Sudah hari ketiga Dirga masuk rumah sakit. Namun putra kedua Kamajaya itu belum juga siuman. Setidaknya saat ini, mereka sudah boleh menjenguk dan mendekat setelah diberi ijin oleh perawatnya. Bahkan, dokter menyarankan untuk mengajaknya bicara, untuk memotivasi agar lelaki itu segera kembali dari alam bawah sadarnya.
Sebenarnya, Rania yang bukan anggota keluarga sempat tidak diijinkan menemui Dirga. Untunglah ada Bu Puspa yang memintakan ijin dengan mengatakan bahwa dia masih punya putra yang juga sakit di rumah, maka saat ini kerabat dekat yang mungkin bisa dimintai bantuan hanya Rania. Akhirnya pihak rumah sakit bersikap lebih lunak pada gadis pemilik toko bunga itu.
Syukurlah, kondisinya kian stabil, hingga akhirnya Dirga bisa dipindah ke ruang rawat.
Kini Rania mengamati lelaki yang terbaring di hadapannya dengan tatapan pilu. Kapan ia bisa memandang mata tajam itu lagi? Mendengar suara maskulinnya dan berada dalam dekapannya yang melindungi?
Rania menggenggam tangan Dirga. Bahkan dalam keadaan lemah seperti sekarang telapak kekasihnya masih terasa kukuh dan nyaman.
"Cepatlah bangun, Dirga,..." si gadis mengusap perlahan punggung tangan Dirga berkali-kali sebelum menggenggamnya dengan kedua tangannya dan jatuh tertidur di tepi ranjang rawat tersebut.
Perlahan-lahan kelopak mata Dirga terbuka. Terasa berat dan begitu sulit. Berkas cahaya terasa menusuk mata. Kepalanya berdenyut. Lelaki itu mengerang samar. Akhirnya dengan terpicing ia sanggup membuka mata untuk mengamati sekeliling.
Hal pertama yang ia sadari selain perban dan infus, adalah seorang gadis yang tertidur di samping ranjang. Gadis berbulu mata lentik itu terpejam. Wajah cantiknya terlihat sembap dan sedih.
Apa gadis itu menangisi dirinya? Perlahan-lahan sosok tersebut terusik dari tidurnya. Dirga mengamati bagaimana kedua alisnya berkedut, dan sambil berkejap-kejap mata bulat bening itu terbuka. Kepalanya bergerak kecil, hingga akhirnya tatapan mereka bertemu.
Sekarang mata bening itu melebar seutuhnya, juga bibir merah jambu ranumnya yang mulai terbuka tidak percaya. Rania mengangkat kepalanya tanpa memutus tatapan mereka.
"Dirga..." desahnya haru dan bahagia, seakan baru menyadari mimpi jadi nyata. "Kamu sudah... Sudah bangun." Ia mengeratkan genggaman tangan mereka.
Dirga mengangguk pelan. Tenggorokannya terasa sangat kering untuk mengeluarkan suara. Tapi tidak untuk Rania. Emosional yang berlebih membuat gadis itu banyak bicara.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah ada yang terasa sakit? Kamu bisa melihatku kan? Bisa bicara? Menggerakkan tanganmu? Ibumu sedang pulang dulu, tapi sudah mau kembali. Tenanglah. Aku akan memanggil dokter sekarang!"
Kedua alis Dirga terangkat, menatap Rania bingung.
"Ah, maaf! Kamu pasti pusing mendengarku bicara terus!" Rania membekap mulutnya.
Tiba-tiba ia menyadari tangan mereka masih saling bergenggaman saat Dirga meremas tangannya agak erat. Rania mengamati tangan mereka sejenak sebelum kembali menatap wajah tampan Dirga dengan perban di kepalanya.
"Rania, ini di mana? Dan kenapa aku di sini?" tanya Dirga, serak dan lemah.
"Dirga, kamu tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya?" Rania was-was.
Dirga menggeleng tegang. Rania resah. Ia pernah mendengar banyak korban kecelakaan tidak ingat sama sekali saat terjadi kecelakaan. Ia harus segera memanggil dokter.
"Rania, kenapa kamu juga berada di sini?" tanya Dirga lagi saat Rania yang tadi cerewet mendadak membisu. Gadis itu belum sempat menjawab saat pintu kamar terbuka.
Perhatian keduanya beralih ke sana. Perempuan bernama Padma itu langsung mematung melihat Dirga menatapnya. "Di-Dirga..." desahnya tidak percaya. Haru. "Kamu..."
"Padma..." Dirga melirih.
Rania merasakan genggaman tangan lelaki itu melonggar. Saat ia menoleh menatap Dirga, ia bisa melihat raut waswas lelaki itu berubah sendu dan penuh rindu. Cemburu menjalar cepat ke tubuh Rania. Tapi sebuah rasa bersalah membuatnya merasa harus tahu diri. "Aku akan beri tahu perawat jaga," Rania melepaskan genggaman tangan mereka dan meninggalkan Dirga. Melalui Padma. "Tolong jaga dia," pesannya sebelum keluar kamar.
Di balik pintu, sejenak Rania menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak. Tetapi tidak lama, ia menarik napas dalam menghapus airmatanya.
***
Dengan gelisah Rania menunggu di luar ruang rawat. Dokter tengah memeriksa keadaan Dirga di dalam. Ia melirik Padma yang juga sedang termenung di bangku rumah sakit, bersama Agni yang baru datang setelah pulang sekolah.
Sejak awal perkenalan, keduanya tidak akrab dan sampai sekarang tidak banyak yang Rania bicarakan dengan Padma.
Ruang rawat Dirga terbuka, Nyonya Puspa dan seorang dokter pria setengah baya keluar dari sana. Ketiga gadis yang gelisah itu segera berhambur menghampiri.
"Dirga baik-baik saja," Nyonya Puspa menerangkan, sementara dokter itu berlalu dengan perawatnya setelah berpesan, “Jangan khawatir.”
"Saya boleh masuk, Bu?" tanya Padma, yang ditimpali Agni ingin ikut masuk.
Sebelum Nyonya Puspa menjawab pertanyaan Padma, ia menatap Rania. "Ran, Dirga ingin bicara denganmu.” Rania tertegun dan berwajah sungkan, melirik tipis kepada Padma yang sepertinya tidak rela.
“Dokter menyarankan Dirga masih harus banyak istirahat. Sebaiknya tidak lebih dari dua orang yang masuk ke kamarnya,” sambung Nyonya Puspa.
Akhirnya, tunangan Dirga itu masuk tanpa berkata apa-apa, menggoreskan iri di jantung Padma.
Dirga langsung memasung tatapannya kepada Rania saat sosoknya muncul dari balik pintu. Gadis itu kehilangan langkahnya. Sejenak ia mematung menatap Dirga, masih tidak percaya lelaki itu sudah tersadar kembali.
"Kenapa diam saja? Kemarilah," pinta Dirga dengan wajah yang masih terlihat pucat.
Rania melangkah hati-hati, seakan-akan langkah kakinya bisa melukai Dirga.
"Katanya kamu memintaku ke sini," volume suara gadis itu teramat pelan.
"Ya," Dirga tersenyum tipis. "Mendekatlah." Dan Rania baru berani mendekatkan diri ke tempat tidur lelaki itu. Sang gadis jelas tampak begitu cemas, matanya berkaca-kaca. Rania menatap Dirga dengan mata bulatnya, tapi tetap tidak kunjung bicara atau bertanya.
"Katanya, saat kecelakaan terjadi, kita sedang bersama?" Dirga meraih lengan Rania dan mengamati luka di siku gadis itu. Rania mengangguk tanpa bicara. "Aku sama sekali tidak ingat yang kulakukan sebelum atau pada saat kecelakaan itu terjadi."
Sejenak rasanya jantung Rania terhenti. Apa yang sempat dikhawatirkan oleh Dokter benar terjadi. Dirga mengalami benturan yang cukup parah di kepalanya, menyebabkan cedera yang tidak sedikit.
"Apa yang dokter katakan? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rania, menahan tangisnya seraya mengamati perban yang masih melangkar di kepala Dirga. Saat itu dari sana sempat mengalir darah yang membuat ngeri. Mengingatnya saja jantung Rania terasa diremas keras.
"Katanya aku mengalami gegar otak. Seminggu ini harus menjalani terapi sebelum persiapan operasi untuk tulang tanganku yang retak," terang Dirga, masih mengamati Rania saksama. "Ingatanku agak terganggu. Aku... tidak bisa mengingat pasti urutan kejadian beberapa bulan ini, aku hanya bisa mengingat beberapa hal dengan samar, itu pun... Aku sedikit ragu apa benar terjadi, atau hanya… khayalanku." Tiba-tiba tanpa diduga, Dirga meraih tangan Rania dan menggenggamnya. Gadis itu terperanjat dan membeku. "Ran, apa kamu kekasihku?"
Mata bundar Rania semakin membulat. "Ha? A-aku..."
Alis Dirga berkerut. Apa perkiraannya salah?
Saat ia bangun, ia mendapati Rania tertidur di samping tempat tidurnya sambil menggenggam tangannya. Ia juga ingat melihat gadis itu dalam mimpinya dan mendengar suaranya. Juga... aromanya. Gadis ini memiliki aroma yang familiar bagi Dirga, bahkan saat kali pertama ia membuka matanya.
Dirga merasa tenang dan nyaman saat ia mendapati Rania orang pertama yang tertangkap matanya. Perasaan hangat ini yang membuat Dirga bertanya-tanya, apakah Rania kekasihnya? Beberapa kejadian juga melayang-layang dalam benaknya, tentang dia dan gadis di hadapannya tersebut, walaupun dia tidak yakin mengenai kebenarannya.
"Aku... aku dan kamu..." Rania sangat bingung, tidak tahu harus berkata apa.
"Kak Dirga!" interupsi Agni yang masuk tiba-tiba. "Kakak baik-baik saja?" isaknya yang segera mendekat kepada kakaknya.
Dirga menghela napas dan pura-pura memasang wajah kesal, "Bisa tidak kalian berhenti menangis? Aku baik-baik saja," ia berusaha menghibur dengan suaranya yang lemah. "Aku sudah cukup melihat terlalu banyak air mata hari ini."
"Kakak... habiis... aku khawatir sekali," rajuk Agni. Ia mengamati tangan Dirga yang masih menggenggam tangan Rania. "Mama bilang kakak mengalami amnesia, tapi kakak pasti tidak melupakan Kak Rania 'kan? Dia kan tunangan kakak!”
Dirga terkesiap mendengar perkataan adiknya.
Dan Rania mulai panik. Sontak ia melepaskan genggaman tangan Dirga. "Aku harus keluar. Perawat sudah berpesan tidak boleh banyak-banyak orang di sini," ia tampak bergegas hendak keluar dari ruangan tersebut.
"Ah, a-aku saja yang keluar," sergah Agni. "Aku tidak lama kok, harus pergi les, makanya aku masuk. Jadi sekalian mau pamit. Kakak, kamu ingat kan, aku adik kesayanganmu?" rajuknya.
Dirga terkekeh pelan. "Iya lah..." katanya, mengacak rambut pendek Agni.
"Semoga lekas sembuh ya," Agni mencondongkan tubuhnya agar Dirga bisa memeluk gadis itu dengan sebelah tangannya. "Nanti aku datang lagi. Kak Raka juga katanya nanti mau ke sini." Agni berkata sebelum kemudian keluar dari kamar itu sambil melambaikan tangan dengan memasang wajah cemberut.
"Uhm, a-aku juga keluar. Mungkin tante Puspa atau Padma, mau menjengukmu."
Setiap nama itu disebut, raut Dirga menegang. Walaupun samar, Rania bisa melihat perubahan kecil itu.
"Nanti saja," Dirga berkata. "Aku masih mau mengobrol denganmu," pintanya. "Tidakkah ada banyak hal yang ingin kamu bicarakan?"
"Kamu yakin?" Rania meragu, menatap mata lelaki itu mencari keyakinan. "Kamu ingin aku di sini?"
"Ya. Aku ingin kamu tetap di sini." pinta Dirga sungguh-sungguh.
"Nanti aku ke sini lagi. Tapi, Padma juga pasti ingin..."
"Tidak. Biarkan saja, aku—"
"Aku sudah tahu tentang kalian,” potong Rania lembut. "Kamu sudah menceritakannya."
Dirga tertegun. Ternyata itu yang membuatnya gelisah.
Rania kembali bicara, memutuskan mengakui semuanya. "Kamu dan aku... kita pura-pura pacaran, lalu tidak sengaja, jadi pura-pura bertunangan. Kamu ingat? Ulang tahun ibumu? Tapi, kita melakukan itu semua, karena... aku tahu kebenaran antara kamu dan Padma."
"Pura-pura...?" Dirga melirih, mengamati Rania kalut.
Gadis itu tidak pernah melihat Dirga segelisah ini.
"Dirga, sudah, jangan dulu dibicarakan. Kita bisa membicarakannya nanti," sergah Rania yang tidak ingin membuat Dirga semakin gelisah. "Kamu jangan terlalu banyak berpikir sekarang, ya?" ia menggenggam tangan lelaki itu dengan hangat dan tersenyum berusaha menguatkan.
Dirga tercenung sejenak, lalu mengangguk perlahan.
Sekali lagi Rania berpamitan dan kali ini kekasihnya mengijinkan.
Saat gadis itu melangkah ke pintu, hampir saja ia bersirobok dengan Padma yang tengah berdiri mematung di sana. Rania terkesiap. Padma hanya menatapnya tanpa kedip, dan kaku. Seakan ia baru saja melihat hantu.
"Aku keluar dulu, nanti aku kembali," Rania berseloroh basa basi. Padma hanya menanggapi dingin dengan anggukan tanpa ekspresi, lalu melangkah masuk ke dalam kamar rawat Dirga.
Ia melirik kepada punggung Rania yang menjauh.
Hanya pura-pura pacaran? Pura-pura tunangan? Jadi, kecurigaan Padma memang benar, semua yang terasa ganjil dan tidak di tempatnya, sekarang jadi masuk akal.
"Mama mana?" tanya Dirga kepada Padma yang membisu sejak masuk ke ruangannya.
"Sedang mengurus resepmu,” Padma melangkah mendekat, dan tersenyum hangat. “Bagaimana keadaanmu? Kalau ada yang kamu butuhkan, kamu bisa katakan kepadaku.”
“Aku ingin beristirahat,” tukas Dirga, sambil memejamkan mata.
***