"Loh, Pak Karya? Dirga mana?" tanya Puspa saat melihat Pak Karya, sopirnya, sendirian menjemput ketiganya di bandara Soekarno Hatta.
"Nyonya, Den Dirga kecelakaan di arena berkuda," terang Pak Karya, gemetaran.
Nyonya Puspa terenyak tak percaya mendengar kabar itu.
"Bruk!" Padma menjatuhkan tas dari tangannya. Tersadar, gadis itu segera meraih tas yang jatuh, seraya menahan rasa pilu yang mendesak d**a.
"Mama langsung ke rumah sakit!" putus Puspa yang tampak pias. "Kalian berdua pulang saja. Biar Mama naik taksi!”
"Bu, saya temani," Padma pun dengan cepat memutuskan. Bibirnya gemetar dan wajahnya pucat.
“Iya, Ma, kalau berdua, bisa lebih tenang,” imbuh Raka lembut. Ia segera mengimbuh saat melihat raut khawatir ibuya. “Jangan khawatir, ada Pak Karya, kan…”
"Ya sudah, kamu istirahat, jangan angkat-angkat yang berat-berat,” pesan Puspa.
Padma menatap Raka nanar, "Mas, hati-hati ya... Maaf, tidak menemani Mas pulang."
"Iya, tidak apa-apa. Kalian sangat dekat, pasti kamu juga sangat khawatir."
“Ayo Padma,” ajak Puspa.
Raka mengamati tunangannya yang berlalu beberapa saat dengan tatapan sendu.
***
Rania terus mengusap airmata yang mustahil dihentikan. Ia mengeratkan rahangnya, tertusuk rasa sedih dan pilu, juga sakit dan amarah. Rania pintu ruangan operasi. Lelaki yang diingatnya gagah perkasa itu, kini terbaring di sana gara-gara dia.
Dirga... maafkan aku... seharusnya aku yang terbaring di sana bukan kamu. Tapi aku..
"Rania, bagaimana keadaan Dirga?" tanya Bu Puspa berbisik, saat tiba bersama Padma.
"Tante, Dirga sedang dioperasi. Luka di kepalanya cukup parah. Dan t-tangan kanannya patah.." terbata Rania menjelaskan di tengah tangisnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Padma yang juga berwajah sembap, dengan suara tercekat.
Rania mengalihkan tatapannya kepada Padma, dan entah kenapa rasa bersalah terasa mencekiknya. Rania kembali menceritakan mengenai kejadian di klub berkuda.
"Tante... maafkan aku," kali ini Rania berkata kepada Puspa. "Ini semua salahku..."
"Tidak, bukan... Ini bukan salah siapa-siapa," Bu Puspa yang lembut berusaha menenangkan. "Dirga itu lelaki yang kuat. Ini bukan kali pertama Dirga masuk rumah sakit. Tante yakin dia akan baik-baik saja. Kamu juga harus yakin, kita doakan bersama."
Padma mengamati Rania dengan pahit. Dulu Dirga juga sempat menyelamatkannya dari kecelakaan. Kenangan itu berputar lagi di kepala Padma. Perasaan yang sama. Dia takut sekali kehilangan Dirga. Lalu tatapan Padma jatuh pada selingkar cincin di jari manis Rania.
Padma sudah mendengar soal Dirga yang melamar Rania saat ulang tahun Puspa. Tatapannya tidak lepas mengamati Rania dan berpikir... bagaimana bisa dalam waktu singkat Rania mendapatkan semua hal yang dia dambakan dari Dirga selama bertahun-tahun?
Setelah gelisah yang seakan tak berujung, akhirnya ruang operasi itu terbuka juga. Seorang dokter keluar dari sana bersama seorang perawat. Dengan cepat ketiga wanita itu menghampiri.
“Dokter, bagaimana keadaan putra saya?” tanya Nyonya Puspa.
"Operasinya berjalan lancar. Kita tinggal menunggu Dirga siuman dan melakukan evaluasi lebih lanjut," terang dokter yang menangani Dirga. "Tetapi sementara waktu Dirga harus masuk ruang ICU terlebih dahulu, karena masih memerlukan perawatan yang inensif. Sekarang kita tinggal berdoa dan berharap Dirga bisa melalui masa kritisnya dan kita tunggu kesadarannya kembali lagi."
Setelah menunggu beberapa lama, tampak brankart yang membawa Dirga keluar dari ruang bedah dan menuju ke ruang rawat ICU. Rania rasanya sangat hancur melihat kondisi Dirga yang gagah perkasa kini terbaring tak kuasa di atas kasur rumah sakit.
Untuk sementara, belum ada yang bisa mendekati Dirga dan hanya diperbolehkan melihat dari balik jendela kaca. Bu Puspa yang sebetulnya sangat khawatir, tampak berusaha kuat terlihat tegar menatap putranya yang masih memejamkan mata dengan perban melingkar di kepala dan tubuhnya.
Agni yang datang menyusul juga tak kuasa menangis di pelukan ibunya, dan bersikukuh ingin melihat Dirga. Tetapi kakak kesayangannya itu masih tidak diijinkan untuk sembarangan dijenguk. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Agni bisa berkesempatan melihat Dirga dari balik jendela kaca.
“Ma… kenapa Kak Dirga belum sadar juga?” isak si putri bungsu seraya memeluk ibunya. “Aku tidak tega Ma, melihat Kak Dirga seperti itu…”
“Iya, kita doakan saja, semoga Kak Dirga segera siuman dan pulih lagi. Dokter sudah bilang operasinya berjalan lancar, hanya tinggal menunggu Kakak siuman,” Bu Puspa berusaha meyakinkan si bungsu.
"Agni kamu harus pulang, sudah larut malam. Biar ibu yang menunggu di sini. Kamu harus sekolah, besok sepulang sekolah kamu bisa ke sini lagi." Puspa menoleh kepada Padma. "Tolong temani Agni pulang ya... Kamu menginap saja di rumah, temani Agni."
Padma mengangguk menurut.
Bu Puspa lantas menoleh kepada Rania. “Kamu juga pulang saja ya, istirahat. Kamu kan sudah di sini sejak siang, pasti lelah.’ Wanita itu mengamati wajah kuyu dan sembap kekasih putra keduanya tersebut. “Sudah, pulang dulu.”
Rania menggeleng, dia masih tak sanggup berkata-kata, teringat kekasihnya di dalam sana. Bu Puspa kembali berusaha membujuk Rania, sekali lagi gadis itu menggeleng.
“Aku mau di sini dulu Tante…. Sebentar lagi saja,” pinta Rania. “Aku tidak bisa meninggalkan Dirga dalam kondisi seperti ini. Pulang pun, rasanya hanya akan semakin gelisah.” Air mata Rania meleleh lagi di pipinya. Gadis itu berusaha keras tidak terisak, tetapi ia tak kuasa menahannya.
Bu Puspa menghela napas, dan akhirnya mengalah pada kemauan Rania. “Ya sudah, tapi jangan memaksakan diri. Yang paling penting saat menjaga orang sakit, adalah kita harus sehat, jadi saat dia membutuhkan, kita bisa membantu. Paham?” kata Bu Puspa lembut.
“Iya, Tante,” tanggap Rania seraya mengangguk lemah.
Padma mengingat Dirga dengan perasaan teramat sendu. Ia tidak mau meninggalkan Dirga. Tapi dia tidak punya alasan yang sangat kuat. Sekali lagi ia melirik Rania. Ada perasaan tidak rela menjadi-jadi di hatinya. Namun Padma hanya bisa mengangguk mengikuti permintaan calon ibu mertuanya dan pulang bersama Agni.
***
Pak Bayu Kamajaya tiba keesokan harinya. Wajahnya lusuh dan pucat. Ia tidak banyak bicara. Saat bertemu Rania, dia bahkan tidak menyapa atau bertanya apa-apa. Dirga masih belum siuman. Rania kembali diminta Bu Puspa untuk beristirahat dan pulang dulu ke rumahnya. Kali ini gadis itu setuju. Ia merasa, keberadaannya hanya akan membuat Pak Bayu semakin geram kepadanya.
Selepas dari rumah sakit, Rania tidak kembali ke ruamhnya. Ia memutuskan pergi ke toko lamanya. Mencari Sasti. Karena tingkah laku gadis itu saat kecelakaan terjadi sangat mencurigakan. Namun Sasti tidak ada di sana, bahkan pegawainya mengatakan dari kemarin mereka tidak melihat majikannya itu. Akhirnya Rania terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Agak terhuyung Rania melewati pagar rumahnya. Ia hampir tidak bisa tidur memikirkan Dirga, hingga tidak menyadari ada seseorang mengikutinya.
"Ran..." panggil orang itu. Dengan tatapan kosong Rania menoleh.
"A... dit...?"
"Ran, maaf..." mohon Adit, menatap prihatin dan penuh sesal. "Aku tahu apa yang terjadi. Sasti sudah mengatakannya kepadaku. Dia menangis, sangat menyesal dan… "
Mata Rania membulat. Jadi benar, Sasti berusaha mencelakainya?
Semua amarah dan emosi Rania memuncak saat itu juga. Dipukulnya Adit yang muncul di hadapannya dengan membabi buta.
"Kenapa harus mencelakai Dirga!!? Kenapa kalian tidak enyah saja dari hidupku!!? Kenapa!!? Kenapa kamu dan Sasti tidak bisa membiarkanku sendiri!!?" pekiknya frustasi.
Semua perasaan dan siksaan yang dirasa Rania selama ini mendapatkan pelampiasan. Ia memukul dan memaki tanpa henti. Adit hanya diam berdiri. Dan saat Rania letih, Adit memeluk gadis itu. "Maaf Ran... Maaf..." mohonnya.
Air mata Rania terus berderaian.
"Kenapa kamu tidak datang hari itu, Dit!? Kenapa kamu tidak datang!!?" isaknya. "Kalau kamu datang semuanya tidak akan jadi begini!! Kenapa kamu tidak datang!!? Kenapa kamu mengkhianatiku...?" Rania kembali tergugu keras di pelukan Aditya.
***