Konfrontasi

2100 Kata
Dengan cukup geram Rania menghubungi kekasihnya. Padahal belum lama kekasihnya itu membuatnya merasa sangat bhagia, sekarang sudah membuatnya kesal lagi. Tak lama kemudian suara maskulin terdengar di telinga pemilik toko bunga tersebut. “Halo.” “Dirga! Apa kamu—“ “Mengirim Dimas ke sana? Iya, benar.” “Buat apa? Kamu ‘kan tahu—“ “Iya, aku tahu. Tapi kita pernah membicarakannya sebelumnya. Kamu tidak bisa pakai cincinnya karena kamu naik motor dan takut memancing kejahatan. Jadi solusinya—“ “Ck! Seenaknya!” hardik Rania, memberengut. “Kenapa tidak membicarakannya dulu denganku?” “Memangnya kalau dibicarakan kamu mau? Aku sudah mengenalmu.” “Kalau sudah mengenalku, kamu pasti juga tahu, pokoknya aku tidak mau ada bodyguard-bodyguard seperti ini. Dirga! Aku jadi merasa terkekang….” Keluh Rania, kali ini agak menghiba ketimbang bersikeras. Sejenak tak ada suara apa pun dari pihak Dirga, hanya terdengar suara lalu lintas yang tampaknya cukup ramai. “Aku khwatir, Ran…” aku Dirga akhirnya, sedikit perlahan. Rania mengerutkan alisnya. “Aku sudah biasa pulang pergi kerja sendiri, ‘kan? Apa yang harus dikhawatirkan?” “Orang yang sering menghubungimu tanpa bicara, dia masih menghubungimu, ‘kan? Aku melihatnya saat di mobil, dia masih mencoba menghubungimu.” Gadis itu sejenak tertegun. Dirga memang tidak salah. Orang yang menghubunginya tanpa suara itu masih sempat menghubunginya. “Aku sudah memblokir nomornya,” terang Rania. “Aku sempat lupa. Tapi kemarin saat dia menghubungi, aku sudah memblokir nomor yang tidak kukenal itu.” Dirga masih tak bersuara. Sepertinya Direktur Kamajaya itu sedang berpikir. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja…. Soal cincinnya, juga aku bawa. Nanti pasti kupakai,” bujuk Rania. “Tapi aku tidak mau ada orang yang menguntitku ke sana kemari seperti ini,” dia melirik Dimas yang sepertinya agak terkejut disebut penguntit. “Baiklah,” Lelaki itu luluh juga. “Biarkan aku bicara kepada Dimas,” pintanya. Rania mengangsurkan ponsel di tangannya kepada pria tegap di hadapannya. Bodyguard itu mengangguk-angguk dan berkata, “Siap, Pak!” sebelum mengembalikan ponselnya kepada Rania. “Baiklah, aku harus pergi ke café sekarang,” pamit Rania. Keduanya lalu terdiam. Seakan ada yang hendak dikatakan, tetapi bingung mengatakannya. Akhirnya gadis itu hanya mendengar Dirga berkata agar dia hati-hati dan ‘bye,”. Setelah itu Dimas pamit dan membawa pergi mobilnya dari sana. *** Rania sedikit terkejut saat dia sampai di café, ternyata kakaknya sudah ada di sana. Gadis itu kaget sekali. “Kakak!” dengan agak cepat Rania menghampiri Renjana yang sedang melihat-lihat bunga di sekeliling café. “Hei! Kok baru datang?” “Uh, iya, tadi ada sedikit masalah di rumah,” Rania berkata, dengan sedikit kikuk. Dia berharap Renjana tidak akan banyak bertanya dan harapannya terkabul. “Tadi aku mencoba menghubungimu, tetapi sepertinya teleponmu sibuk. Jadi aku ke sini saja. Aku ingin membicarakan masalah bunga yang akan dipesan Yudha untuk lamaran Raka dan Padma bulan depan. Kamu sudah tahu ‘kan?” Rania mengangguk. Dia sudah dengar rencana Raka yang sudah mau pulang sebentar lagi. Malahan, dia dan Bu Puspa juga sempat saling berkirim pesan, dan wanita ningrat itu mengatakan akan mengundang keluarga Rania makan malam setelah mereka pulang dari Singapura nanti. “Ran! Hei, Ran!” Renjana menyenggol lengan adiknya, menyadarkannya kembali. “Kamu melamunkan apa?” “Ah, iya, itu… aku baru ingat kalau mereka memang sudah mau pulang dari Singapura,” ungkap Rania. “Ya sudah, Kak, jadi apa saja yang nanti diperlukan untuk tunangannya?” Renjana mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya dan mengangsurkannya kepada Rania. “Itu pesanan dari Yudha. Kira-kira kamu bisa mendapatkannya?” Gadis itu mengamati daftar bunga yang diperlukan. “Tidak masalah Kak, asal sudah ada tanggalnya, aku tinggal konfirmasi pada supplier soal pengiriman barangnya. Tetapi nanti aku kabari lagi, setelah aku konfirmasi pada suppliernya, tetapi sepertinya sih tidak ada masalah,” ungkap Rania. Renjana tampak mengangguk-angguk lega. “Oh ya, nanti kamu dan Dirga datang ke ulang tahun Gendhis ya.” “Nanti, aku katakan kepada Dirga. Tetapi aku tidak tahu dia sempat datang atau tidak, mungkin—“ “Dia sudah bilang akan datang,” Renjana menyeringai lebar. “Aku sudah mengundangnya kemarin, katanya, dia akan datang bersamamu kalau tidak ada keperluan mendesak.” Mata Rania membulat. “Kakak sudah bilang sendiri kepadanya?” “Iya. Aku juga sudah bilang, mungkin akan ada Ibu dan Bapak, sepertinya Dirga tidak masalah dengan hal itu.” Rania sedikit gelisah. Sejujurnya, dia merasa kurang siap mempertemukan Dirga dengan orangtuanya. Memang benar, sepertinya hubungan mereka mulai melangkah pada sesuatu yang nyata. Tetapi tetap saja, mereka belum benar-benar membicarakannya. Bahkan, apa yang sebenarnya terjadi di lift saja, tidak ada yang berani mengungkitnya. Tak lama Rania merasakan telapak kakaknya yang hangat menggenggam tangannya. “Jangan terlalu cemas, Dirga orang yang sangat baik. Ibu dan Bapak pasti sangat senang jika melihat kamu sekarang bersamanya.” Rania menelan ludahnya dan mengangguk. Kalau Dirga sudah setuju datang bertemu keluarganya… Mungkin memang sebaiknya begitu. Bagaimana pun, ada Dirga tidak ada Dirga, saat bertemu dengannya nanti, orangtuanya pasti akan bertanya tentang lelaki itu juga. Akan lebih baik jika mereka menanyakan apa yang ingin diketahui secara langsung kepada Dirga. *** Aditya menunggu gelisah di salah satu sudut restoran. Seorang teman wanitanya datang dan duduk di hadapan lelaki itu. “Bagaimana Dwi? Kamu sudah lihat catatannya?” Aditya memastikan kepada Dwi, seorang dokter residen di sebuah rumah sakit. Dokter Dwi tampak menghela napas. “Aku melakukannya karena kamu sahabatku, dan aku tahu apa yang sudah menimpamu,” ungkapnya. “Tidak ada catatan Sasti pernah keguguran di rumah sakit ini. Dia hanya pernah berkonsultasi dengan dokter estetika, atau dokter kecantikan.” Aditya terkejut bukan kepalang. Ingatannya terlempar pada kejadian tahun lalu. Rupanya Sasti dan kedua orangtuanya sudah membohongi dirinya. *** Rania mengamati dirinya di cermin. Dirga sedang dalam perjalanan untuk menjemput ke ulang tahun keponakannya. Ada beberapa hal yang memenuhi kepala Rania sekarang. Soal ciuman itu, dan status mereka yang Rania jadi tidak yakin. Apakah masih pura-pura? Atau.... Tapi ciumannya sangat nyata. Walau terasa seperti mimpi, tapi itu memang terjadi. Mereka tidak pernah membahasnya, dan sejak kejadian itu, baru akan bertemu lagi sekarang. Apa akhirnya topik itu akan terangkat ke permukaan? Dan bukan hanya itu yang membuat Rania resah. Dirga sudah mengatakan besok Raka dan Puspa kembali dari Singapura, juga Padma. Teringat wanita itu, Rania gelisah bukan main. Salah satu sudut di hatinya sangat meragukan Dirga dan meyakini hati lelaki itu masih tertambat pada wanita yang bernama Padma. Bel pintu terdengar saat Rania sedang bicara di telepon dengan anak buahnya di café dan memberikan beberapa pesan karena hari ini dia tidak stay di tokonya itu. "Masuk saja! Tidak dikunci!" Seru Rania sebelum perhatiannya kembali pada percakapannya di telepon. "Ok, begitu saja. Saya harus pergi sekarang. Kalau ada apa-apa hubungi ponsel saya." Rania menutup teleponnya dan melangkah ke ruang tamu. "Maaf ya, barusan ada..." Kalimatnya terhenti, dihadang rasa tidak percaya dan trauma yang menghantam. "A-A-A..." Rania tercekik. "Adit... Sedang apa kau di sini?" Lelaki itu berusaha mendekat, "Ran, aku—" "Jangan mendekat!!" bentak Rania, wajahnya memucat dan tubuhnya lemas. Dalam sekejap Rania hilang kendali pada fisik dan psikologis. Keringat dingin menyeruak di dahinya, dari ujung kepala hingga kaki terasa gemetar. Perutnya mual dan kepalanya pening. Dia tidak ingin melihat Aditya. Dia tidak ingin berduaan dengan Aditya. "Pergi..." desisnya. "Rania, aku mau minta maaf..." mohon Adit. "Aku berusaha mengumpulkan kekuatan  memberanikan diri untuk menemuimu." "Tidak ada yang harus dibicarakan, aku tidak mau dengar!!" Rania menutup kedua telinganya dan mengelengkan kepala keras. "PERGI!!" histerisnya. "Aku masih mencintaimu!!" seru Adit lantang. "Aku tidak pernah bisa melupakanmu!!" Rania terjegil. Napasnya masih terasa sesak. Mata nanarnya yang membulat menatap pedih. "Aku baru tahu saat itu, Sasti sudah merebut tokomu. Belakangan ini aku sibuk di klub baru, dan baru tahu apa yang dia lakukan kepadamu." Perlahan Adit mendekat waswas, mengantisipasi jika Rania meledak tiba-tiba. Namun gadis itu hanya mematung sambil gemetar. "Kami sudah putus. Dia sudah membohongiku…" Rania tidak bisa lebih terkejut lagi. Ia tidak bisa bergerak. Bahkan saat Adit mendekat. "Bukan hanya itu, aku juga... mau minta maaf untuk semuanya. Untuk hari itu." d**a Rania semakin sesak. Ia tidak bisa mengendalikan diri dan tiba-tiba saja menangis keras. "Saat itu Sasti datang, mengaku bahwa dia mengandung anakku." "Diam..." pinta Rania, membekap bibirnya sendiri agar tangisnya tidak semakin keras. "Dia mengancam, jika aku tetap menikah denganmu, dia akan membeberkan semuanya di hadapan orang-orang dan mempermalukan kita. Keluarga besar kita. Aku tidak punya pilihan... Karena itu aku tidak datang. Keluarganya sampat mendesak aku menikahinya untuk bertanggung jawab. Tapi keluargaku tidak kunjung merestui. Sebulan kemudian kami bertengkar di telepon, dan dia kecelakaan di jalan, lalu mengaku keguguran.  Dokter memvonis dia tidak bisa hamil lagi. Tetapi sebenarnya sejak awal dia tidak pernah hamil. Aku berkali-kali bermaksud meninggalkannya. Tapi aku tidak bisa," Adit putus asa. "Sasti sering melukai tangannya sendiri jika kami bertengkar. Lengannya punya banyak luka sayatan, dan Sasti selalu mengatakan bahwa itu semua salahku. Orangtuanya memintaku tidak meninggalkannya. Aku hanya merasa bertanggung jawab kepadanya. Tapi sungguh... Rania... aku tidak pernah berniat menyakitimu. Aku tidak pernah ingin melepaskanmu." Kalimat Adit tercekat. "Aku sangat menderita kehilanganmu." "Jangan!!" berontak Rania, menepis jari Adit yang berusaha menyentuh tangannya. "Jangan sentuh aku..." ia memohon pria itu untuk tidak mendekat, karena Rania tidak juga bisa beranjak dari tempatnya. Ia kehilangan kemampuannya melarikan diri. "Maafkan aku Ran... sungguh... Dulu aku terjebak. Tapi aku sudah tidak ingin lagi kebebasanku terrenggut olehnya. Apalagi, dia masih mengusikmu. Aku sudah tidak bisa lagi menoleransi perbuatannya kepadamu. Aku ingin berada di sampingmu, aku akan melindungimu dari dia atau siapa pun." Dengan lembut Adit berkata, tangannya menyentuh bahu Rania. Kali ini gadis itu tidak kuasa menolaknya. Ia hanya menatap Aditya kalut. "Tidak ada yang lebih memahamimu selain aku. Tidak ada yang bisa membuatmu lebih bahagia selain aku. Cinta kita tidak sekuat batu karang, tapi lebih dari itu. Cinta kita mampu menghancurkan batu karang sekeras apa pun. Benar 'kan Ran? Itu yang dulu pernah kita ucapkan?" Adit menghapus airmata Rania. "Aku ingin kita bersama lagi, dan menghancurkan batu karang apa pun yang menghalangi kita sekarang, Rania..." "T-t-tidak...." tolak Rania, berusaha mendorong d**a Adit. Tapi Adit memaksa, merangsak cepat memeluk Rania, saat kedua telapak gadis itu masih berada di dadanya. Rania terkesiap, tubuhnya berontak. "Tidak!! Lepas!!" serunya parau. Tapi percuma. Aditya yang atlet bola basket itu bergeming. Rania panik dan takut, dia hanya bisa teringat satu orang. Dirga… Tolong aku!! “Ran!” elu Dirga, mengeluarkan suara keras dari dadanya saat melihat pemandangan itu. Rania terperanjat, demikian juga Adit yang langsung menoleh ke arah lelaki menjulang itu. Dirga menghampiri dengan memasang wajah dingin. Ia meraih pergelangan tangan Rania, menjauhkannya dari Adit dan menatap tajam lelaki tidak tahu diri itu. “Ada perlu apa kamu dengan kekasihku?” geram Dirga berbahaya sembari menunjuknya tegas. Rania menahan napas. Hampir lupa akan perannya dan Dirga karena terbawa kenangan bersama Aditya. Aditya menelan ludahnya, gelagapan. Ia beberapa kali menatap Dirga dan Rania bergantian. Lantas tatapan pebasket itu mantap terpasung kepada Dirga. “Kamu serius kepadanya?” tanya Adit, meminta kepastian. Rania bisa merasakan genggaman tangan Dirga mengerat di pergelangannya. Dirga mengeratkan rahang. Ia tidak tahu jawaban apa yang terbaik bagi Rania. Tetapi lelaki itu akhirnya berkata, “Ya. Aku serius. Sa-ngat serius. Apa kamu punya keluhan?” tantangnya. Bahu Adit bergerak turun, kalah. “Aku dulu adalah calon suami Rania, dan—“ “Jangan dibahas lagi!” geram Rania di antara giginya. “Ran, aku—“ “Kamu tidak dengar apa yang dia katakan?” desis Dirga, dingin. Ternyata Adit memang bebal. Dia tidak menganggap Dirga, diraihnya tangan Rania dan diremasnya. “Ran, setahun ini, setahun ini tidak sehari pun aku tidak mengingat—“  Sejurus kemudian Dirga mendorong d**a Adit keras, tubuhnya mundur menjauh,. Dirga membusungkan dadanya dan mengangkat dagunya. “Jangan-sentuh-dia!” ia menyipitkan matanya mengancam. Rania menggigit bibirnya, berlindung pada Dirga yang terasa kokoh di sampingnya, seperti benteng yang siap melindunginya. Aditya terpana sejenak, baru menyadari situasinya. Dia tidak bisa meremehkan Dirga.  “Cepat pergi,” Dirga menggeram, menunjuk ke pintu. Aditya kembali menatap Rania. Kali ini tanpa kata, hanya meminta dengan matanya. Mata yang penuh sesal dan harap. Berharap gadis itu mengatakan sesuatu. Namun Rania hanya menunduk, bungkam, mengusap air mata yang merembesi matanya. Aditya tidak berkata apa-apa, dia pergi meninggalkan Rania dan Dirga. Dirga mengendurkan air mukanya. “Kamu tidak apa-apa?” Ia memastikan. Khawatir merasakan tangan Rania yang gemetar. Rania melingkarkan tangannya di pinggang Dirga. Ia merasa tidak sanggup bernapas atau berdiri. Pembicaraannya dengan Aditya telah membuka luka lama yang begitu dalam dan menganga. Sakit. Rasanya sakit sekali. “Aku benci dia…” isak Rania, suaranya gemetar hebat. “aku benci dia…!” Dirga balas memeluk gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN