidak.”
“Kakaaaaakk!!” rengek Agni, membuat kakaknya yang hendak istirahat itu jadi pusing bukan kepalang.
“Begini saja,” putus Dirga. “Kamu boleh ikut kalau ada yang menemani.”
“Ha!?” Agni melongo. “Masa aku bawa babysitter? Nanti aku bisa ditertawakan,” ia merengut.
“Terserah. Kamu ikut hanya kalau ada yang menemani.”
“Kak… mereka itu teman-temanku semua.”
Dirga menggeleng. Dia mendorong punggung Agni keluar kamarnya.
“Kakak!”
“Kalau kamu kabur, kakak susul kemana saja kamu pergi,” putusnya. “Kalau perlu kakak umumkan di koran nanti.”
Agni hanya menatap kakaknya tidak rela.
“Aku jadi kasihan kepada Kak Rania,” Agni bersungut-sungut.
“Kenapa?” Alis Dirga bertaut.
“Dia tidak tahu saja sedang berurusan dengan orang posesif begini,” ejek adiknya.
“Hhh…!!” lelaki itu mencubit hidung adiknya. “Itu bukan urusanmu.”
Agni kesal dan beranjak sambil manyun.
***
Rania berpakaian sambil sedikit bersenandung. Sejak bangun pagi hari ini, suasana hatinya sangat bahagia sekali. Rasanya ingin segera pergi ke café dan mengurus bunga-bunganya lagi. Dia sedang berpikir, apa hari ini dia pergi saja mengunjungi rumah kaca di tempat Dirga? Sepertinya bunga-bunganya juga banyak yang sedang mekar di sana.
Lamunan Rania terputus, saat dia membuka pintu dan mendapati ada sebuah mobil di depan pagar rumahnya dan seorang laki-laki bertubuh tegap menunggu di samping pintu.
Dia cukup terkejut melihatnya, heran apa yang orang itu lakukan di sana.
“Pak, maaf, saya mau keluar,” ia memperlihatkan helm di tangannya.
“Saya mau menjemput Bu Rania,” kata pria tersebut.
“Me-menjemputku? Siapa yang menyuruhmu menjemputku?” tanya Rania waspada.
“Pak Dirga.” Hampir saja Rania menjatuhkan helm di tangannya.
“Untuk apa menjemputku? Aku biasa pergi kerja sendiri.”
“Agar lebih aman, lalu….” Tatapan lelaki itu jatuh ke jari manis Rania. “Pak Dirga mengingatkan agar Bu Rania selalu memakai cincin tunangannya, jangan lupa.”
Rania menunduk, ia melihat tangannya yang polos. Hhh… masih saja lelaki itu bersikukuh.
Dengan kesal gadis itu menghubungi Dirga. Ada saja tingkah kekasihnya yang bisa membuatnya jengkel tersebut.