Cincin Padma

1124 Kata
Saat Bayu Kamajaya datang menjenguk, Rania akhirnya harus kembali terjebak bersama seorang Kamajaya yang sepertinya tidak menghendaki keberadaannya. Rania menyuapi Dirga yang mengobrol dengan Bayu namun Rania hampir tidak disapa oleh pria itu. "Raka bilang dia sudah siap bekerja lagi," Bayu berkata kepada Dirga. "Dalam kondisimu sekarang, kamu lebih baik fokus pada kesembuhanmu saja." Ia lalu melirik kepada Rania yang sedang membereskan sisa makan Dirga. Ia lalu berdecak, "Entah ada apa dengan keluarga kita! Setelah kakakmu yang harus dioperasi lagi, sekarang kamu..." Rania menelan ludah, teringat akibat siapa sekarang Dirga terbaring di sana. "Ran, aku mau makan gelato yang kamu ceritakan," pinta Dirga. "Oh, ya, kalau begitu aku ke cafe sekarang. Tidak apa-apa, aku tinggal?" "Tidak apa-apa, saya hari ini memang berniat menunggu Dirga," tukas Pak Bayu dengan intonasi hampir datar. Rania menelan ludahnya dan permisi pergi. *** "Padma, ini barang-barang Dirga, tolong simpan di kamarnya. Sudah dibilang bajunya buang saja, tapi Dirga melarang." Puspa menggeleng dengan wajah pucat. "Entah apa yang ada di pikirannya. Ibu ngeri melihatnya. Lalu nanti minta Agni bawa ponselnya ke service center." Padma menurut. Ia membawa tas berisi barang-barang dan pakaian Dirga ke lantai atas, tempat kamar lelaki itu berada. Padma bisa mencium aroma khas Dirga. Ia bisa merasakan seluruh keberadaan Dirga di kamar itu. Diam-diam airmata mengintip lagi di matanya. Dirga memang mengalami gangguan ingatan. Tetapi, Dirga tidak melupakan niatnya mengakhiri hubungan mereka. Dirga bersikap cukup dingin kepadanya. Padma mengamati tas itu lalu membukanya. Ada plastik berisi pakaian Dirga saat kecelakaan yang sudah dicuci. Lalu sebuah plastik berisi barang-barang. Padma membukanya. Ada smartphone yang mati, displaynya pecah. Dompet Dirga, rokok dan pemantik. Penasaran, tangan Padma tidak berhenti di sana. Dia merogoh pada bagian lain tas punggung dari merek terkenal milik calon adik iparnya itu. Ia lalu menemukan sebuah tiket untuk ice show. Lalu... Sebuah kotak beledu biru. Padma mengamatinya beberapa saat, penasaran, ia lalu membukanya. Matanya melebar karena terkejut saat mendapati masih ada cincin di dalamnya. Kenapa, Dirga membawa sebuah cincin bersamanya? Apakah untuk Rania? Tidak. Padma ingat gadis itu sudah memakai cincinnya sendiri, tunangan palsu itu! Terdorong rasa ingin tahu, Padma mengeluarkan cincin cantik tersebut. Ia melepaskan cincin dari Raka dan memasangkan cincin temuannya itu pada jarinya sendiri. Padma menahan napas. Cincin itu pas sekali di jari manisnya. "Padma, sedang apa?" tegur Raka dari balik punggung gadis ayu itu. Bahu Padma terlonjak keras. Dia segera berbalik sembari menyembunyikan tangannya di balik punggung. "T-tidak, ini, aku sedang memeriksa barang-barang Dirga. Katanya smartphone-nya mati, mau dibetulkan." Raka melangkah masuk ke kamar Dirga. Adiknya yang selama ini selalu tertutup dan jarang menceritakan apa pun isi hatinya walaupun dia memiliki jiwa sebebas elang. Tatapan Raka segera jatuh pada kotak biru di samping Padma yang tidak sempat disembunyikan. "Apa ini?" Raka mencondongkan tubuhnya meraih kotak itu. "I-itu..." Padma menelan ludahnya. Ia tidak bisa bohong lagi saat Raka meraih cincin pemberiannya yang juga tergeletak di atas meja. Ia memperlihatkan jari tangannya. Raka menahan diri saat mendapati cincin lain menggantikan kedudukan cincinnya. "Ta-tadi... aku melihat cincin itu. Karena penasaran, aku... hanya mencobanya. Kenapa benda ini, bisa berada di antara barang-barang Dirga pada saat kecelakaan..." Raka membisu lama. Jantungnya sudah sembuh tapi sakit sekali rasanya. Raka berusaha menenangkan diri tanpa bicara, sementara Padma sibuk melepaskan cincin itu dan menggantinya lagi dengan pemberian Raka. Pria itu meraih cincin Dirga dan mengamatinya lekat. Hatinya merasakan angin dingin merasuk. "Cincinnya pas untukmu?" "Bukan begitu! Kurasa... Ini cincin untuk Rania, mungkin ukurannya salah…" Raka mengamati panik di wajah Padma. Perlahan ia menghela napasnya. "Kamu benar." Raka memaksakan senyum di wajahnya. Lelaki itu beranjak pergi dari sana, menyisakan sebersit rasa bersalah di hati Padma. Tetapi Padma tidak mampu menampik rasa haru dan bahagia tidak terkira saat ia merasakan cincin itu di jari manisnya dan membayangkan Dirga melamarnya. Padma membungkam mulutnya sendiri saat airmatanya meluruh. Ia hanya ingin bahagia. Salahkah? Diam-diam Raka mendengarkan tangis kekasihnya dari balik pintu. *** "Jadi Mas Raka besok sudah bisa kerja lagi? Yakin?" tanya Puspa lembut. "Iya Ma. Sudah cukup istirahatnya. Mulai besok semuanya kembali normal." "Padma, tolong jaga Raka baik-baik ya, sebagai asisten pribadinya, sekaligus sebagai calon istri. Sekarang, ibu masih harus fokus kepada Dirga. Syukurlah ada Rania yang selalu mendampingi. Kalian benar-benar anugerah bukan hanya untuk putraku, tapi keluarga ini." Padma tersenyum tipis penuh simpati. "Oh ya, baju seragam untuk lamaran sudah selesai. Tinggal diambil. Dan jangan lupa kabari Mas Yoga agar bisa segera mengadakan pertemuan untuk membicarakan soal resepsi." Raka gamang sejenak, sebelum menjawab dengan raut sehangat mungkin. "Mengenai hal itu, Ma. Raka sudah memikirkannya baik-baik. Melihat keadaan Dirga, kurasa, masalah lamaran dan pernikahanku dengan Padma, bisa ditunda dulu." Ketiga perempuan di meja makan itu berreaksi sama terkejutnya. "Ditunda?" Puspa mengamati Raka, lalu beralih kepada Padma. Kasihan jika gadis itu harus ditunda lagi lamarannya. Walaupun alasan Raka masuk akal, tapi rasanya sungkan oleh keluarga Padma jika lamaran untuk putri mereka ditunda terus menerus. "Dirga tidak akan keberatan," Puspa menukas. "Nanti saat pernikahan kalian, dia pasti sudah pulih lagi." "Kamu mau mengerti 'kan, Padma?" Raka bertanya pada gadis itu yang tampak bimbang atau malah diam-diam merasa lega. "Kita sudah melalui banyak hal, rasanya menunggu Dirga pulih, itu yang terbaik 'kan?" tanyanya lembut. Akhirnya perlahan Padma mengangguk. "Iya, Bu. Tidak apa-apa, ditunda sebentar lagi, agar suasananya juga lebih tenang," gadis itu menyahut seraya tersenyum lembut. Mendengar perkataan pasangan itu yang seiya sekata, Puspa tidak bisa berbuat apa-apa lagi. "Baiklah kalau itu memang keputusan kalian. Terima kasih, sudah memikirkan Dirga." "Mama kenapa sih? Jelaslah, Dirga kan adikku," Raka tersenyum lebar. "Aku tidak akan bahagia, kalau aku tahu Dirga sedang sakit." Raka melirik tipis pada jari manis Padma dan cincin tunangan darinya. Ia juga tidak akan bahagia, kalau tahu Padma menderita. "Padahal Mas tidak perlu mengantar sendiri. Mas harus istirahat total karena besok sudah mau kerja lagi," Padma berkata penuh perhatian saat calon suaminya itu mengantar Padma ke apartemennya yang pernah dihadiahkan Raka. "Aku sudah bosan istirahat. Nanti jadi benar-benar loyo. Harus mulai pemanasan untuk bekerja lagi." Padma hanya tersenyum mengerti mendengarnya. Sedari dulu gadis itu memang pandai membawa diri dan mengambil hati. Padma tahu kapan harus diam atau bicara. "Pulangnya hati-hati ya, Mas," pesan Padma saat keduanya telah tiba di gedung apartemen. "Kabari kalau sudah sampai rumah." "Iya. Padma... Aku minta maaf, kemarin saat aku sakit, aku sering sekali marah-marah kepadamu." Raka menggenggam tangan Padma. "Tidak apa-apa, Mas sedang sakit, sedang tidak menjadi diri sendiri." Padma balas menggenggam tangan Raka. "Aku tahu Mas orang yang baik, dari awal bertemu sampai sekarang tidak berubah," hiburnya, mengurai senyum menenangkan. "Aku lega Mas sudah sehat lagi sekarang." Raka meraih wajah Padma dan mengecup bibirnya. Ia lalu memeluknya. "Aku mencintamu, Padma. Kamu gadis yang sangat baik. Kamu layak bahagia.” "Aku sudah bahagia, asal Mas Raka bahagia..." Padma balas memeluk Raka hangat. Kalimat itu meyakinkan Raka, untuk melepaskan kekasihnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN