Sesuai janjinya, Dirga menjemput Rania ke tempat kerjanya. Sesuai dengan janjinya juga, Rania mengenakan cincinnya hari ini. Hal itu tidak lepas dari pengamatan Dirga yang berseri saat melihat jemari kekasihnya.
“Ah, sebentar,” Rania berujar ketika mereka sudah duduk kembali di mobil Dirga. “Ada yang ingin kukembalikan,” ungkapnya seraya meraih ke dalam tasnya.
Dirga tak berkata apa-apa dan hanya mengamati saja dengan tatapan penasaran.
Gadis itu mengeluarkan tangannya dengan menggenggam sebuah kotak beledu yang sempat dilupakan, tetapi perlahan Dirga mengingatnya kembali.
“Ini…”
Rania menyerahkan kotak cincin itu kepada Dirga.
“Cincin Padma.”
Gadis itu bisa melihat perubahan ekspresi Dirga yang tampak mengeras.
“Kau bilang—“
“Tidak kubuang. Tidak mungkin aku buang, ‘kan? Cincin semahal ini… Aku tidak akan sanggup. Lagipula, aku tidak berhak.” Ia menggenggamkan kotak itu kepada Dirga.
Lelaki itu terpaku sejenak, lantas mengeratkan genggamannya di sana.
“Kalau aku… boleh memberi masukan, kurasa sebaiknya jangan dibuang. Sayang sekali, Lebih baik kau berikan kepada orang lain, atau jual saja. Uangnya bisa lebih berharga digunakan untuk hal lain,” saran Rania.
Dirga hanya mengangguk perlahan. Ia memasukkannya ke dalam tas pakaian yang dibawanya.
“Baiklah,” katanya singkat.
“Mereka jadi pulang hari ini?” Rania memastikan sekali lagi, sembari memasang sabuk pengaman melintang di tubuhnya.
“Ya,” jawab Dirga, sejenak melirik Rania yang tampaknya termenung memikirkan sesuatu.
Dirga menyentuh wajah hgadis itu, agak mengejutkannya.
“Tidak akan terjadi apa-apa. Tidak ada yang berubah,” Dirga meyakinkan sepenuh hati, menatap gadis itu dalam.
Rania mengangguk dan tersenyum tipis.
Rania baru kali ini menginjakkan kakinya di sasana berkuda. Dirga mengungkapkan bahwa di sasana berkuda Tirtayasa ini jugalah saat itu Sasti tiba-tiba muncul sebagai anggota baru.
Rania sempat bertanya-tanya apakah hari ini Sasti akan muncul, dan ternyata dugaannya benar. Sasti tampak sedang mengamati kudanya dilatih sambil mengenakan pakaian berkuda lengkap.
“Dia selalu bergaya habis-habisan, tetapi sama sekali tidak berani menunggangi kudanya,” terang Pak Kusuma, pengelola tempat tersebut mengenai Sasti yang berteriak-teriak di tepi gelanggang menyemangati kudanya yang sedang ditunggangi joki lain.
Saat Rania hendak membuang mukanya dari gadis itu, terlambat, Sasti terlanjur melihatnya yang sedang berjalan bersama Dirga dan Pak Kusuma. Sasti terlihat terkejut dan tidak menyukai keberadaan Rania. Ucapan Aditya mengenai hubungan keduanya yang telah berakhir terlintas di kepala Rania, namun Rania berusaha tidak mempedulikannya.
Kuda baru Dirga berbulu hitam dan tampak sangat gagah. Tingginya melebihi Astra yang sebelumnya sudah membuat Rania takut. Tapi sebaliknya, Dirga tampak antusias. Matanya berbinar melihat keberadaan kuda tersebut dan dia segera menghampirinya.
Di luar dugaan, kuda tersebut begitu tenang, dan mendengus senang—bahkan bagi Rania yang tidak begitu mengerti tentang kuda, dia tahu kuda itu menyukai Dirga. Mungkin kudanya betina? Pikiran Rania yang sering melantur sekali lagi menarik kesimpulan asal.
“Wah, sudah bisa diduga, dia langsung menyukaimu,” Pak Kusuma tertawa.
“Kamu mau coba menyentuhnya?” tawar Dirga kepada Rania.
Kedua alis Rania terlonjak, “A-ah, tidak, aku…”
“Ayolah, tidak apa-apa,” Dirga tersenyum membujuk.
Ragu-ragu Rania mengulurkan tangannya dan mulai membelai leher kuda tersebut.
“Apa seekor kuda tidak pernah menyerang?” tanya Rania.
“Jika sedang tidak nyaman, misalnya kelelahan atau sakit, seekor kuda bisa sangat uring-uringan. Biasanya kuda menginjak dengan kaki depannya atau menendang dengan kaki belakangnya,” terang Pak Kusuma.
“Tapi terkadang, jika dia lapar, atau kamu beraroma enak, dia bisa saja menggigitmu,” imbuh Dirga, yang membuat Rania terlonjak dan melepaskan belaiannya sambil terpekik.
Kuda itu juga meringkik karena kaget, dan Dirga tertawa karena berhasil menggodai Rania. Gadis itu mendelik saat menyadari Dirga mengerjainya, lalu memukul lengannya pelan sebelum kemudian tertawa bersama Pak Kusuma.
“Kamu jangan macam-macam kepadanya,” ujar Dirga kepada kuda bernama Diamond itu, “Kalau kamu tidak menyukainya, aku tidak akan menyukaimu,” ancamnya.
Rania tersipu mendengar perkataan Dirga tersebut.
“Kamu mau mencobanya sekarang?” tanya Pak Kusuma. “Dia sudah cukup beristirahat, dan sepertinya suasana hatinya juga bagus. Kondisi kesehatannya sudah dicek dan prima.”
“Baiklah,” senyuman memesona itu kembali mencuat di bibir Dirga.
Dan, Rania pun melihat pancaran itu. Pancaran mata Dirga yang hangat dan menyenangkan saat ia bersama hewan-hewan yang ia sayangi.
“Nanti kamu harus mencoba menungganginya,” kata Dirga kepada Rania.
Rania memasang wajah ragu. Kuda-kuda milik Dirga memiliki perawakan tinggi besar yang jauh berbeda dari kuda lokal yang sering dilihatnya. Terlepas begitu cantiknya mereka, Rania masih ragu-ragu jika harus menungganginya.
“Aku ingin melihat dulu. Jika kamu selesai dengan selamat, aku baru akan mencobanya,” tukas Rania. “Kamu sangat menyukai kuda, ya?”
“Bisa dibilang begitu, kuda dan kucing adalah hewan favoritku,” kata Dirga seraya memasang tali kekang dan pelana. “Kuda adalah salah satu hewan yang bersama manusia membangun peradaban. Mereka pernah menjadi harta yang sangat bernilai bagi seorang sultan, menjadi teman seorang pengelana, menjadi tumpuan seorang pejuang, juga lambang kekuasaan seorang penakluk,” ungkapnya. “Tidak ada hewan yang sangat berguna saat pemiliknya di dalam perjuangan seperti seekor kuda yang setia,” ungkapnya.
“Kura-kura dan kutu juga berawalan ‘ku’, apa kamu juga menyukainya seperti kuda dan kucing?” canda Rania, saat keduanya berjalan menuju gelanggang.
Dirga tergelak. “Aku punya favorit lainnya, namun tidak berawalan ‘ku’ tapi ‘ka.’”
“Ka? Apa? Kaaa… tak? Kakatua? Kangguru?” tebak Rania.
Senyuman asimetris yang sering membuat Rania meleleh itu terbit di bibir Dirga sebelum ia berbisik di telinga Rania. “Ka-ra-ni-ya.”
Mata Rania membulat mendengarnya dan wajahnya langsung memanas. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum senang setengah merajuk, “Aku bukan hewan, tahu!”
Dirga tertawa sambil menaiki kudanya.
“Kamu boleh masuk golongan kakatua kalau kamu mau,” tawarnya.
“Tidak mau! Enak saja!” tampik Rania, sambil ikut tertawa riang. “Dirga, hati-hati ya…” pesannya sebelum lelaki itu memasuki gelanggang. Sekali lagi Dirga menghadiahinya senyum yang memicu jantung Rania berdetak keras.
Dirga membawa kudanya ke tengah gelanggang dan mulai berlatih melompat.
Sasti mengamati interaksi keduanya dengan geram. Giginya bergemeletuk saling menggesek keras. Hatinya terasa panas membara melihat kebersamaan mereka.
Ia tidak pernah mengerti, kenapa Rania yang tidak memiliki kelebihan apa pun darinya, selalu mendapatkan hal yang lebih baik darinya?
Rania masih kalah kaya dan cantik darinya. Tapi sejak kuliah dulu, banyak lelaki yang mengejarnya. Rania juga banyak teman dan populer. Dia hampir tidak punya musuh. Apalagi semenjak berpasangan dengan Aditya, popularitasnya semakin menanjak.
Dan sekarang, Rania mendapatkan kekasih seorang Kamajaya sementara dia kehilangan Aditya yang dia rebut dan dia pertahankan dengan susah payah namun akhirnya terlepas juga.
Sasti beranjak ke ruang ganti, mengambil cutter dari dalam tasnya. yang biasa dia gunakan menyayat lengannya. Kali ini, ia ingin melampiaskan rasa sakit hatinya dengan cara lain. Sasti memasukkan cutter itu ke dalam saku celana berkudanya.
Ia mengamati Rania yang sedang menyaksikan Dirga berkuda di tengah gelanggang. Gadis itu tersenyum lebar dan terlihat berseri-seri. Rasa panas menggunung di hati Sasti. Ia ingat kembali bagaimana Aditya murka karena dia menempati toko bunga Rania. Aditya selalu saja membela Rania bahkan berkata terang-terangan hanya mencintai Rania.
Dan gadis itu, benar-benar tidak masuk akal bagaimana Rania selalu terlihat bahagia dan memiliki apa pun yang dia inginkan. Selalu dikelilingi orang-orang yang mencintainya.
“Apa hari ini kamu akan mencoba menungganginya?” tanya pelatih kuda Sasti.
Sasti menggeleng. “Kali lain saja. Aku sudah mau pulang, kurasa sebaiknya hari ini sudah saja.”
“Sasti, kalau tidak belajar menungganginya, kamu tidak akan bisa membuat ikatan dengannya,” kata pelatih itu yang masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.
Sasti berjalan di samping kudanya yang hendak dimandikan dan kembali ke instal. Ia mengeratkan rahang. Saat mereka berjalan menuju tempat Rania berdiri menyaksikan Dirga berlatih, ia mulai mengeluarkan pisau cutternya. Dan setelah melirik ke sana kemari. Sasti menusuk kudanya dengan cutter tersebut. Kuda itu segera meringkik keras dan kedua kakinya terangkat. Pegawai yang memegangi kekangnya langsung terbanting, sementara kuda itu langsung mengamuk, liar. Dan segera menderap berlari tanpa arah.
Semuanya berlangsung begitu cepat bagi Rania. Ada derap langkah kaki kuda yang sangat keras. Lalu ada seruan Dirga. "Raniaaaa awaaaasss!!!" Dirga melompat melewati pagar gelanggang, memeluk Rania. Dan tubuh Rania terhempas keras, terseret. Rania mengerang, kehebohan menyeruak dari sekelilingnya.
Lantas tatapan Rania jatuh pada sosok Dirga yang tadi sempat mendekapnya erat. Sosok itu kini tergeletak berlumuran darah. "Dirga!! Dirgaaaaa!!!!" Rania menghampiri dengan histeris, tidak menghiraukan luka-luka di tubuhnya sendiri.
"Dirga!! Dirga!! Bangun, Dirga. Dirgaaaa!! Bangun Dirgaaa!!" Rania memanggil dengan sepenuh jiwa. Namun lelaki itu tidak menyahut, mata tajam itu terus terpejam, dengan darah mengucur dari dahinya. “Tidaaakk!! Dirgaaa!! tolong panggilkan bantuan!!” pekiknya.
Suasana segera riuh, beberapa orang menghampiri. Rania sempat bertemu tatap dengan Sasti. Gadis itu mengamati semuanya dengan wajah pucat. Tubuhnya gemetar dari kepala hingga kaki. Ia lantas berlari pergi dari sana.