Kejutan di Taman

1711 Kata
“Tadi itu benar-benar menyenangkan! Kalau aku masih anak-anak, aku juga ingin ikut main game dan pasti bisa mendapatkan semua hadiahnya,” tukas Rania antusias saat mobil Dirga sudah kembali terparkir di halaman rumahnya. Lelaki itu hanya menanggapinya dengan tersenyum. “Dirga… mampir dulu?” tawarnya agak malu-malu. “Tentu,” sambut sang kekasih. Keduanya turun dari mobil. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, tangan mereka bergandengan begitu saja. Saat tengah menyusuri taman halaman rumah Rania, tiba-tiba lelaki jangkung itu berhenti melangkah. Gadis yang wajahnya bersemu itu menoleh kepadanya. “Ayo kita bermain,” ajak Dirga, kali ini senyumnya lebih lebar, juga binary matanya. Sepertinya lelaki itu tengah merencanakan sesuatu. “Main? Main apa?” Rania tampak bingung. “Sebetulnya, aku sudah menyiapkan hadiah untukmu. Bukankah kamu bilang mau bermain? Ayo kita bermain.” “Hadiah apa?” Wajah gadis itu tampak semakin cerah. “Dan, maksudmu di sini? Di taman ini? Sekarang?” seperti biasa rasa penasaran membuat Rania merepet. “Benar.” Dirga melepas syal yang Rania kenakan. “Seperti anak-anak tadi. Matamu harus ditutup. Aku akan mengarahkanmu ke tempat hadiahnya. Kalau berhasil sampai tujuan, hadiahnya jadi milikmu.” Ia memutar tubuh Rania dan mengikatkan syalnya menutupi mata tunangannya itu. “Baiklah! Aku pasti menemukannya.” Gadis itu menjentikkan jarinya. “Tapi kamu harus mengarahkanku dengan benar!” “Iya, iya, Cerewet.” “Siapa yang kamu bilang cerewet!” hardik Rania, kepada pohon palem. Dirga menahan tawanya. Ia memutar Rania dua kali, tampak sedikit gamang tapi tidak protes. “Aku akan mengarahkanmu menuju hadiahnya. Ingat jangan mengintip dan denganrkan instruksiku saja.” Dirga berujar sembari mencari posisi. “Iya, iya, Cerewet!” Balas Rania, dan membuat Dirga meringis gemas. Akhirnya permainan pun dimulai. Dirga meminta gadis itu agar berjalan lurus. “Lurus terus, lurus,” Dirga mulai memberi instruksi kepada Rania yang kali ini merentangkan tangannya ke depan seakan mencari-cari apa saja yang dapat menyentuhnya. “Belok ke kiri, geser ke kanan dua langkah.” “Ini? Di sini?” Rania meraba-raba, “Ini kan pohon palem!” Tanpa menyerah gadis itu terus mengikuti instruksi kekasihnya, walaupun tampaknya tidak ada tanda-tanda dia akan menemukan hadiah apa pun. “Dirga, ini ayunan!” “Aduh…! Apa di sini? Di kotak surat?”  “Dirgaa! Kamu sengaja mempermainkanku, ya? Sebetulnya hadiah itu ada atau tidak?” Rania mulai kesal karena tidak sampai-sampai tujuan. Dirga tergelak. “Ya, ada, ada. Baiklah. sekarang aku tidak bohong. Melangkah ke kanan dua kali. Hadap ke sebelah kanan. Ya, begitu. Sekarang berjalan. Lurus saja.” “Begini?” Rania masih terus mengikuti instruksi Dirga. “Ya. Lurus saja. Jangan berhenti sampai aku beri perintah selanjutnya.” “Jalan terus?” kaki Rania meraba-raba, begitu juga kedua tangannya yang terjulur ke depan. Rania agak bingung. Dirga tidak memberikan perintah apa-apa lagi untuk beberapa lama. “Dirga? Masih jalan terus?” “Iya, kubilang jalan saja terus, tinggal sedikit lagi.” “Awas kalau kamu berbohong lagi,” ancam Rania. Perlahan-lahan ia melangkah. Lalu ia menyadari sesuatu. Suara Dirga lebih dekat. Dan sekarang, aromanya. Aroma khas lelaki itu semakin pekat ke hidungnya. Jantung Rania semakin keras setiap ia melangkah. “D-Dirga, kenapa masih diam saja? Dimana hadiah—“ ucapan Rania terputus, saat jemarinya menyentuh sesuatu. Ia merabanya. Bidang, kokoh. Ia tahu apa yang tengah disentuh telapaknya. “D-Dirga?” “Belum selesai. Maju selangkah lagi.” Suara rendah lelaki itu membuat jantung Rania berhenti berdetak sejenak. Rania menelan ludahnya, sempat ragu, akhirnya ia mengikuti permintaan kekasihnya tersebut. Sekarang, mereka hampir tanpa jarak. Rania membeku, tidak bisa bergerak dan tangannya masih di d**a lelaki itu. “Nah, kamu sudah sampai.” Dirga membuka syal yang menutupi mata Rania. “Su-sudah?” gadis itu tertegun. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali karena silau sebelum kemudian mendongak. Rasa silau itu tidak banyak berkurang saat melihat wajah tampan Dirga. “Mana? Katanya mau memberiku hadiah,” tagihnya. Dirga menggenggam pergelangan Rania dan mengalungkan tangan gadis itu ke pinggangnya. “Memangnya, aku saja belum cukup?” Rania terkesiap dan langsung salah tingkah karena kelakuan lelaki itu. “K-kamu? Maksudnya, itu, anu, uhm, kan…” gadis itu gelagapan, tidak tahu harus bicara apa untuk mengalihkan rasa salah tingkahnya. Dirga tertawa. “Aku punya hadiahnya,” tukasnya sambil merogoh saku kemeja. “Ini.” Gadis itu meraih selembar kertas yang diangsurkan kepadanya. Mengamatinya sejenak sebelum menahan pekikan, “Tiket nonton kompetisi ice skating bulan depan!?” gadis itu berjingkrak dan menatap Dirga riang. “Terima kasih! Ini… aku memang ingin sekali menontonnya! Bagaimana kamu bisa mendapatkan tiketnya? Setahuku ini terbatas dan sudah habis!!” Dirga tidak menjawab, hanya memberi senyuman misterius yang membuat Rania gemas. “Aku juga punya satu,” Dirga mengeluarkan tiket miliknya. “Kita pergi bersama.” Rania menggigit bibir bawahnya tipis sebelum kemudian tersenyum lebar. Dirga mengajaknya berkencan? Gadis itu mengangguk senang. "Terima kasih ya... Kamu sudah memberiku banyak hal. Cincin, cafe, sekarang ini. Sementara aku belum memberikan apa-apa kepadamu." "Kamu juga sudah memberi banyak hal untukku walaupun mungkin kamu tidak menayadarinya," balas Dirga. Caranya mengatakan dengan sungguh-sungguh, diiringi tatapan dalam dan senyuman lembut yang samar, menyihir Rania seketika. Gadis itu merasakan aliran darahnya berdesir, saat jarak wajah mereka menyempit. Ia tidak sanggup menatap Dirga lagi. Sebuah getaran dan ringtone yang tidak begitu nyaring terasa sangat mengejutkan bagi mereka berdua. Rania terlonjak keras. “Halo?” Dirga mengangkat panggilan itu. Saat Rania hendak menjaraki tubuh mereka lebih jauh, lengan Dirga masih melingkar di pinggangnya dan sama sekali tidak mengendur membuat gadis itu tidak bisa beranjak kemana-mana. “Oh, begitu? Ya, baiklah Ma, tidak apa-apa. Besok kabari saja, aku akan menjemput kalian,” katanya. “Ya, aku sedang bersama Rania,” ujar Dirga, seraya menatap gadis yang disebut namanya. “Baiklah, Ma, bye.” “Ada apa?” buru Rania, saat Dirga baru saja mengakhiri sambungan telepon. “Mama mengabari, tidak jadi pulang hari ini, karena Kakak masih harus bertemu dengan dokter sekali lagi. Kemungkinan besok baru pulang.” “Ohh…” Rania mengangguk-angguk tipis. Jadi… Padma benar-benar akan segera kembali dalam hidup mereka? Tanpa sadar Rania menatap lelaki jangkung di hadapannya dengan perasaan risau. “Eh, tadi sampai dimana kita?” tanya Dirga, setelah mengembalikan ponsel ke saku jaketnya. “Soal tiket—“ belum selesai ucapan Rania, sudah ada panggilan lain yang membuat ponsel Dirga bergetar. “Wah… sibuk sekali Pak Direktur,” goda Rania. "Halo!?" Dirga tampak segera mengangkat panggilan dengan agak gusar. "Oh, ya, terima kasih," ia menatap Rania lalu berkata setelah sambungannya ditutup. "Itu dari klub berkuda. Kuda yang kubeli sudah datang.” “Klub berkuda… yang bersama Sasti?” gumam Rania dongkol. Dirga tersenyum tipis melihat reaksi Rania. “Kamu mau ikut ke sana denganku besok?” “Boleh?” Rania memastikan. “Tentu saja. Mau?” pertanyaan kali ini dibalas anggukan oleh Rania. “Sorenya, kita bisa pergi ke bandara menjemput Mas Raka.” Kali ini Rania menggeleng. "Aku belum siap bertemu keluargamu lagi." "Bukan karena Padma?" Rania bergumam tidak jelas. "Itu juga..." "Cemburu?" Dirga memiringkan kepalanya agar bisa melihat raut Rania lebih jelas. "He-em..." gumam gadis itu tidak menampik. Terus terang seperti biasa. Salah satu tangan Dirga menggenggam tangan Rania, dan yang satunya mengangkat dagunya. "Ran… bagiku, tidak ada gunanya mencari dan menyesali apa yang sudah hilang. Aku hanya ingin menjaga dan melakukan yang terbaik untuk sesuatu yang ada di depan mataku." Dirga menatapnya dalam, tatapan lembut yang menuntut kepercayaan dari gadis di hadapannya. Rania bisa merasakan jantungnya berdebar kuat karena tatapannya yang menjerat Tetapi rasanya gadis itu tidak pernah menyadari bisa sebahagia ini saat mendengar ucapan kekasihnya. Mungkin dia tidak pernah menyadari cintanya ternyata sedalam ini. Genggaman hangat tangan lelaki itu telah merubuhkan rasa ragunya selama ini. Mungkin sekarang Raia sedang cengengesan senang. Dia tidak mau berkaca. Takut malu sendiri. “Aku harus pulang sekarang, tadi Mama memintaku mengurus beberapa hal untuk mempersiapkan kepulangan kakak beso sore.” Rania mengangguk, dia melangkah bersama Dirga untuk kembali ke mobilnya. “Ran, mendekat sebentar, ada yang ingin kukatakan,” pinta Dirga, saat dia sudah duduk di balik setir mobilnya. Saat Rania mencondongkan tubuhnya, Dirga menarik bahu Rania dan mengecup pipinya. Gadis itu terlonjak kaget. Bibir dan matanya membulat.menyentuh pipinya sendiri yang terasa panas dan ia yakin pasti wajahnya turut memerah. Dirga tertawa kecil. "Aku tidak akan melupakan wajahmu yang seperti itu," Rania memukul lengan kukuh Dirga salah tingkah tanpa berkata apa-apa. Gadis itu melambaikan tangan berseri-seri saat mobil lelaki itu berlalu pergi. Gadis itu lalu menyusuri halaman rumahnya dengan sebuah senyum bahagia mekar di wajahnya mengiringi hatinya yang berbunga-bunga. Memasuki kamarnya, ia beranjak ke laci di meja rias. Dikeluarkannya sebuah cincin yang selama ini masih ia simpan. Cincin Dirga untuk Padma. Tentu saja ia tidak akan sanggup membuang cincin semahal itu. Tadinya, ia hendak mengembalikan cincin itu kepada Dirga, kalau saja pria itu tak buru-buru harus kembali ke rumah. “Besok saja,” putusnya. Ia akan mengembalikan cincin itu kepada Dirga. *** Dirga segera menepikan mobilnya saat melihat seorang pria saat masih tidak begitu jauh dari rumah Rania. Lelaki pelontos itu juga tampaknya baru hendak naik ke mobilnya. Dirga segera turun dan menghampiri Aditya. Ia meraih lengan Adit, membalikkan tubuhnya dan mendesak pria yang panik itu bersandar ke mobilnya. “Lepaskan!!” tuntut Aditya, berusaha mendorong Dirga menjauh darinya. Tetapi Dirga masih menjepit Aditnya dengan lengannya dan tampak tidak berniat memenuhi tuntutannya. “Aku tahu kamu tadi memata-matai Rania. Aku ingatkan, jangan dekati Rania lagi!!” “Ukkh!” Aditya susah payah berusaha melepaskan cengkeraman Dirga dari kerahnya. Ia akhirnya berhasil menghempaskan lengan Direktur Kamajaya tersebut. “Dengar! Aku hanya ingin meminta maaf kepadanya, itu saja!!” “Itu saja? Kamu ‘kan, yang selama ini berkali-kali menelepon Rania tanpa nama benar ‘kan!!?” Adit terkesiap, sepertinya dia sudah tertangkap basah. “Kuingatkan sekali ini saja, jangan ganggu Rania lagi, jika kamu tidak mau merasakan akibatnya! Ingat itu!” Dirga menunjuk penuh ancaman dan meninggalkan Adit yang masih tak sanggup berkata apa-apa. Pebasket itu masuk ke dalam mobil, lalu meninju setir dengan kesal. Dia tidak rela. Dia benar-benar masih tidak rela, jika tak ada lagi kesempatan bersama dengan Rania. Tetapi dia juga tak bisa lepas dari Sasti begitu saja. Aditya menautkan lengan dan meremasnya kuat. Dia benar-benar menderita dengan semua ini. Dia hanya ingin mendapat kesempatan untuk bahagia bersama Rania. Sekali lagi saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN