Ulang Tahun Gendhis

1227 Kata
Dirga memarkirkan mobilnya di antara deretan mobil lain yang mengantarkan tamu undangan ulang tahun Gendis. Sepertinya sudah ramai. Sekarang Rania jadi semakin gelisah. "Wajahku baik-baik saja, kan? Tidak terlihat kalau aku habis menangis?" Rania menghadapkan wajahnya kepada Dirga saat keduanya memasuki halaman rumah Renjana. Dirga menoleh dan menunduk, mengamati wajah Rania. Dia tiba-tiba berhenti melangkah dan menangkup wajah Rania. Kalau diamati, memang sisa tangis itu masih meninggalkan jejak di wajah cantik Rania yang sekarang tampak sangat merah dan tegang. Rania hanya menatap Dirga bingung, merasakan telapak lebar lelaki itu menghangatkan wajahnya lebih banyak lagi. "Di-Dirga? Bagaimana?" Rania meminta kepastian kepada lelaki yang tengah menatapnya dalam dan tajam itu. "D-Dirga...!" tegurnya. Dirga menunduk, mendekatkan wajahnya kepada Rania tanpa mengubah ekspresinya yang setenang telaga sementara jantung Rania jadi kacau balau. Mau apa lelaki ini? "Fuh!!" Dirga meniup wajah Rania. Gadis itu mengerjap kaget karenanya. "Nah, sekarang kau baik-baik saja," tukasnya sambil tersenyum lebar.. Rania mengerutkan alis dan mengerucutkan bibir merajuk, "Dasar!!" ketusnya, memukul ringan lengan Dirga. "Kau baik-baik saja, jangan terlalu tegang, tenang saja. Yang mau bertemu calon mertua 'kan aku. Bukan kau," tukas Dirga ringan seraya menggenggam tangan Rania. "Bukan begitu! Maksudku... eh, a-a..." Rania kehilangan kata-kata. Apa dia bilang barusan? Calon mertua? Dengan perasaan tidak menentu Rania mengamati rambut gondrong Dirga. Bertanya-tanya apakah lelaki itu serius atau tidak? Entahlah. Sepanjang jalan tadi, mereka tidak banyak bicara, juga tidak menyinggung Aditya karena Rania masih menenangkan diri. Tidak ada Aditya, Padma, atau ciuman mereka. Saat Dirga dan Rania memasuki ruang tamu yang sudah dihias beraneka balon dan pita itu, keceriaan sedang berlangsung. Seorang badut sedang bermain sulap dan beberapa puluh anak teman Gendis di TK sedang tertawa-tawa dan bertepuk tangan. Tetapi kedatangan Dirga tetap tidak luput dari perhatian. Beberapa ibu muda dan babysitter anak-anak itu sempat mengamati Dirga sampai terlongong-longong. Sambutan lebih hangat diterima dari Renjana dan orang tua Rania yang tampak senang melihat Dirga. "Ran, bantu Kakak menyiapkan game di halaman, yuk. Dirga di sini saja, mengobrol dengan Bapak dan Ibu," Renjana menarik Rania menjauh dari Dirga dan ayahnya tanpa memberi kesempatan sepasang mitra itu menolak. Rania berkali-kali melirik ke dalam saat menyembunyikan beberapa hadiah di taman yang nanti akan dicari oleh anak-anak. Dirga tampak berbincang dengan ayahnya. Entah apa yang Dirga pikirkan. Dia terlihat tenang dan sesekali tersenyum. Sekali waktu Dirga memergoki Rania yang sedang mengamatinya. Dirga tersenyum lagi, dan membuat Rania bersemu. Beberapa kali mereka saling melirik dan bertukar pandang lalu tersenyum malu-malu. Rania jadi salah tingkah sendiri. Padahal, bukan kali ini dia mengenal Dirga, tapi kenapa hatinya berbunga-bunga hanya karena mereka saling bertukar tatap seperti sekarang. "Sepertinya Bapak menyukai Dirga," tukas Renjana yang tiba-tiba mendekat. "Sepertinya tinggal menentukan tanggal saja," godanya. Rania terlonjak, wajahnya agak memanas takut ketahuan sedang mencuri-curi pandang. "Masih jauh, Kak," gumam Rania. Mulai tidak nyaman dengan arah pembicaraan. "Dirga baik sekali ya. Pertama lihat Ibu agak seram saking gagahnya. Tapi ternyata orangnya ramah dan sopan," puji ibunya yang juga tiba-tiba mendekati Rania. "Ibu senang sekali, sempat khawatir loh Dek, kamu menutup diri terus. Akhirnya ada Dirga..." "Ibu jangan ikut-ikutan, ah," tampik Rania cepat. "Kami baru kenal belum lama. Tidak ada pembicaraan ke arah situ. Masih terlalu cepat." "Ya untuk apa sih lama-lama? Menunggu apa pacaran lama itu? Menunggu putus?" "Rania belum mau menikah, Bu!" kali ini Rania jadi agak ketus, teringat lagi mengenai pernikahan dan Aditya. Rania mungkin jatuh cinta kepada Dirga. Tapi menikah? Rasanya jauh sekali. Rania tidak punya kepercayaan sebesar itu menyerahkan seluruh hati dan masa depannya kepada Dirga. Suasana taman menjadi sangat ramai saat anak-anak mulai berlomba mencari hadiah yang disembunyikan. Sebagian memberi aba-aba kepada anak lainnya yang mencari hadiah dengan mata tertutup. Rania tidak berhenti tertawa melihat anak-anak itu. "Lucu ya..." suara maskulin Dirga terdengar. Rania tertegun sejenak sebelum menyetujui. Lengan lelaki itu merapat pada Rania, membuat gadis itu gugup lagi. "Uhm... Membicarakan apa saja dengan Bapak dan ibu?" "Ya biasalah pertanyaan buat calon menantu. Sudah berapa lama kenal, soal kecocokan, soal keseriusan," tukas Dirga, Rania terkekeh mendengarnya. "Hari ini sudah beberapa kali aku ditanya soal keseriusanku kepadamu. Mungkin itu pertanda." "Pertanda apa? Sudah jangan dipikirkan!" tampik Rania sambil tergelak tipis. "Pertanda agar cepat-cepat direalisasikan." Deg! Satu debaran terlewati. Rania jadi salah tingkah lagi. "Sudah ah, tidak lucu!" lirih Rania, kali ini tanpa tawa. Sebuah kejutan kembali didapatkannya saat lengan Dirga melingkar ke bahunya. "Memangnya yang bercanda siapa?" Rania menelan ludah gugup. Ia menoleh kepada Dirga dan mendapati wajah sungguh-sungguh lelaki. Jantung Rania berderap keras hingga ia tidak sanggup berlama-lama menghadapi tatapan yang menaklukkan itu. Rania membuang wajahnya tanpa suara, merasakan tangan Dirga meremas bahunya mantap. "Padma hari ini pulang, bukan?" Rania berucap pelan. Telapak Dirga sempat mengetat di bahu Rania. "Ya. Lalu?" "Lalu?" Rania menatap kesal. Dirga mengangkat alisnya bingung. "Lalu?" desak Rania. Dirga bergeming, hanya mengamati raut cantik Rania yang tadi salah tingkah menjadi marah.  Dirga memasang wajah tenang yang merayu, satu sudut bibirnya tertarik samar. "Jadi begini wajahmu kalau cemburu? Aku selalu heran kalau kau tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba marah tanpa sebab. Jadi kau— " "Melantur! Jangan besar kepala!" semprot Rania dengan wajah memerah. "Kau sendiri punya Adit, kenapa repot-repot memikirkan Padma?" "Jangan sebut-sebut Adit!" kecam Rania. "Dia itu masa lalu." "Begitu juga Padma bagiku," Dirga menghela napas. Sejenak menerawang sebelum kembali mengamati keramaian di tengah taman. "Dia tidak akan pernah jadi masa depanku." "Tapi itu bukan berarti kau sudah berhenti mencintainya." tukas Rania pahit. "Yang bilang begitu, siapa?" Dirga balik bertanya. "Bercanda ada batasnya," Rania menepiskan tangan Dirga di bahunya. “Jangan bermain-main masalah hati. Karena saat terluka rasa sakitnya tidak terkira." "Aku tidak main-main. Dulu, mungkin, saat menanti hari esok tiba, dia pernah jadi seseorang yang kunantikan kehadirannya. Tapi, belakangan, semuanya berubah." Dirga berkata, rautnya melembut mengamati Rania. "Jika aku memikirkan hari esok, ada orang lain yang mengisi kepalaku. Aku berpikir, apa besok aku akan bertemu dengannya? Apa yang akan dilakukannya? Apa aku bisa, menyisihkan waktu sedikit hanya untuk melihatnya? " "Siapa?" Rania menunggu. Salahkah jika dia berharap Dirga akan menyebut namanya? "Gadis paling aneh yang pernah kutemui," Dirga mendengus geli. "Yang paling aneh, siapa?" desak Rania, agak ketus. Dirga mengamati Rania terheran. Setelah kejadian di lift itu, apa Rania masih tidak punya gambaran? masih tidak mengerti? atau mungkin gadis itu hanya belum yakin? Sama halnya seperti Padma dulu yang juga meragukan perasaannya hanya karena satu kata yang tidak terucap darinya. Dirga kembali meraih bahu Rania, dan agak melandaikan tubuhnya ke arah gadis itu. Sedikit tidak yakin bahwa ini pembicaraan layak di tengah ulang tahun seorang bocah. Tapi Dirga tetap melontarkan sepatah kata serupa bisikan lembut di telinga Rania. "Kau." Napas Rania terhenti seketika, terhimpit rasa tidak percaya yang berebut dengan rasa bahagia untuk menyesaki d**a. Semua keriuhan di hatinya terpancar dari caranya menatap Dirga dan bibirnya yang tidak tahu harus berkata apa. Dan sekali ini, Rania bisa melihat rona tidak biasa di wajah Dirga yang biasanya membuat dia mati kutu. "Nah, dapat!!" seru Renjana, setelah sebuah suara jepretan kamera terdengar. “Wah… Mesra sekali!” wanita itu menyeringai iseng. "Kakak, apa sih!!" tukas Rania dengan kesal namun tidak bisa benar-benar marah. Ada satu hal yang membuat rasa bahagia itu tidak mau padam di hatinya. Setidaknya, sekarang dia bisa meyakinkan diri bahwa selama ini Dirga tidak hanya bermain peran saja dengannya. Walaupun belum ada kata cinta yang terucap dari bibir lelaki itu, pengakuannya membuat Rania senang. Bahwa Dirga selalu mengingatnya saat berpikir tentang esok hari. Tentang masa depan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN